Bapak itu menyuruh mereka duduk. Sang istri kemudian masuk ke dalam membuatkan minuman untuk mereka.
"Pinten harganipun kost-e, Pak?"
"Oh, ibuke niku sing ngertosi. Nanging ing kene tukang sampahe mboten wonten," ujar bapaknya.
"Intinya harus buang sampah
sendiri," kata Maria.
Mereka melanjutkan obrolan hingga kemudian tidak terasa obrolan telah selesai. Alzaki membuka bagasi mobil di belakang. Mengambil barang-barang. Maria yang berpamitan pulang duluan. Akan beranjak pergi, dia menyempatkan meminta nomor kepada Alzaki. Masukkannya ke dalam kontak."Kalau perlu bantuan, bisa chat aku, ya, Al."
"Ya."
"Semoga kamu betah di sini," kata Maria."Maaf, aku hanya bisa mencarikan tempat tinggal murah yang ada di sini."
"Enggak apa. Aku sudah bersyukur, kok mau tinggal di sini. Aku sungguh berterima kasih sangat padamu."
"Apa itu enggak terbalik? Seharusnya aku yang berterima kasih banyak sama kamu. Sudah, ya. Kamu baik-baik di sini. Semoga Tuhan selalu menyertaimu."
Alzaki mengaminin."Semoga Tuhan juga menyertaimu, Maria," ucap Alzaki.
"Amin... Yah, aku balik dulu! Jangan lupa kasih kabar, ya? Kapan-kapan kamu mampir gih ke rumahku." Maria melambaikan tangan sembari mobil melayang yang dikendarainya melesat keluar ke arah pagar. Hujan dengan derasnya sudah mereda sedaritadi. Ia berbalik saat ibu pemilik kost memanggilnya, dan mengajaknya menuju kost pria. Ia mencangklong tas serta menyeret kopernya. Mengikuti langkah ibu itu. Keluar dari pagar.
"Kost-e ten mriki, Mas," tunjuk ibunya.
Tempat yang dibilang kost tersebut ternyata beberapa meter dari rumahnya. Ada dua kost. Satu kost khusus pria dan satunya lagi kost wanita. Saling berdampingan namun dibatasi sebuah pagar pembatas yang kokoh. Pagar itu juga terhubung oleh dua kost. Masing-masing telah dipasang wifi untuk layanan.
"Niki, Bu. Tempate?"
"Inggih, Mas. Sepurane mung sederhana. Nanging ujare sing engkos betah-betah wae niku." Ibu itu mengajaknya ke salah satu kamar yang masih tampak kosong alias belum ditempati sama sekali.
"Niki kamare, Mas. Dhisik ana sing ngenggoni nanging tiyange wis mulih nyambut ndamel ing kotane."
Ibu itu membuka pintu, memperlihatkan seisi kamar yang terbilang cukup luas dan bersih. Di dalamnya terdapat kamar mandi. Setiap kost di tempat itu. Semuanya telah tersedia kamar mandi di dalamnya.
"Niku wae, Mas. Nak sampeyan bingung isa takon ibu, ya. Ora perlu isin. Anggepen ibu kayak ibumu dhewe, ya, Le. Bocah-bocah ing kene kerep ngono."
"Inggih, Bu. Matursuwun. Njenengan kok sae karo Maria?"
"Oh, Mbak Maria? Dhisik tau nge-kost ing kost sebelahe. Dheweke merantau saka Surabaya nyambut dhamel. Banjur tinggal ing omahe anyare," cerita ibunya."Mangke Mbak Maria uwonge apikan. Malah Mbake sing promosine kost-e mriki," tambahnya.
Alzaki manggut-manggut. Ibu itu langsung berpamitan meninggalkannya. Jam di dalam kamarnya yang baru menunjukkan jam 10.00 malam. Sudah seharusnya penghuni kost di sini pada tidur terlelap. Ia mengganti pakaiannya dengan pakaian baru. Kejadian demi kejadian yang dialaminya berlangsung tadi, membuatnya lelah batin maupun fisik. Untung saja ia bertemu dengan Maria yang telah mencarikan tempat tinggal baru untuknya. Kalau ia tidak bertemu dengannya? Akan jadi apa dirinya... Merebahkan badannya ke kasur. Kasurnya lumayan empuk. Berbeda dengan kasur yang ada di kamarnya yang mewah.
"Enggak apa. Setelah kejadian ini, besok aku harus memutuskan untuk mencari pekerjaan," katanya. Mencoba memejamkan matanya. Perlahan, ia tertidur dengan pulas. Ia sudah sangat lelah. Larut-larut malam tergantikan dengan secercah sinarnya matahari yang memantulkan cahaya ke arah kamarnya. Walau tertutupi oleh gorden berwarna putih, sinarnya masuk. Perlahan, semua rasa letih telah sirna. Kedua matanya yang terpenjam terbuka perlahan. Mengerjap-ngerja dan bangun. Merenggangkan badannya. Menguap lebar. Dengan kusut, ia turun dari ranjang, menatap ke arah jendela, menyibak gorden dan jendela. Memulai dengan aktifitas baru. Di luar kamar tampak terdengar keramaian. Sebelum keluar, ia bergegas membersihkan diri. Beberapa menit, keluar dengan handuk baru yang sudah disiapkan di sana serta peralatan mandi.
Handuk terlilit di lehernya. Melangkah menuju pintu, membukanya. Melihat beberapa penghuni kost tampak sudah dalam keadaan bersih dan sekarang mereka berkumpul untuk makan di dapur yang lumayan luas. Mereka menatap Alzaki asing. Namun di antara mereka mengajaknya untuk sarapan bersama.
"Sampeyan anyar, ya ing kene?" tanyanya.
"Ah, inggih, Mas," jawab Alzaki malu.
"Kene lho, Mas. Sarapan bareng. Ibu maeng nggawe masakan akeh," tawarnya.
Alzaki menurut saja. Menghampiri gerombolan para pria. Duduk di antara mereka. Menatap makanan apa saja yang akan disantap hari ini. Ada oseng-oseng kacang panjang, sambal terong, telur dadar dicampuri daun bawang, oseng-oseng udang pedas asam manis, sayur asem, tempe goreng. Minumannya hanya air putih biasa di ceret besar beserta gelas masing-masing dan beberapa piring bersih. Mereka duduk lesehan di bawahnya dialasi tikar tua.
Seperti masakan Mbok Inah, batinnya. Teringat akan masakan pembantunya yang baik itu. Mungkin Mbok Inah dan Mas Jaka akan bertanya-tanya kenapa dirinya diusir dari rumah. Dan mereka berdua sangat menyesal bahwa dirinya telah pergi.
"Sampeyan nyambut gawe apa isih kuliah?"
"Kula badhe lulus, kok, Mas."
"Wah, berarti sakumuran karo kula. Kula mung merantau nyambut dhamel ten mriki."
"Oala."
"Sampeyan lulus kuliah arep nyambut gawe ing ngendi?"
"Isih embuh. Kula badhe tiyang nggolek nyambut dhamel," kata Alzaki.
Mereka menyantap makanan itu bersama. Ada nuansa kebersamaan ia bersama penghuni kost di dapur itu. Di rumahnya sendiri, ia sangat jarang untuk makan bersama seperti ini. Ia menyantap makanan di piringnya itu tampak sangat nikmat. Berbeda saat dirinya makan sendirian di rumah. Berbeda rasa.
"Oh, iya, sampeyan jenengen sinten?"
"Erza," ucap Alzaki, menyuap makanannya ke mulut dengan lahap.
"David," jawab pemuda di sebelahnya.
Malahan, ia berkenalan dengan anak-anak yang lain.
"Eh, Vid. Ibu kos kuwi apa ndhuwe anak?" tanya Alzaki yang berganti bahasa tanpa menggunakan Krama Inggil lagi. Menggunakan bahasa Ngoko untuk sesama teman yang sebayanya.
"Dhuwe tah. Ayu jeh. Ibu kos kuwi
anake wadon kabeh. Uwis rabi kabeh. Sampeyan weruh kost iki teka sapa?"
"Kancaku. Jarene ibu kos wingi, ing sebelah kost iki ana kost ceweke?"
"Ana, Za. Soal kost sebelah, cewek-ceweke ayu lan manis kabeh, lho."
"Sampeyan tau nginceng?"
"Taulah," jawab temannya yang lain."Pas wektu kuwi aku tau nyawang salah siji penghunine lagi mepe gombalan. Nanging sing dipepe malah kutange..."
Semuanya langsung tertawa mendengarnya.
"Pas weruh kowe ngincengi ceweke piye?"
"Areke langsung branang abang praupane pas takincengi. Kisinan lagi mepe kutange..."
"Responmu piye terusan?"
"Aku mung mringis wae."
"Cah wadon lagi mepe kok dienceng! Kayak lagi konangan lagi ndhelikake barang berharga." David menatap Alzaki."Sampeyan wis ndhuwe pancangan?"
Alzaki tampak kepedasan saat menyantap sambal terong goreng. Mulutnya megap-megap."Ora... Aku ora ndhuwe..."
"Masa ta? Sampeyan iki taksawang ya rupane nggantheng, lho."
"Jare sapa?" Alzaki meraih gelas dan mengisinya dengan air putih. Menegguknya pelan."Aku iki elek..."
"Ala, nggantheng rupamu, Za. Pasti ing kampusmu kowe dadi primadona, ya?"
"Ora. Aku ora dadi primadona. Lha wong aku ora populer."
"Kok ngono?"
"Isa, wae." Alzaki menatap teman-temannya barunya yang sedang menyantap makanannya masing-masing. Tenyata mereka terlihat ramah padanya walau pertama berkenalan.
Mungkin aku bakal betah di sini, batinnya
Selesai menghabiskan sarapan bersama teman-temannya yang lain, tak tinggal diam, membantu membereskan piring-piringnya. Sisa makanan untuk hari ini hanya disimpan, dipanaskan nanti sore bila aktivitas mereka di luar usai. Alzaki kembali ke kamarnya. Merogoh tasnya. Untungnya, ia masih menyimpan bekas Curiculum Vitae yang pernah ia minta kepada teman kuliahnya dengan berdalih copy-paste dan hasilnya ia ganti keseluruhan dengan data pribadinya. Tanpa bersusah-susah payah membuatnya dan mencetaknya bila sewaktu-waktu terpakai seperti sekarang ini. Dengan rapi, ia dengan bondho nekad, berangkat mencari pekerjaan. Dalam batin, Tuhan, semoga lamaranku ini diterima. Menatap map berisi data prbadinya itu. Keluar dari kost pria.
"Za, arep nandi sampeyan?" tanya David.
"Arep nggolek lowongan kerja," kata Alzaki.
"Menyang ngendi?"
"Iki isih nggolek."
David terdiam."Ya, wis. Takdongake entuk, ya," doanya.
"Amiin."
"Bareng pora?" tawarnya.
Alzaki menghampiri."Ora ngrepoti ta iki?"
"Ora. Sampeyan arep mudhun ing ngendi?"
"Embuh iki. Ya, wis, ayo, ndang! Sapa ngerti ana lowongan..."
Di belakang mereka anak penghuni lainnya keluar dari pagar. Mereka sama-sama akan berangkat kerja. Menyusuri perkampungan, berbelok ke arah jalan raya. David berbelok ke kanan.
"Sampeyan mudhun ing ngendi iki?"
"Sakkarepmu," timpal Alzaki.
"Banjur?"
"Ya, aku nggolek lowongan."
"Nanging kan sampeyan durung lulus? Mengko taktakoni atasanku, Za. Sapa ngerti isih lagi butuh karyawan
anyar."
"Sampeyan kerja ing ngendi?"
"Ing omah sakit. Bagian perawat."
"Wah, sampeyan perawat?"
"Iya, aku perawat."
Dari arah kost. Lebih jauh lagi, Alzaki menatap setiap jalan apabila ada lowongan pekerjaan.
"Aku takmudhun kene wae. Mengko sampeyan kawanen."
David menghentikan sepeda melayang-nya di antara pertigaan. alzaki turun."Ya, wis. Taktinggal, ya. Muga-muga entuk."
"Ya, maturnuwun."
David mengenggas sepeda melayang-nya ke jalan kembali. Tinggal Alzaki yang sendirian di sana. Tidak sendirian sih. Di pertigaan itu sebagian orang-orangnya menyeberang jalan. Ia pun ikut menyeberang. Kakinya terus melangkah mencari sekitar pertokoan, kafe, warung makan maupun restoran yang buka. Mencari tahu di antaranya masih membuka lowongan. Tepat di dekat trotoar, ia melintasi area parkiran restoran mewah. Terus melangkah hingga dirinya merasa lelah. Di mana-mana tidak ada satu pun yang membuka lowongan pekerjaan bahkan bertanya ke satu kafe, ke satu restoran yang lainnya namun tidak ada ada lowongan pekerjaan untuknya.