Langkah kakinya tidak berhenti. Sepanjang restoran, toko, maupun kafe yang ada ia kunjungi. Tidaknya satupun lowongan pekerjaan untuknya. Hingga kedua kakinya merasa letih sembari mengelap keringat yang mengucur di dahinya. Ia menghampiri salah satu gazebo kosong di situ. Map yang berisi Curiculum Vitae-nya sedaritadi dikepitnya. Biasanya seperti ini ia akan keluar jalan-jalan bersama keluarganya atau sekadar nongkrong bersama teman-teman di kampusnya. Menelusuri jalan raya menaiki sepeda melayang-nya pulang ke rumah. Atau jam segini ia bisa ngebo (tidur sampai siang) tanpa dimarahi sang mama karena ia biasa ngebo pada hari menjelang weekend. Atau bersantai ria di balkon seraya memainkan game atau membaca novel. Membayangkan semua itu ia serasa merindukan hidupnya yang dulu. Apalagi bersama keluarganya. Namun, sekarang berubah seratus persen berbanding terbalik dengan kehidupannya yang dulu yang serba kecukupan. Sekarang, ia bersusah payah mencari lowongan pekerjaan. Sembari beristirahat, merogoh tasnya, meraih botol air mineral mungil lalu meneguknya. Botol mineral ini adalah botol terakhir yang dimilikinya saat dirinya di kampus. Ia memandangi dari arah selatan tak jauh dari tempatnya duduk, seorang gadis tampak menempelkan sebuah kertas di jendela. Setelah menempelkannya, gadis itu beranjak masuk ke dalam. Penasaran, ia membuang botolnya ke tempat sampah terdekat. Bergegas menuju restoran itu. Ternyata, restoran yang sekarang dihampirinya itu adalah restoran bergaya jepang. Membaca nama restoran yang tertera di papan gantung.
Miami Japanese Resto.
"Miami Japanese Resto?" Alzaki kemudian menghampiri jendela, memandangi kertas yang ditempel barusan.
Lowongan Pekerjaan
Dicari:
-Pria/wanita masksimal umur 26 tahun
-Mau bekerja menjadi office boy/office girl
-Tepat waktu
-Rajin
-Lulusan minimal SMK/SMA dan sederajatnya
-Suka dengan kebersihan
-Wajib mencantumkan CV bila ingin melamar
Senyumnya seketika mengembang. Ada sebuah harapan yang datang secara tiba-tiba menghampirinya sembari mengucapkan puji syukur. Ternyata masih ada pekerjaan untuknya walau yah terbilang itu cukup sesuai. Mengingat ia masih sama sekali belum memiliki ijazah kelulusannya di kampus. Dengan amat bahagia, sebelum melangkah masuk, di Genkan—beranda depan yang terdapat beberapa sandal yang disusun dengan rapi. Masuk ke dalam restoran kecil itu dengan menggantinya dengan sandal rumah. Semua ruangan di dalamnya didominasi ala jepang. Tempat duduknya pun lesehan seperti rumah jepang asli. Di bagian samping, ada beberapa meja dan kursi. Di depannya ada pintu geser—Shoji yang dilapisi kertas dan sebagian Fusuma yang digunakan sebagai jendela terbuka lebar. Setengah dari restoran ini bergaya moderen. Di beberapa dinding terdapat Byuba, dinding kertas yang terdapat lukisan. Menambah ekstestis ruangan. Ia menatap pelayan laki-laki tampak menatap piring yang baru saja di lapnya dari dapur. Laki-laki itu memakai baju berwarna putih dan topi layaknya pelayan yang ada di restoran kebanyakan di negeri sakura. Menghampirinya dengan sopan.
"Permisi, maaf," ucapnya.
Laki-laki itu berhenti mengelap piring. Memandangi Alzaki. Tampak dari laki-laki itu ekspresinya terkesan sangar dan tegas. Dengan porposi tubuh tinggi dan tegap.
"Ya, ada apa?" tanyanya.
"Maaf, saya ke sini, ingin melamar pekerjaan," ucap Alzaki lagi.
"Melamar pekerjaan?"
"Iya, Oom eh Pak, maksud saya..."
Laki-laki itu terdiam. Pandangannya tidak lepas dari Alzaki. Alzaki malah takut-takut di tempatnya.
"Mungkin kamu lihat kertas yang ditempel di jendela, ya?"
"I-iya, Pak..."Alzaki gugup.
"Hmm, coba saya tanyakan dulu, ya. Kamu tunggu di sini dulu. Soalnya, pegawai yang lain pada istirahat sama makan siang."
"Iya, Pak. Enggak apa-apa."
Laki-laki itu langsung meninggalkannya. Dan masuk ke dapur. Di dapur yang menghubungkan ruang makan kecil di sana. Tiga pegawai di sana menoleh tahu si Chef Sushi menghampiri mereka. Padahal laki-laki itu sudah menyantap bekal makan siangnya yang dibuatkan oleh sang istri di rumah.
"Ada orang," katanya.
"Orang mencurigakan, Mas?"
"Bukan. Tapi orang nyari lowongan pekerjaan di sini."
"Oh, ya? Bagus, dong!"
"Coba sampeyan lihat dulu orangnya kayak apa."
"Orangnya sudah nunggu di depan. Cepat selesaikan makan kalian. Sebentar lagi kita buka kembali," ujarnya.
Mereka bertiga mengangguk. Segere menyelesaikan makan siang mereka. Laki-laki itu kembali menghampiri Alzaki.
"Ayo, ikut ke ruangan saya," katanya mengajak Alzaki menuju ruangan. Ruangan itu berada di belakang restoran. Alzaki menurut saja. Laki-laki itu merogoh saku seragam, meraih kunci, membuka pintu. Ruangan itu lebih kecil daripada dapur. Tampak bersih dan rapi. Dia menyala saklar lampu, dan lampu menyala. Ruangan yang awalnya gelap, akhirnya terang, memperlihatkan seisi ruangan. Ada satu kipas angin berukuran besar yang tergantung di dinding. Lalu membuka gorden serta jendela agar hawa udara masuk ke dalam ruangan. Dia pun menggeser kursi, duduk.
"Silakan duduk," pintanya ramah.
Alzaki mengangguk. Duduk di antara dua kursi itu. Memberikan map berisi Curiculum Vitae-nya kepadanya.
"Ini, Pak."
Laki-laki itu menerimanya. Membuka map cokelat itu. Memperlihatkan Curiculum Vitae-nya. Membacanya.
Alzaki menunggu. Sambil memandangi dua action figure—Hyuuga Hinata dengan ekspresi malu dan Sakura Kinamoto dengan memegang tongkat kuncinya di atas meja.
Laki-laki itu membaca hingga rampung sebelumnya meletakkannya di atas meja."Nama Erza Alzaki..."
Alzaki menunggu.
"Pendidikan terakhir di Kampus
Elite... Oh, kampus swasta itu, ya?" Membacanya ulang."Tunggu, kamu ini sudah lulus atau belum?"
"Belum, Pak," ucap Alzaki jujur.
"Belum, ya? Tapi kamu kok mengajukan CV-mu ke sini?"
"Saya sedang kepepet. Makanya, saya saya butuh pekerjaan."
"Hmm, begitu... Tapi, untuk ke depannya kamu mau bekerja sebagai helper di sini?"
"Helper? Maksud Bapak?"
"Yah, kayak Office Boy gitu."
"Mau, Pak, saya," jawab Alzaki mantap.
Untuk sekarang enggak ada rasa gengsi! Batinnya.
"Baiklah. Kalau kamu mau, mulai besok kamu boleh ke sini. CV-mu saya bawa."
"Ijazahnya?"
"Kalau soal ijazah boleh menyusul," katanya.
"Terima kasih, Pak!" ucap Alzaki senang.
"Ya, sama-sama. Tapi, jangan panggil saya bapak atau Pak, ya, Za. Saya masih muda..." Sembari meringis.
"Iya, Pa—eh, Mas. Terima kasih!"
Alzaki diperbolehkan pulang. Dengan perasaan membuncah bahagia, dengan langkah santai, ia berjalan pulang menuju halte bus. Akhirnya, ia memiliki pekerjaan walau hanya sebagai pelayan atau pegawai bersih-bersih. Ia dapat menyambung hidupnya hingga esok. Sampai di halte bus, angkot melayang datang. Sebelum dirinya berangkat tadi, ia menyiapkan uang tambahan untuk dirinya sebagai ongkos pulang. Memang, tidak seperti dulu lagi. Ke mana-mana bisa mengendarai mobil sendiri atau menaiki sepeda melayang seperti biasa yang ia lakukan.
Enggak apa, pikirnya saat pintu terbuka, ia masuk dan duduk di antara para penumpang lainnya. Angkot melayang yang dinaikinya melayang melesat ke arah jalan raya. Ia bersyukur, bahwa dirinya masih bisa menghidupi kehidupannya yang baru dan tidak pernah meminta bantuan kepada siapapun. Walau itu saudara-saudaranya yang lain. Angkot melayang berhenti. Dua penumpang masuk. Penumpang itu seorang ibu yang masih terlihat muda dan seorang bocah kecil seperti kira-kira umurnya seumuran dengan sang adik. Alzaki bersama penumpang lainnya menggeser bokong masing-masing agar kedua penumpang itu bisa kebagian duduk.
"Bunda, Bunda, nanti kuenya bagiin ke abang, ya," kata bocah itu.
"Iya, nanti dibagiin ke abang." Sang ibu membawa belanjaan bulanan. Tampak berat.
Melihat bocah yang duduk di sampingnya itu teringat adiknya—Aldo. Yah, Aldo, saudara laki-laki satu-satunya yang dulu ia miliki. Namun, semua telah direnggut saat peristiwa itu... Ia tidak lagi memiliki saudara. Tidak memiliki siapa-siapa lagi. Mengingatnya membuat dadanya sakit. Bocah kecil itu membuka dua di antara bungkus permen lolipop rasa susu cokelat. Akan mengemutnya menoleh saat dia sedaritadi ditatap oleh Alzaki di sampingnya.
Alzaki hanya tersenyum.
Bocah itu menunduk, mengemut permennnya, menatap permen lolipop rasa strawberry di pangkuannya. Mengulurkan kepadanya."Abang mau?"
Alzaki dengan senyumnya."Ah, terima kasih."
Bocah itu mengangguk. Kembali mengemut permennya.