Melangkahkan kaki keluar dari kompleks perumahan elit. Mendorong kopernya kasar ibarat Harry Potter kabur dari Privet Drive. Di setiap blok, semua kompleks mematikan lampu. Namun sebagiannya masuh ada menyalakan lampu. Gerimis turun kembali. Suasana kian menambah gelapnya malam. Entah langkah kakinya pergi ke mana. Ia sudah tidak tahu lagi. Semuanya telah pupus... Seperti arang menjadi abu... Perutnya tiba-tiba merintih sakit. Semenjak dari rumah sakit, perutnya sama sekali belum terisi. Ia tidak peduli dengan perutnya sekarang. Yang ada hanyalah mencari tempat tinggal untuk sementara. Dari luar kompleks, hanya beberapa mobil melayang yang melintas. Melangkah menjauh dari arah kompleks. Tidak sadar, dirinya sudah berjalan sangat jauh. Tidak peduli keringat turun membasahi dahi. Tampak dari arah halte bus, yang lampunya remang-remang, menghampirinya lalu duduk sejenak untuk beristirahat. Merogoh tas, meraih botol minuman yang diberikan Citra padanya di kampus beberapa waktu yang lalu. Meneguknya habis. Memasukkannya ke dalam tas. Di sana juga sama sepinya. Hanya gemericih gerimis yang ada diiringi suara jangkrik bersahutan. Ia sendirian, termenung memikirkan nasibnya. Sungguh malang...
Dari arah halte bus, ada mobil melayang merah kinclong sepertinya mogok. Keluarlah seorang gadis, dari pawakannya tampak tomboi. Dia mencoba memeriksa mobilnya. Raut wajah cantiknya khawatir.
"Aduh, mogok lagi!" katanya, menatap sekeliling."Mana enggak ada bengkel lagi di sini," keluhnya. Cepat-cepat dia menelepon temannya. Seperti meminta bantuan. Urung, nomor yang dihubunginya tidak kunjung diangkat."Huh, ke mana sih, dia?!"
Alzaki yang melihat gadis itu uring-uringan, memutuskan untuk membantunya. Beranjak dari halte bus, menyeret kopernya. Gadis cantik itu masih saja uring-uringan. Beberapa kali menelepon temannya, tapi tidak kunjung diangkat.
"Kemana sih dia?! Enggak bisa diandalin, deh!" uringnya, mematikkan sambungan.
"Maaf, Mbak," sahut Alzaki di belakangnya.
Tak ayal gadis itu terkejut, hingga handpone yang digenggamnya hampir saja jatuh."Kyaa!"
"Maaf, maaf, Mbak. Bikin sampeyan kaget," kata Alzaki.
Cewek itu menatapnya. Dari atas hingga ke bawah. Dan, saat menatapnya dia terpesona. Terpesona sangat lama. Tidak berkedip sekalipun. Di depannya tiba-tiba muncul sosok pemuda yang sangat tampan.
Alzaki mengernyitkan alis."Lha, ada apa sama cewek ini?" gumamnya. Mencoba melambaikan tangannya ke muka cewek itu."Halo, Mbak? Mbak, Mbak sampeyan kenapa? Mbak, Mbak..."
Cewek itu tersadar. Pipinya merona. Kepergok bengong."E-eh, maaf, ya,
Mas..." ujarnya malu.
"Enggak apa-apa." Alzaki menatap mobil merah melayang di belakang gadis itu."Kenapa sama mobilnya?"
Cewek itu menoleh."Ini, Mas. Mobil saya mogok."
"Coba saya periksa. Siapa tahu akinya yang rusak."
"Lho, Mas, bisa memperbaiki mobil?"
"Bisa," kata Alzaki datar.
Ia mencoba membuka depan mobil. Mengecek apakah akinya yang rusak.
"Bagaimana, Mas?"
"Eem, saya lihat, akinya baik-baik saja."
"Terus? Kalau akinya enggak rusak, apa dong?" Gadis itu tambah khawatir. Maksudnya, khawatir terhadap mesin di mobilnya yang lain.
Alzaki mengeceknya kembali hingga ke belakang dan samping mobil. Dicek semua mesin baik-baik. Tidak ada kerusakan."Iya, ya. Semuanya baik-baik saja. Coba sampeyan nyalakan mesinnya dulu."
Cewek di depannya langsung masuk saat pintu terbuka otimatis. Memasukkan kunci ke lubang, memutarnya. Mencoba dinyalakan. Mesin pun menyala, namun hanya sebentar. Melihat angka yang di depan kemudi yang jarumnya merosot ke bawah.
"Bagaimana, Mbak?"
"Iya, Mas. Besinnya habis..." Gadis itu keluar."Tapi, di sini jauh dari POM bensin..."
"Sudah, Mbak. Saya dorongin sampai ke sana. Di sana kayaknya ada POM mini, kok."
"Enggak apa-apa, nih? Tambah ngrepotin, Mas."
"Saya enggak masalah."
Gadis itu menatap koper di samping mobilnya."Boleh tanya enggak, Mas?"
"Ya, boleh."
"Mas, ini mau ke mana? Kalau boleh saya anterin, deh," tawarnya.
Deg.
Gadis ini menanyakan di mana ia akan pergi? Kalau ia cerita sekarang kepadanya. Apakah cewek ini bakal menjaga rahasianya?
Ia mencoba tersenyum. Bukan saatnya bersusah diri di hadapan orang lain. Apalagi di depan orang yang ditolong sekarang. Jujur, dirinya sendirilah yang butuh bantuan.
"Kalau enggak mau cerita enggak
apa, Mas. Nanti, saya beliin teh anget di warung. Hehehe," tawarnya lagi. Cewek itu memasukkan koper serta tasnya ke dalam bagasi. Alzaki bersamanya mendorong bersama dari arah halte bus. Menyusuri jalanan nan sepi diiringi gerimis yang tidak hentinya turun dan berubah menjadi hujan. Buru-buru mereka mendorongnya hingga menuju POM Mini di dekat pinggir jalan. Seorang pemilik POM Mini segera mengisi bensin ke dalam lubang mobil. Sambil menunggu, cewek itu membelikan teh hangat untuk dirinya dan Alzaki di warung terdekat. Dia kembali beberapa menit dengan dua tangannya membawa plastik berisi teh hangat dan dua sedotan dengan warna berbeda.
"Nih, Mas." Memberikannya ke Alzaki.
Ia menerimanya."Matursuwun."
"Nggih," jawab cewek itu.
Menikmati teh hangat pemberiannya. Perut Alzaki kembali merintih. Bunyi rintihan perut tidak bisa dibohongi.
"Kenapa, Mas?"
"Enggak apa-apa," Alzaki menutupinya. Menyeruput teh hangatnya.
"Kalau lapar bilang saja. Enggak apa-apa. Untung-untung saya bisa balas budi ke Mas."
Balas budi?
Antara menolak dan menerima tawarannya, perutnya kembali merintih.
"Tuh, kan. Saya traktir, deh. Tadi beli teh hangat ini di sana," tunjuknya ke warung sebelah. Hanya beberapa pelanggan yang tampaknya mengopi ria.
Alzaki dengan terpaksa mengangguk. Mereka beranjak ke warung. Beberapa pelanggan menatap keduanya sebentar lalu kembali melanjutkan bercengkrama.
"Kamu pesan apa?" tawarnya."Biar saya yang bayar."
Alzaki menatap daftar menu di etalase kaca yang tertempel. Ada beberapa menu yang tersedia. Seperti warung kebanyakan. Ada nasi campur, ayam goreng, tempe goreng, tempe bacem, nasi goreng, oseng-oseng udang dan lain-lainnya. Tidak ketinggalan di sebelah menu makanan ada daftar minumannya. Semua serba komplit.
"Saya pesan nasi campur saja," pesan Alzaki.
Maria segera memesan nasi campur dua dan teh hangat dua gelas. Menunggu pesanan dilayani, mereka melanjutkan obrolan.
"Beneran kost yang kamu kasih tahu itu baik?"
"Bener, Mas. Percaya, deh, sama saya. Saya sudah lama kenal sama pemiliknya."
Alzaki menatap gadis itu."Kamu tinggal di mana?"
"Saya tinggal jauh dari sini. Kamu mau ke rumah saya?"
"Kapan-kapan saja."
Pesanan pun datang. Sang pemilik warung meletakkan pesanan mereka di atas meja. Menyantap makanan itu dengan lahap. Terutama ia yang sedaritadi perutnya merintih belum terisi. Maria menatapnya heran."Kamu beneran lapar, ya?"
Alzaki meringis.
"Habisin. Kalau kurang, kamu boleh tambah, kok."
Hatinya terasa lega. Ternyata Tuhan masih memberikan kehidupan kedua untuknya. Bertemu dengan orang baik yang ditolongnya. Ia berjanji, setelah kehidupannya yang baru ini akan lebih baik lagi. Beberapa menit kemudian mereka selesai menyantap makanan yang dipesan, mereka berdua keluar setelah Maria membayar pesanan mereka. Alzaki merasa perutnya tidak merintih lagi. Mereka menghampiri POM Mini setelah pemilik POM Mini selesai mengisi bensin, gadis itu memberikan selembar uang."Kembaliannya Bapak ambil saja."
Bapak itu senang bukan main. Sambil mengucapkan rasa terima kasih padanya. Mereka masuk saat pintu terbuka otomatis. Cewek itu memasukkan kembali kontaknya, alhasil mesin pun menyala kembali seperti sedia kala.
"Puji Tuhan!" ucapnya
senang."Mobilnya menyala lagi!"
Alzaki ikut senang namun hatinya sama sekali tidak.
"Oh, ya, Mas. Saya anterin ke mana, nih?" tanyanya.
"Enggak tahu, Mbak," kata Alzaki.
"Kok enggak tahu bagaimana?" Dia ikut bingung."Mas, ini sebenarnya mau ke mana?" Perlahan menjalankan mobil melayang-nya ke jalan raya. Hujan langsung membasahi seluruh jalanan.
"Enggak tahu sebenarnya saya mau ke mana."
Dia terdiam. Diam-diam penasaran dengan cowok di sampingnya yang menatap jendela sambil menompang dagunya.
"Eem, maaf, Mas ini sebenarnya minggat?" tanyanya hati-hati.
"Yah, bisa dibilang kayak begitu."
"Kalau Mas ini minggat. Mending tinggal di rumah saya. Enggak apa-apa."
Alzaki melotot. Tinggal dengan cewek ini? Yang benar saja! Oi, memangnya mau kumpul kebo apa?!
"Oi, Mbak, yang bener, nih? Saya baru kenal sama sampeyan."
Tunggu. Jika dilihat-lihat lebih dekat, cewek yang sedang mengemudi ini selain berwajah cantik dan aneh. Ya, pertama bertemu, kesan Alzaki padanya adalah aneh. Dan, mukanya mirip sekali dengan salah satu katakter di anime. Yang para Wibu maupun Otaku sudah sangat mengenal karakter itu. Karakter terkenal jenius, ahli menganalisis dan tegas sebagai pemimpin.
"Kok bisa minggat itu ceritanya bagaimana?" Matanya fokus ke depan, mengemudi.
"Ceritanya panjang."
Mereka terdiam. Hanya suara deru mesin dan hujan deras di luar. Dia mencoba memecahkan ke sunyian. Meringis."Kita tadi belum sempat berkenalan, lho. Saya Maria Gupallo," ucapnya.
"Saya Erza Alzaki."
"Kalau boleh, saya panggil Alzaki? Kayaknya kita seumuran."
"Terserah mau panggil saya apa."
"Hahaha."
"Kenapa?"
"Kalau saya lihat-lihat kamu itu ganteng juga."
"Setiap orang maupun teman-teman saya di kampus, bilang pada begitu semua."
"Wah, berarti kamu cowok populer dong? Kamu masih kuliah?"
"Enggak. Saya enggak populer," kata Alzaki."Saya menunggu kelulusan."
"Sebentar. Kalau kamu enggak mau menginap di rumah saya. Mau enggak saya ajak ke kost pria. Saya kenal sama pemilik kost-nya. Beliau baik. Buat tempat tinggal sementara. Bagaimana?"
Alzaki menimbang-nimbang. Mengangguk setuju.
"Bayarnya berapa bulan?"
"Cuma tiga bulan. Asal jangan menunggak. Dicicil boleh, kok."
"Matursuwun, ya."
"Ah, saya yang matursuwun. Kamu sudah menolong saya dan saya ngerepotin kamu."
Puji Tuhan, batinnya senang sekaligus bersyukur. Dari acaranya diusir dari rumahnya. Ternyata masih ada orang yang berbaik hati mau menolongnya dilanda dirinya susah sekaligus berkabung.
"Maaf, ya, Al. Tapi, kost-nya cukup murah dikantong. Tapi jauh dari bank. Dari luar kost banyak yang jualan banyak makanan. Kamu bisa pilih nanti kalau kamu kost di sana. Selain kost cowok, kost buat cewek ada."
Mobil melayang melesat ke arah jalan menuju kost. Seperti kebanyakan kost, di mana-mana adanya hunian seperti perkampungan di tengah perkotaan. Di sana terkenal bersih. Karena setiap RT mengadakan bersih kampung. Makanya, di sana disebut "Kampung Bersih."
Maria membelokkan ke jalan. Jalan menuju kost masih masuk. Betul, katanya. Jauh. Tetapi bagi Alzaki tidak masalah. Dengan begini, kehidupannya yang serba kemewahan hilang dan tergantikan oleh kehidupan yang baru, kehidupan normal. Menyusuri setiap perkampungan. Walau dikatakan perkampungan, di setiap sisi jalan di penuhi penerangan. Mobil melayang Maria berhenti di satu rumah minimalis, terdapat banyak ditumbuhi tumbuh-tumbuhan. Dari dalam pagar, tampak dua orang sedang bercengkerama di dalam rumah. Pintunya terbuka lebar. Maria mematikan mesin."Kita sudah sampai! Yuk, keluar!" ajaknya. Pintu terbuka otomatis, mereka berdua turun. Menghampiri pagar, mengintip.
"Ada orangnya."
"Memang ada orang."
Maria mencoba menggendor pagar."Permisi! Permisi!" sahutnya.
"Kayake ana uwong, ta, Bu. Sawangaen dhilut," titah bapak paruh baya sekitar umur lima puluh tahunan.
"Iya, kayake. Taksawange dhisik, Pak." Ibu yang umurnya di bawah suaminya itu beranjak dari kursinya. Menghampiri teras. Tepat di depan pagar, mencoba memastikan siapa tamu yang datang.
"Mbak Maria?"
"Iya, Bu. Ini saya," ucap Maria.
Ibu itu segera membukakan pagar. Membuka pagar lebar. Memperlihatkan sosok keduanya.
"Geneya sampeyan mrene, Mbak? Pas udan lho. Ayo, mlebu dhisik," ajak ibu ramah itu.
Mereka masuk mengikuti ibu itu.
"Sapa, Bu?"
"Saya, Pak," Maria meringis.
Pasangan suami dan istri baik hati itu penasaran dengan Alzaki."Niku sinten, Mbak? Pacare sampeyan?"
"Eh?" Alzaki salah tingkah.
Ia dibilang pacar Maria? Padahal ia dan Maria baru saja berkenalan.
"Bukan, Pak. Ini teman saya. Namanya Erza."
Bapak itu mengangguk mahfum."Badhe menapa, Mbak, sampeyan mrene?"
"Itu, Pak. Teman saya ini lagi nyari nyari kost."
"Mase isih kuliah?"
"Isih, Bu. Kula badhe lulus."
"Oh, arep lulus, ta?"
"Mangke kula nge-kost mriki, badhe madhosi nyambut dhamel," kata Alzaki sopan menggunakan bahasa Krama Inggil.