Kani Giandra. Gadis dengan surai panjang sepunggung itu tengah menggoreskan pensilnya di atas kertas putih membentuk sebuah gaun yang indah. Tangannya bergerak lincah ke sana kemari dengan sesekali menghapus bagian yang dirasa kurang tepat. Suasana sunyi di malam itu semakin membuat Kani terhanyut dalam karyanya.
Ketukan pintu yang tiba-tiba terdengar membuyarkan konsentrasinya. Disusul suara yang familier di telinga membuatnya menoleh ke arah sumber suara yang sudah menampilkan sosok wanita yang telah melahirkannya.
"Nggambar lagi, nduk?" tanya Wening, sang ibu.
"Nggih, Bu."
"Ini kan sudah malam. Dilanjut besok saja," tutur ibu sambil membelai lembut rambut Kani.
"Sebentar lagi ya, Bu. Ini sudah hampir selesai, kok," balasnya dengan tersenyum.
"Yo wis, sing penting nanti ndang cepet tidurnya! Biar besok ndak kesiangan."
Kani lantas mengayunkan tangan kanannya ke arah dahi membentuk sikap hormat. Hal itu pun mampu membuat Wening terkekeh melihat tingkah anak semata wayangnya.
***
Esoknya saat Kani baru saja bangun dari tidurnya, nampak samar-samar di matanya ibu bersiap berangkat menuju pasar untuk menjajakan dagangannya. Hal yang setiap hari dilaluinya di pagi hari, ibu yang terkadang sudah berangkat sebelum dirinya membuka mata, sarapan yang sudah tersedia dan tak lupa satu kotak berisi kue-kue basah yang dibuat ibunya untuk kemudian dititipkan ke kantin sekolah.
Kemudian dia menuju kamar mandi, lalu menjalankan kewajibannya kepada Tuhan, baru setelah itu menyapu halaman rumahnya. Tinggal hanya berdua dengan ibu, membuatnya harus mandiri sementara ibunya mencarikan nafkah untuk kebutuhan sehari-hari. Menggantikan posisi bapak yang sudah tiada sejak Kani kecil. Sebelum bapak wafat, kehidupan mereka terbilang berkecukupan lantaran pekerjaan di kantor desa yang punya penghasilan tetap. Ditambah dengan ibu yang juga menitipkan jajanannya di warung-warung milik tetangga.
Namun, rasa cukup itu tak bertahan lama. Beberapa hari setelah Kani masuk ke sekolah dasar, peristiwa naas menimpa bapak yang mengakibatkannya meninggal dunia. Wening yang sangat syok dengan kejadian itu lantas mengurung dirinya selama hampir seminggu. Sementara Kani yang entah seperti sudah mengerti keadaan selalu menemani ibunya.
Saat melihat anaknya merengek minta diantarkan ke sekolah, barulah Wening sadar bahwa masih ada Kani yang menemaninya dan membutuhkan bimbingannya. Sejak itulah dirinya mulai bangkit untuk terus bertahan hidup agar bisa menyekolahkan anaknya seperti yang dia dan almarhum suaminya inginkan. Apalagi setelah beberapa tahun melihat sang anak rajin dan terlihat pintar, juga mempunyai bakat dalam menggambar semakin membakar semangatnya untuk terus mendukung Kani, putrinya.
Gadis yang sudah siap dengan seragam sekolahnya itu menatap penampilannya sekali lagi sebelum memutuskan berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Tak lupa sambil menyapa orang-orang yang ditemuinya selama dalam perjalanan. Udara pagi yang sejuk selalu memberi kenyamanan di hatinya, membuatnya senang dan bersemangat untuk menimba ilmu.