Hans tak bermaksud menyombongkan diri, tapi semua orang mengakui dia adalah pria berpenampilan di atas rata-rata. Berkat perawakan tinggi tegap dan fitur wajah yang menawan, tak jarang lawan jenis melempar tatapan kagum padanya. Hans bahkan berulang kali mendapat tawaran casting sinetron dan film semasa liburan singkat di Jakarta, karena penampilannya yang di atas rata-rata.
Sayang, menginjak usia tiga puluh dua, agaknya sudah terlambat bagi Hans untuk memulai karier di industri hiburan. Tahu sendiri lah, umumnya mereka mencari talenta-talenta muda yang berbakat. Sekali lagi, garis bawahi kata 'muda'.
"Hans, Hans... Kalau tahu karier di bidang fotografi hanya berlangsung sepuluh tahun, harusnya dulu kamu pindah ke Jakarta dan terima saja tawaran casting film, sinetron, atau apalah itu," Hans berbaring menatap langit-langit kamar sambil menggumam pada diri sendiri.
"Mana kutahu hasil kerja kerasku selama ini bakal berakhir gara-gara rumor konyol tak berdasar begini," jawabnya getir, masih bermonolog.
Sesungguhnya, Hans sangat menikmati profesi ini. Kantor Liminal Photography memang terletak di Surabaya. Namun, klien-kliennya berasal dari berbagai kota dan provinsi. Berkat calon pengantin yang kerap meminta potret pernikahan diambil di luar negeri, Hans sering mendapat kesempatan bekerja sekaligus jalan-jalan gratis ke Asia, Australia, Eropa, hingga Amerika.
Entah sudah berapa lama Hans berbaring melamun menatap atap, dinding dan jendela apartemennya. Tahu-tahu saja, langit sudah gelap di luar sana. Perutnya mulai bergemuruh.
"Sekalipun dilanda musibah, aku harus melanjutkan hidup," Hans menepuk-nepuk perut dan berguling turun dari kasur.
Sudah dua minggu Hans resmi menyandang status pengangguran. Tak ada pekerjaan membuat pikirannya jadi gampang melantur. Bila ditarik lebih jauh, sebenarnya, selama tiga bulan terakhir ini, kerjaan Hans hanya bermalas-malasan. Hari-harinya diisi dengan menonton Netflix atau main game di komputer sampai terkadang lupa mandi.
Setelah acara pernikahan terakhir yang bubar karena mempelai wanita mengalami kecelakaan, Hans belum mendapat klien baru sampai sekarang. Ia sempat menawarkan diri membantu mengedit foto wedding klien Sean sembari mengisi waktu luang. Dibayar separuh pun tak masalah. Namun, tawaran itu terpaksa Sean tolak karena semua pekerjaan sudah dihibahkan pada Mario, si anak magang, sarjana lulusan kemarin.
Hans juga sempat mencoba patungan buka kafe bersama salah satu temannya. Nasibnya kurang beruntung. Bisnis itu hanya berlangsung kurang lebih sebulan. Pandemi benar-benar membuat bisnis kuliner terpukul hebat. Mereka memutuskan menutup usaha setelah mendapati makin hari kafe makin sepi, hingga akhirnya sama sekali tak ada pengunjung yang datang. Usaha yang gagal kemarin cukup menguras isi tabungan Hans.
Karena itu, Hans begitu bersemangat saat Sean menelpon, menyuruhnya datang ke kantor. Hans mengira, akhirnya dia mendapat proyek memotret pernikahan lagi. Namun, bukannya memberi klien baru, Sean malah mengembalikan portofolio Hans dan secara resmi menganugerahkan titel pengangguran dengan menendangnya keluar dari Liminal Photography. Padahal, usaha foto wedding itu dirintisnya berdua dengan Sean sejak masa kuliah hingga menjadi sebesar sekarang. Kerja keras mereka setara. Hanya saja, semua modal di awal memang dibiayai oleh orang tua Sean, sehingga Sean yang jadi bosnya.
Liminal Photography. Dulu Hans yang menawarkan nama itu. Ia, dengan filosofi ngawurnya, mengusulkan memakai nama 'liminal' yang berarti 'transisi'. Kata itu dianggapnya cocok untuk menggambarkan acara pernikahan, yang secara resmi menandai perpindahan masa lajang dua insan menjadi sepasang suami istri yang berbagi kehidupan untuk seterusnya.
Sean jelas tidak setuju. Liminal space, yang merupakan salah satu konsep fotografi, umumnya menampilkan potret ruang publik seperti bandara atau taman kota yang lengang dan sepi, tanpa menampilkan satu manusia pun. Hasil jepretan seperti itu umumnya menimbulkan efek cemas dan ketidakpastian bagi orang yang melihatnya. Namun, Hans selalu bisa menggoyahkan pendapat Sean. Ia bersikeras bahwa yang namanya pernikahan memang tidak pasti, tapi di situlah letak serunya. Pada akhirnya Sean menyerah juga. Papan nama Liminal Photography pun menggantung gagah di depan kantor mereka, menandai salah satu gedung jasa wedding photography paling bergensi di kota Surabaya bahkan Indonesia selama sepuluh tahun terakhir.
Hans menatap keluar jendela apartemennya sambil merenung. Empat bulan tanpa pemasukan membuat angka yang tertera di rekening tabungannya begitu mengenaskan. Sementara itu, ia harus membayar cicilan apartemen setiap bulannya. Sudah waktunya ia mencari pekerjaan baru.
Perut Hans kembali berbunyi. "Ah ya, aku harus menyambung nyawa dulu," Hans menepuk-nepuk perut dan melangkah gontai ke dapur. Ia menghampiri kulkas, kemudian mendengus. Tak ada apapun di dalam, selain sebotol soda yang hampir habis. Hans menandaskan minumannya dan melempar botol soda itu asal-asalan.
"Makan apa, ya?" Hans meraih ponsel dan menggulirkan layarnya, bermaksud memesan makanan melalui aplikasi online. Namun, notifikasi pesan yang muncul di layar membuat wajahnya seketika berubah masam. Hans lupa, internet ponselnya habis sejak semalam.
Ia terpaksa turun untuk membeli makanan di minimarket yang ada di lantai dasar apartemen. Hans menyambar dompet, mengecek penampilan sekilas di cermin, mengangkat bahu, kemudian melangkah meninggalkan ruang apartemen.
Hans melangkah cepat menuju minimarket yang terletak persis di seberang lobi apartemen. Ia menyambar dua buah onigiri dan sekaleng kopi dari etalase, lalu membawa belanjaannya ke kasir.
"Sekalian mau isi pulsa, mas," Hans menggumam sambil menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan kepada penjaga kasir.
Dari ekor matanya, Hans menangkap sesosok perempuan memasuki minimarket, melangkah ragu menghampirinya. Hans sama sekali tak memedulikan sosok itu, hingga perempuan itu menepuk pundaknya.
"Hans, kan? Tumben berantakan amat..."
Rasa lapar membuat emosi Hans mendidih. Siapa sih, orang yang begitu cerewet mengomentari penampilannya? Ia menoleh dan mendelik kesal. Sedetik kemudian Hans tertegun. Alih-alih mengerut ketakutan menerima tatapan galaknya, cewek itu menyunggingkan seulas senyum lebar yang manis.
Hans menelan ludah. Dari semua insan yang menghuni bumi, Gea adalah manusia terakhir yang ingin Hans temui dengan penampilan begini.
"Di sini, makanan apa yang enak, ya?" Gea membolak-balik buku menu dengan sepasang mata berkilat, sementara Hans duduk terpaku menatap Gea, seperti orang dungu.
"Kamu biasa pesan apa, Hans?" Gea mengalihkan pandangan dari daftar menu dan menatap Hans dengan ceria.
Hans tergagap. "Croissant... croissant-nya enak. Kalau mau pesan dessert, puding coklatnya oke juga. Kamu suka puding coklat, kan?" ujar Hans tanpa berpikir. Ia memang hafal daftar menu di luar kepala karena sering datang kemari.
Gea meninju lengan Hans main-main. "Masih ingat aja," gumamnya dengan senyum mengembang.
Dalam hati, Hans merutuki kebodohannya sendiri. Seharusnya ia berpura-pura lupa akan makanan favorit Gea. Dia dan Gea bahkan jarang bertemu selepas lulus kuliah bertahun-tahun yang lalu. Untunglah, Gea sama sekali tak menaruh curiga. Sejak dulu, Gea memang cuma menganggap Hans teman. Sekalipun bagi Hans, Gea jauh lebih dari itu. Meski Hans sudah bergonta ganti pacar, Gea selalu menempati ruang istimewa di hatinya.
Pelayan datang dan mereka menyebut pesanan makanan. Setelah mencatat pesanan, pelayan itu pun berlalu sambil membawa buku menu.
Hans dan Gea bersandar di kursi masing-masing. Perjumpaan tak sengaja di minimarket barusan, membuat keduanya berakhir nongkrong bersama di kafe terdekat. Letaknya hanya dua ratus meter dari apartemen Hans. Dari pantulan kaca di sampingnya, Hans bisa melihat betapa berantakannya dia.
Hans tak berpikir panjang saat memutuskan keluar dari apartemen mengenakan celana gombrong yang sudah dipakai dua hari berturut-turut serta kaus bersablon dengan gambar kamera yang nampak kedodoran. Padahal, biasanya Hans selalu tampil rapi. Ia juga merutuki keputusan menunda keramas dan bercukur pagi ini. Kumis tipisnya mulai tumbuh tak beraturan, mencuat di sana sini.
Hans merapikan rambut yang berantakan. Rambutnya bahkan terlihat kusut dan berminyak. Sungguh, ia tak ingat kapan terakhir kali keramas. Mungkin sekitar empat hari yang lalu...
"Aku baru dari Liminal, nyariin kamu. Kata Sean, kamu udah nggak kerja bareng dia lagi," Gea membuka pembicaraan.
Hans memaksakan tawa. Ia sungguh-sungguh tidak ingin menjelaskan status penganggurannya pada gadis ini. Dia pasti terlihat menyedihkan sekarang. "Kamu juga sudah dengar rumor soal kutukan foto itu, kan?"
Gea mengangguk. "Berita soal kecelakaan di pernikahan Boy dan Laura sudah menyebar kemana-mana. Sean bilang, kamu jadi sepi job sejak saat itu," gumam Gea dengan tatapan prihatin.
Hans mengangguk singkat. "Kamu sendiri, ngapain ke Liminal? Mau ngurus wedding?" Ia memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. Dari kabar terakhir yang didengarnya, Gea kini menjalin hubungan dengan anak pengusaha properti terkenal. Membayangkan Gea sebentar lagi akan melangsungkan pernikahan, entah bagaimana membuat perut Hans terpilin.
"Nggak," Gea menggeleng singkat dan Hans menarik napas lega.
Obrolan tersela oleh pelayan yang menghidangkan pesanan. Topik perbincangan pun beralih soal makanan. Hans dan Gea mengobrol panjang. Pembicaraan mengalir membahas hal-hal remeh seputar kehidupan, selayaknya perbincangan dua kawan yang lama tak bertemu.
Sehabis menandaskan isi piring, Gea mencondongkan tubuh dan berkata, "Hans, aku mau nawarin pekerjaan."
Sepasang alis Hans terangkat.
"Sebelumnya, kamu jangan tersinggung dulu, ya," kata Gea hati-hati. "Kamu tahu Bumantara, kan?"
Hans mengangguk. "Satu-satunya rumah duka di kota ini."
"Benar. Kakekku salah satu pendirinya. Kakek meminta ku membantu mengelola rumah duka ini. Kami sudah membuat beberapa rencana, termasuk memodernkan fasilitas rumah duka dan membagi layanan dalam kelas reguler, premium dan VIP. Karena itu, kami sedang mencari fotografer khusus untuk divisi dokumentasi VIP."
"Lalu?"
"Aku terpikir untuk minta rekomendasi kenalan padamu. Aku sempat ke Liminal dan ketemu Sean. Kami ngobrol-ngobrol lama, lalu dia menyarankan untuk menawarkan pekerjaan itu padamu. Tentu saja, itu juga kalau kamu mau," tambah Gea buru-buru.
"Fotografer... rumah duka?" sepasang mata Hans menyipit. Wow. Ia baru saja menerima tawaran pekerjaan yang mengejutkan. Kalau saja tidak sedang dihadapkan pada rumor kutukan dan kondisi pengangguran, Hans bertaruh Sean pasti tertawa geli sampai menangis, mendengar kawannya itu mendapat tawaran kerja ini.
"Betul. Tapi karena ini untuk layanan kedukaan VIP, tentu saja standarnya berbeda dengan dokumentasi kedukaan biasa. Memang sih, penghasilannya tidak sebesar fotografer wedding, tapi soal tarif bisa didiskusikan lagi nanti. Ada minimum gaji tetap setiap bulan, tapi kita tak pernah tahu berapa orang yang membutuhkan layanan kedukaan dalam sebulan. Panggilan foto juga datang sewaktu-waktu, karena kabar kematian selalu mendadak. Selain itu, yang paling berbeda, tentu saja mood fotonya tidak seperti dokumentasi pernikahan yang meriah dan bahagia."
Hans menatap Gea lekat-lekat. "Aku pikir-pikir dulu."
Gea mengangguk.
Di penghujung malam itu, Hans menutup perjumpaan dengan satu kebimbangan besar. Haruskah ia, salah satu fotografer wedding paling berbakat di Indonesia, banting setir dan bekerja di rumah duka?