"Kok males, sih? Aku ngerti kamu di sini belajar menimpa ilmu. Kamu juga. Daripada ngurek di kelas mulu, aku ajakin ke tempatnya si Lila, mau?"
"Buat apa? Mau jodohin dia ke aku?"
"Ya, enggaklah! Aku ngajak kamu biar tahu siapa si Lila itu. Entar kamu enggak nyesel, deh, aku ajakin ketemu dianya. Biasanya, dia ada di
kelasnya."
Alzaki terdiam. Meneruskan mencari berita di Twitter yang akan dibacanya. Salah satu teman perempuannya yang sehabis dari kantin, berlari memasuki kelas.Menghampiri salah satu bangku, di antara 30 bangku. Agak jauh dari bangku yamg didudukinya.
"Krungu pora?"
Teman-temannya menoleh bareng.
"Krungu apa, Ta?"
"Iya, iki. Ana apa?"
"Tahu kagak sama Lila?"
"Kenapa sama si Lila?"
"Aku denger tadi, dari anak Ekonomi, dia habis diputusin sama pacarnya," cerita Tata.
"Yang bener kamu, Ta?"
"Iya, mutusinnya baru aja. Tapi dianya pergi entah ke mana. Waktu diputusin, dia kagak terima gitu."
"Wah, kesempatan nih! Ada emas di balik kotak harta karun!" Dodon bersemangat.
"Kenapa?"
"Lila sudah diputusin sama pacarnya. Nah, bagi jomlo-jomlo ngenes kayak kita nih ada kesempatan ngedeketin si dia."
"Terserah kamu." Alzaki membaca berita kebakaran. Lagi heboh-hebohnya."Aku enggak ikut."
"Iih, kamu mah suka gitu. Emang kamu enggak tertarik apa sama cewek secantik Lila?"
"Enggak. Aku lebih suka yang setia," ungkap Alzaki, selesai membaca, yan artikelnya hanya sekilas, me-logout Twitter-nya. Memasukkan handpone-nya ke saku celana. Berdiri.
"Mau ke mana?"
"Ke kamar mandi bentar. Aku kebelet pipis." Beranjak dari kursinya."Titip tas aku ya, Don!" Keluar dari kelas. Suara penyambutan masih berlanjut. Sang rektor menjelaskan visi dan misi kampus. Alzaki menuju toilet. Toilet berada di bawah tangga. Ada tiga toilet di sana. Di antara toilet khusus untuk umum. Di samping tiga toilet ada gudang untuk menyimpan barang-barang. Ia masuk, menutup pintu, membuang hajat kecilnya. Toiletnya tidak seperti kebanyakan toilet. Di toilet itu, terdapat beberapa bilik kamar mandi. Membuang hajat kecilnya, sontak ia mendengar seperti ada suara tangisan. Suara tangisan itu seperti suara tangisan seorang cewek. Memang, toilet yang dikunjunginya bersebelahan dengan toilet cewek. Maka, ada para cewek sedang asyik nge-ghibah atau gosipin cowok, para cowok di toilet sebelah bisa mendengar pembicaraan. Bila para cowok
Masa kamar mandi ini angker? Batin Alzaki.
Tiba-tiba saja suara tangisan itu terdengar jelas. Tidak mungkin di kamar mandi yang dikunjunginya ini dulunya bekas pembunuhan. Dirasa lega, ia cepat-cepat dibersihkannya bekas pipisnya seraya mencuci tangan menggunakan sabun. Beranjak keluar dari bilik ke arah pintu keluar. Suara tangisan itu masih terdengar jelas. Saat akan melewatinya, asal suara tangisannya berada di kamar mandi sebelah.
"Berarti di toilet sebelah," gumamnya. Mengintip di balik pintu, memastikan suara tangisan itu ternyata di dalam. Penasaran, melangkah masuk, mencoba mencari sumber suara. Suara tangisannya kian mendekat saat dirinya mencari di antara bilik-bilik. Berbelok saat mengintip dari arah westafel.
Deg.
Suara itu! Batinnya.
Alzaki mencoba mengintip kembali. Suara itu kian jelas, dan tangisan tersebut berasal dari seorang gadis yang kira-kira seumuran dengannya. Gadis itu sesekali mengusap air matanya. Ia mencoba mendekatinya.
"Maaf," kata Alzaki.
Gadis itu menoleh, kaget. Masih dengan isak tangisnya.
"Ka-kamu..." katanya parau.
"Maaf, tadi saya ke sini, saya kira suara tangisan apa itu... Ternyata, suaranya dari toilet cewek..." Alzaki merasa canggung dan takut kalau gadis ini tersinggung oleh perkataannya.
"Maksud kamu, kamu kira suara saya tadi... Hantu?"
"Er..."
Gadis itu menyeka kembali matanya menggunakan tissu yang dibawanya.Mencoba tertawa namun tertawa terpaksa."Hahaha..."
"Eh?"
"Hahaha..." tawanya."Kamu takut kan?"
"Oh, ya. Saya beneran takut," kata Alzaki datar. Memang ia terkenal penakut. Pernah, apalagi sewaktu di rumah mati lampu dan ia ditinggal sendirian oleh keluarganya. Mas Jaka dan Bi Inah saat itu pulang kampung.
Tawanya makin meledak. Gadis itu tidak lagi terisak."Kamu cowok yang jujur, ya?"
"Buat apa bohong? Lha wong saya ini penakut kok aslinya."
"Hahaha. Iya, ya." Gadis itu menghentikan tawanya."Siapa nama kamu?"
"Saya Erza. Erza Alzaki," jawab Alzaki.
"Saya Lila Permata," mengulurkan tangannya kepada Alzaki."Salam kenal, ya, Erza."
"Ya, salam kenal."
"Kok saya enggak pernah ngelihat kamu? Kamu jurusan apa?"
"Kamu enggak pernah lihat saya karena mahasiswa di sini banyak." Alzaki masih dengan tampang datar."Saya jurusan Desain Komunikasi Visual."
"Hahaha. Saya jurusan Akutansi. Makasih, ya, Zra. Sudah agak mendingan."
"Mendingan ngapain? Saya kan, belum ngehibur?"
"Itu tadi sudah menghibur. Yuk, kita keluar," ajak Lila.
"Tunggu dulu." Alzaki menghentikan Lila akan beranjak. Teringat akan teman sebangkunya yang bertubuh tabun mirip Horace Slughron, guru pelajaran Ramuan.
"Kenapa?"
"Kamu mau enggak ke kelas saya sebentar? Teman saya ada yang sebenarnya naksir sama kamu."
Lila terkejut mendengarnya."Siapa?"
"Ada pokoknya. Dia anaknya baik, kok."
Mereka berdua keluar dari toilet wanita. Mereka menuju jurusan Desain Komunikasi Visual. Banyak sepasang mata menatap mereka sembari berbisik-bisik tidak suka dan tidak enak di telinga. Terutama para mahasiswa yang sudah menyukai gadis di samping Alzaki ini. Gadis yang terlewat populer akan kecantikannya. Sudah banyak cowok yang dipacarinya.
"Sama siapa tuh? Cowok baru?"
"Gila! Cowok barunya ganteng abis!"
"Kok cowoknya jarang lihat aku?"
"Mungkin anak jurusan lain."
"Jangan-jangan cowoknya tukang ngaretin uangnya dia."
Alzaki seumur hidup, baru pertama kali digosipin tidak enak seperti itu. Ia seorang cowok yang baik-baik walau dari keluarga terpandang. Dibilang dirinya suka ngaretin uang Lila? Hooh, kata siapa? Gosip memang pedas, memang menyakitkan. Namun dirinya cowok cuek dan tidak peduli seperti anak-anak laing ngegosipin. Memasuki jurusan Desai Komunikasi Visual, mereka menyusuri kelas di mana Alzaki biasa belajar. Kampus yang menjadi tempat menempa ilmu, adalah kampus sawasta terbesar kedua di Kota Cyborc. Tepat di depan kelas, sebagian temannya menatapnya tidak percaya dirinya berjalan bersama si idola kampus.
"Geneya Erza isa nggawa si Lila?"
"Ya, embuh! Takona dheweke."
"Kok isa ya?"
"Apa Erza wis dadi penggantine cowoke Lila?"
"Ini kelas kamu, Zra?"
"Iya, ini kelas saya. Ayo, masuk." Mereka masuk, menghampiri bangkunya yang berada di bangku urutan tengah, di bangku ke tiga, bersebelahan dengan bangku Dodon. Cowok bertubuh tabun dan memakai kacamata bulat, telah menghabiskan rotinya, berganti merogoh snack kentang di tasnya. Akan membuka ujung bungkusnya, mendongak kaget melihat Alzaki bersama cewek cantik yang selama ini ditaksirnya lama.
"Kenapa kaget begitu?" kata Alzaki."Eh, Lila, ini lho teman saya yang saya bilang kepingin saya kenalin ke kamu. Dia Dodon," Alzaki memperkenalkan Dodon ke Lila.
Dodon sendiri masih kaget. Ibarat Park Hyungseok gendut bertemu dengan Crystal Chong versi cantiknya.
"Hai, Dodon," sapa Lila ramah, namun kedua matanya sembab. Tidak kehilangan akan pesona cantiknya.
"Oh, hai," jawab Dodon malu-malu.
"Kamu berdua bisa ngomong bareng dulu, gih. Saya mau keluar lihat ke panggung. Kayaknya Pak Rektor sudah selesai penyambutan.
"Zra, bisa kemari sebentar?" ajak Dodon."Sebentar, ya, Lil."
Lila mengangguk. Duduk di bangku Alzaki.
Keduanya berjalan ke luar kelas. Dodon mengajaknya agak menjauh dari kelas beserta anak-anak lainnya. Di dekat tiang, terdapat vas bunga besar.
"Kamu ngapain bawa Lila ke kelas?" tanya Dodon berbisik.
"Katanya kamu kepingin sama Lila? Ya, sudah kubawain dia ke sini."
"Emangnya dia barang apa? Dia kayaknya habis nangis."
"Tapi seneng, kan, ada dia di kelas kita? Dia emang habis nangis. Kukira dia dhemit tadi."
"Dia habis nangis di toilet cewek?"
"Iyalah. Masa habis nangis di kuburan? Kan, serem!" celetuk Alzaki.
"Kamu pakai mantra apa dia kok bisa ke sini?"
"Ehm, enggak tahu. Mungkin pake Armormentia kali..."
"Iih, kamu mah," Dodon mengajaknya kembali ke kelas. Kembali ke bangku masing-masing. Erza meraih tas di atas meja."Suwun, ya Don, wis dijagain tasku! Aku takrana dhisik!" Melenggang pergi keluar dari kelas. Sementara Dodon hanya melongo di tempatnya. Setelah dirinya, pergi, Lisa yang mengajak Dodon mengobrol hingga anak-anak menatap keduanya tidak percaya. Bahkan ada yang bersuit-suit menggoda mereka. Dodon tambah malu.
Di luar kelas, salah satu temannya yang memakai hijab, berlari menghampirinya."Zra! Entenana!" serunya.
Alzaki menghentikan langkah. Temannya menjejerinya. Mereka berdua melanjutkan melangkah."Jarene acarane nyampe jam 09.00 bengi."
"Iya, ta?"
"Ujare tim panitia ngono."
"Sampeyan nguping, ya?"
"Oh, ngangekmu! Ora ya, si Citra sing ngandhani. Sampeyan isih melu kegiatan fotografer?"
"Ora. Aku metu. Kan, arep kelulusan. Wis ben junior awake dhewe sing ngurusi."
"Lulus saka kene, sampeyan arep kerja menyang ngendi?" tanya temannya.
"Embuh. Aku ora mikir tekan semono. Lha, dirimu, metu saka kene arep ngelamar ing ngendi?"
"Aku paling nerusake usahane keluargaku, Zra."
"Takkirane rabi."
"Oo, nak ngomong!"
Mereka sampai di aula. Di dalam sana, lebih banyak mahasiswa dan mahasiswi berkumpul. Kali ini acaranya menampilkan tarian tradisional tari topeng. Yang dibawakan oleh salah satu adik angkatannya yang mengikuti kegiatan menari di kampus. Gerakannya yang luwes, membuat semuanya terpana. Sebagian mahasiswa maupun mahasiswi ada yang menyantap makanan yang diberikan pihak panita penyelenggara. Langit dengan cepat berubah menjadi kelabu. Menandakan waktu menjelang malam. Waktu pun juga ikut cepat berputar. Band yang diundang oleh pihak kampus akhir tiba. Dengan personel empat orang dengan pakaian rapi dan sopan, band tersebut menaiki panggung. Sebelum memulai, sang vokalis memberikan sambutan terlebih dahulu. Suara sang vokalis menggema ke seluruh penjuru kampus. Dengan ramah menyapa para penghuni kampus.
"Selamat Malam semuanya!" sapa sang vokalis bersemangat.
"Selamat Malam!" jawab seluruh mahasiswa dan mahasiswi heboh.
"Masih pada semangat, nih? Oke, sebelum kami memeriahkan acara, kami akan menyambut kalian! Ada yang tahu atau hafal mungkin dengan lagu kami?"
Semuanya bersorak. Bahkan sampai ada yang hapal lirik dan judul lagunya.
"Oke, kalau masih bersemangat, kami akan memulai dengan lagu kami ini," musik pun dimulai dengan gitaris memainkan gitarnya diiringi suara dari bass. Semuanya ikut bergoyang dan sang vokalis mulai bernyanyi. Irama drum ikut menggema. Alzaki, yang berdiri di dekat tiang aula, beranjak keluar dari aula seraya berdesak-desakan dengan mahasiswi yang sedang merekam video di handpone. Gegap gempita terdengar hingga keluar kampus. Jauh di luar aula, ia menghampiri bangku yang dipayungi payung, menggeser kursi, duduk. Membuka tas, mengeluarkan kamera DSRL, kemudian membersihkannya dengan lap bersih. Tampak tak peduli dengan keramaian di belakangnya. Selesai membersihkan, mengecek apakah ada debu yang tertinggal. Memasukkannya kembali ke dalam tas, menutupnya dengan rapat, berdiri. Mencangklong tas. Saat akan pergi, seorang gadis berambut cepol tak lain adalah temannya, Citra. Gadis itu adalah panita penyelenggara acara dan aktif dalam berorganisasi.
"Erza!" panggilnya.
Alzaki menoleh."Ada apa?"
Gadis itu menghampirinya, dua tangannya membawa kardus berukuran mini. Berisi botol air mineral."Nih, ambil."
Alzaki menunduk. Menatap botol-botol mineral di dalamnya. Meraih satu."Makasih, ya."
"Kamu mau pulang?" tanya temannya.
"Iya, mau pulang," kata Alzaki dengan tampang datar. Berbalik,"Sudah, ya. Saya mau pulang," pamitnya.
"Eh, enggak menunggu sampai acara habis?"
"Enggak," jawab Alzaki datar."Sudah, ya. Nanti, kalau anak-anak ada yang tanyain, bilang saja aku pulang," pamitnya.
Temannya mengangguk.
Ia mencangklong tasnya, melangkah menuju area parkir. Area parkir yang dituju adalah area parkir khusus sepeda melayang. Masuk, mencari sepeda melayang miliknya. Tidak seperti kebanyakan anak kaya, ia cenderung tak menonjol diri. Berpenampilan sederhana. Jujur, dirinya menyukai tampilan apa adanya. Sepeda melayang-nya saja, tak sebagus seperti teman-temannya. Menaikinya tak jadi karena suara handpone berdering nyaring di saku celananya. Merogoh saku celana, memperlihatkan layar di handpone ada tulisan Tante Anna calling...
"Kenapa Tante Anna menelepon?" Mengangkatnya,"Ya, Tante?"
"Erza! Kamu masih di kampus?" Suara tantenya dari seberang.
"Masih, Tante. Ini baru mau pulang. Ada apa, ya?"
"Cepat kamu ke sini-ke rumah sakit!"
"Ke rumah sakit? Ada apa memangnya?"
Suara Tante Anna tampak khawatir."Mama, papa dan adikmu..."
Seketika matanya terbelalak, hatinya langsung mencelos mendengar penuturan tantenya. Ia bertanya di mana letak rumah sakitnya berada. Tantenya memberitahu, Dengan segera, mematikan sambungan, memasukkan handmengenakan helm, dan melesat mengendarai sepeda melayang-nya keluar dari area parkir. Seperti dikejar Bludger di Pertandingan Quidditch, ia menyalip mobil-mobil melayang yang melintas. Sampai robot polisi yang mengamankan lalu lintas hari itu terkejut dengan mata terbelalak berkedip-kedip, ada pengendara yang menyelonong masuk tanpa aturan dan melesat melewati para pengendara yang bolak-balik berbelok.
"Hei, pelanggaran!" serunya marah.
Ia tidak peduli. Yang dipikirkannya sekarang adalah bagaimana nasib keluarganya. Terbayang di depannya wajah keluarganya. Mamanya, papanya, dan adik laki-lakinya. Menggertakkan gigi. Sepeda melayang-nya melesat menuju rumah sakit. Langit menambah suasana genting. Ia berbelok ke jalan yang menghubungkan arah ke rumah sakit. Ia tidak percaya, keluarganya terkena musibah. Membelokkan sepeda melayang-nya ke area parkir, menghentikannya. Turun, melepas helm-nya, berlari masuk ke dalam. Mencari anggota keluarganya yang lain sampai tidak sengaja menabrak pengunjung rumah sakit.
"Ma-maaf," ia meminta maaf. Berlari kembali mencari. Dengan terburu-buru, membelok ke arah salah satu ruangan, yang ruangan itu bertuliskan UGD. Di depan ruangan, terlihat dua orang yang kenalnya sedang menunggu. Wajah mereka mengekspresikan kekhawatiran.
"Tante!"
"Erza?"
Alzaki mendekati keduanya.
"Gimana sama mama, papa sama Aldo?"
"Tante belum tahu. Masih belum ada kepastian. Kita menunggu dan berdoa saja."
Alzaki duduk di kursi besi panjang. Menghela napas lelah. Kenapa kejadian ini terjadi saat dirinya akan lulus kuliah?
"Minum dulu," pinta pamannya sekaligus suami dari tantenya. Memberikan air mineral. Semenjak menikah tujuh tahun lalu, tante dan suaminya belum dikaruniai seorang anak. Menganggap Alzaki dan Aldo, selain sepupunya, melainkan anak sendiri.
Ia menerimanya. Membuka tutupnya, langsung meneguknya. Tenggorakannya terasa kering, seketika basah dan segar kembali. Padahal, ia dapat botol air mineral dari Citra. Tak sempat ia meminumnya. Dua jam lebih, pintu terbuka, keluar dokter wanita paruh baya memakai seragam hijau tua.
"Bagaimana, Dok, keadaan kakak dan keluarga kakak saya?" tanggap Tante Anna.
Dokter itu menatap mereka bertiga sedih.
Mereka bertiga menunggu. Terlebih Alzaki yang berharap.
"Maaf, Ibu dan Bapak, kami tidak bisa menyelamatkan keluarga Anda," ujarnya.
Sontak ada kilatan petir menyambar hati Alzaki. Antara percaya dan tidak tidak percaya. Keluarganya telah meninggalkannya begitu cepat. Di mana hari bahagianya akan
berakhir... Ia berdiri, beranjak keluar. Terdengar jerit suara tangisan dari tantenya dari arah ia keluar. Kakinya melangkah menuju lorong yang sepi. Ia bersender pada dinding, lalu merosot jatuh. Pundaknya bergetar, seraya menahan air matanya yang sudah ia tahan, air matanya pun jebol disertai turunnya gerimis di luar di malam kala itu.
**
Pemakaman pun dilanjutkan setelah gerimis yang lama kelamaan menjadi hujan. Hujan tidak begitu deras, tetapi hujan sangat cocok menggambar suasana hatinya yang berkabung. Setelah hujan dinyatakan reda, bersama tante, paman dan orang-orang yang melayat ikut berbela sungkawa, pergi menuju pemakaman umum. Sampai di tempat pemakaman, Alzaki menatap dari ketiga peti jenazah tersebut akan dimasukkan bersamaan di liang lahat masing-masing dengan mata sembab. Ketiga peti jenazah tersebut dimasukkan secara perlahan, terkubur dengan tanah basah. Di belakang orang-orang yang melayat, Mbok Inah dan Mas Jaka ikut melayat. Keduanya sama, tidak percaya bahwa ketiga majikannya telah berpulang lebih cepat. Dengan diiringi doa bersama, orang-orang beranjak bubar meninggalkan Alzaki sendirian.
"Mbok, duluan saja. Saya nanti menyusul," kata Mas Jaka.
Mbok Inah menurut. Melenggang pergi. Mas Jaka menghampirinya. Menepuk pundaknya pelan."Ayo, Mas, kita pulang."
Alzaki tidak menjawab. Menatap tiga nisan baru di depannya.
Mas Jaka membujuk sekali lagi.
"Ayo, Mas, kita pulang. Udaranya mulai dingin," bujuknya.
Alzaki menoleh, menurut saja saat Mas Jaka membujuknya. Mereka keluar dari area pemakaman.
"Di mana Tante sama Oom?"
"Ibu sama bapak sudah pulang duluan," kata Mas Jaka.
Mereka menghampiri satu mobil melayang berwarna hitam. Alzaki masuk duluan, disusul Mas Jaka di samping kanannya. Mobil itu melesat menuju arah pulang. Satu jam kemudian, mobil melayang yang membawa mereka pulang tiba di kawasan kompleks perumahan elit. Selama diperjalanan sama sekali tidak ada kemacetan. Mas Jaka membelokkan ke blok ke arah blok rumahnya. Memasuki pagar, tiba di depan rumah. Pintu terbuka otomatis, Alzaki turun."Makasih, ya, Mas. Saya masuk dulu."
"Iya, Mas. Ya, sudah. Saya balik dulu," pamit Mas Jaka berbelok ke arah lain.
Suasana rumah tampak sepi. Seperti hatinya yang sepi. Menaiki undakan tangga, membuka handle pintu, memasuki rumah. Di dalam Tante Anna bersama suaminya berdiri di bawah tangga. Di depan tantenya ada koper abu-abu besar.
"Tante mau ke mana?"
"Tante enggak kemana-mana," jawab Tante Anna.
"Kalau bukan Tante, terus siapa?"
"Kamu," kali ini pamannya."Kamu yang pergi."
"Apa? Tante mau ngusir aku?"
Mereka berdua terdiam.
"Kamu sekarang pergi dari sini," kata Tante Anna.
"Kenapa Tante ngusir aku? Aku salah apa?"
"Kamu itu sudah dewasa tapi bodoh, ya." Tante Anna dengan nada meremehkan.
"Maksud Tante apa? Aku enggak ngerti..."
Di tangan Tante Anna tampak membawa map putih berisi dokumen."Baca ini!" Mengelungkan mapnya. Alzaki menerimanya, membuka dan membacanya. Matanya mendelik saat membacanya.
Surat Hak Kepemilikan
Dengan mengatas namakan pihak keluarga yang bersangkutan, bahwa semua aset dalam hak kepemilikan beserta isinya; adalah semua kepemilikannya jatuh kepada Anna Arabella Alzaki.
Tertanda
Pihak Pengurus
Hatinya tertohok. Ia tidak percaya tantenya telah membalikkan nama atas hak kepemilikan dengan begitu cepat. Sempat-sempatnya tantenya melakukan ini di mana sekarang hari berkabung. Jadi, jerit tangisan yang ia dengar tadi hanya akting? Apakah selama ini tantenya hanya berpura-pura baik di depan mamanya? Di depannya juga? Sungguh keterlaluan!
"Kamu tahu, kan sekarang?"
Alzaki mendongak. Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Semua yang sebenarnya miliknya itu telah direbut. Direbut secara perlahan tanpa ia ketahui. Semuanya telah dikuasai oleh orang yang masih berstatus tante itu?
"Jadi?"
"Jadi, silakan kamu pergi dari sini. Bawa kopermu pergi dan jangan berharap kembali lagi ke sini."
Merasa muak dengan perkataan tantenya, ia mengambil kopernya paksa dan mendorongnya seraya keluar dari rumah. Menoleh,"Sesuai perkataan Tante, aku enggak akan selama kembali ke sini lagi!" desisnya.
Selamanya.
Seketika itu juga, ia diusir dari rumahnya sendiri.