Hans sungguh tak percaya, masih ada orang-orang yang mempercayai takhayul seperti 'kutukan foto Hans'. Memang sih, orang Indonesia sangat lekat dengan dongeng dan mitos takhayul. Namun, bagaimana bisa klien-kliennya, masyarakat perkotaan yang notabene berpikiran modern dan berpendidikan tinggi, masih mempercayai mitos-mitos tak berdasar seperti itu?
"Siapa sih yang menyebarkan mitos itu?" Hans mengertakkan gigi sambil membanting tubuhnya di kursi. "Jangan mau difoto sama Hans, nanti pernikahanmu buyar," ia mencebik menirukan bunyi rumor yang belakangan berembus kencang menerpanya. "Aku seratus persen yakin, orang itu pasti berniat menjatuhkanku sekalian mematikan karierku! Siapapun dia, jelas orang itu sungguh kejam, tak berperikemanusiaan!"
Di hadapannya, Sean hanya bisa mengangkat bahu. Wajah Sean terlihat pucat dan rambutnya berantakan. Bos Hans itu tampak lesu. "Dari mana rumor itu menyebar, aku juga nggak tahu. Yang jelas, sudah dua bulan ini klien-klien yang datang ke tempat kita selalu menolak memesan jasamu untuk foto wedding. Takut pernikahannya bubar kalau Hans yang handle, begitu kata mereka. Akhir-akhir ini, begitu datang kemari, calon pengantin selalu minta aku saja yang jadi fotografer wedding mereka. Malah, kalau kebetulan jadwal fotoku penuh, mereka tidak keberatan di-handle Mario. Kamu tahu Mario, kan? Si anak magang yang baru."
Hans tak menyahut. Ia menatap map yang tergeletak di meja dengan tatapan kosong. Tanpa perlu dibuka, Hans tahu betul map itu berisi portofolio foto hasil karyanya selama bekerja di kantor fotografi Sean. Ujung-ujungnya lecek, kentara sekali sering dibuka oleh calon pasangan pengantin baru yang rata-rata mengagumi hasil jepretan Hans. Tapi itu dulu, sebelum rumor konyol ini berembus dan membuatnya jadi sepi job.
"Maaf banget, Hans. Tapi kita nggak bisa begini terus," Sean mengusap wajah dan menyodorkan map lecek itu pada Hans. "Di masa pandemi begini, banyak banget yang menunda acara wedding. Liminal Photography harus terus jalan, sekalipun permintaan foto wedding turun drastis. Persaingan di bidang ini keras, kalau kita terus menerus menolak klien yang tidak mau kamu jadi fotografer mereka, bisa-bisa jasa wedding photography ini tutup juga. Kamu bisa mengerti, kan?"
Hans tersenyum kecut tanpa menyahut. "Setakut itukah orang-orang menyewa jasaku?"
"Kita nggak bisa menyalahkan mereka, Hans," Sean menatapnya prihatin. "Sebelumnya, orang-orang ke sini memburumu untuk jadi fotografer wedding mereka. Hasil jepretanmu memang yang terbaik, bahkan lebih bagus daripada punyaku. Hanya saja, sejak rumor itu beredar, banyak calon pengantin yang enggan bekerja denganmu. Klien kita pasti mau yang terbaik untuk pernikahan mereka. Dan nggak bisa dipungkiri, tiga klien terakhir yang kamu tangani memang pernikahannya bubar semua."
Hans mengusap wajah frustasi. "Dengar. Rama dan Tiara cerai cuma sebulan setelah mereka menikah, gara-gara Tiara mergokin suaminya ke hotel sama perempuan lain. Memangnya itu salahku? Ngapain aja dia selama pacaran, sampai nggak tahu kalau calon suaminya doyan selingkuh?" Hans menahan geram.
Sean memalingkan wajah menghindari tatapan Hans. "Acara Julian dan Ratna juga reschedule berkali-kali dan ujung-ujungnya mereka batal kawin, kan? Padahal kamu sudah mengerjakan foto dan video pre-wedding mereka."
"Itu keputusan mereka sendiri, terus menunda-nunda tanggal pernikahan gara-gara kasus covid naik terus. Kamu sendiri tahu gimana pusingnya aku waktu itu, mesti menyesuaikan jadwal motret yang bentrok gara-gara mereka terus mengubah jadwal," Hans menghela napas. "Waktu akhirnya ketemu tanggal resepsi pernikahan terakhir, mamanya Julian sendiri yang mendadak batalin acara. Malu kalau perut calon mantunya yang mulai membesar dilihat sanak saudara dan jadi bahan gosip. Padahal beritanya memang sudah menyebar kemana-mana," ia mengacak rambut dengan kesal.
Sean mengangguk lemah. "Ditambah lagi, klien terakhirmu yang kasusnya paling parah," gumam Sean lirih. "Bayangin, mempelai wanita nggak muncul di hari H, meninggal akibat kecelakaan dalam perjalanan menuju gedung perkawinan. Orang-orang takut nasib pernikahan mereka akan berakhir seperti Boy dan Laura."
"Aku juga ikut datang melayat Laura," gumam Hans getir. "Lalu, apa hubungannya kecelakaan itu denganku, sampai-sampai muncul rumor soal 'kutukan foto Hans'?" Ia bertanya dengan nada frustasi.
"Memang bukan salahmu, Hans. Hasil fotomu sempurna. Semua orang mengakui itu. Hanya saja, nasibmu sedang sial, menangani tiga klien bermasalah secara berturut-turut pula," Sean menggumam lelah. "Tolong mengerti. Buatku, tidak mudah mengambil keputusan ini. Meminta kamu berhenti, sama saja dengan memotong tanganku sendiri."
Hans termangu. Mendadak berbagai momen yang dia habiskan di ruangan ini melintas di benaknya. Hans dan Sean yang kelimpungan membagi waktu untuk mengedit foto klien di sela-sela deadline mengerjakan tugas skripsi. Sean yang kaget setengah mati melihat Hans mendadak berlari masuk hanya untuk menyerobot kameranya kemudian buru-buru pergi lagi, karena kamera Hans sendiri rusak di tengah-tengah acara resepsi pernikahan. Sampai di masa ketika Hans dan Sean sibuk memilih nama untuk usaha fotografi mereka hingga lupa waktu, dan akhirnya nama 'Liminal Photography' tercetus di ruangan ini pada pukul dua dini hari.
Hans menghapus semua bayangan itu dari benaknya. Ia mengangguk tanpa suara dan meraih map di atas meja, lalu bangkit berdiri dan mendorong pintu ruang rapat itu terbuka.
"Hans," panggil Sean sekali lagi.
Hans menoleh tanpa suara.
"Kita masih tetap berteman, kan?"
Hans mematung di ujung pintu. Ia meremas map berisi portofolio foto-fotonya. Lama ia menatap Sean, rekan kerja sekaligus kawan baiknya sejak masa kuliah.
"Tentu. Dengan satu syarat, ganti aroma pengharum itu dengan yang lain," Hans menunjuk mesin pengharum ruangan di sudut dinding. "Yang itu baunya norak. Kamu tahu betul, aku benci aroma kopi buatan," ia memaksakan seulas senyum.
Sean menarik napas lega. Hans melambai dan melangkah gontai meninggalkan gedung tempatnya merajut mimpi selama sepuluh tahun terakhir ini, Liminal Photography.