Uap yang mengepul dari secangkir cokelat panas terhirup oleh indera penciuman Eira. Aroma manis yang menguar membuat gadis itu meneguk air liurnya. Jika saja ia tidak sedang dalam situasi ini, gadis itu mungkin akan langsung menyeruput minuman kesukaannya detik ini juga. Terlebih, cuaca dingin dengan bau petrichor sehabis hujan, itu adalah waktu yang tepat untuk merasakan nikmatnya secangkir cokelat panas.
Namun bagaimana lagi, Eira harus menahan keinginannya. Kepalanya saja masih tetap menunduk sambil menatap minuman menggiurkan itu sejak lima belas menit lalu. Gadis itu sedang bergeming, menunggu laki-laki di depannya membuka suara.
"Ra, lo tuh ... argh!"
Pundak gadis itu berjengkit kecil mendengar nada kesal dari orang di hadapannya. Mulut Eira juga meringis kecil dalam wajah yang ia sembunyikan. Sepertinya telinga Eira juga harus waspada. Sebenarnya sejak tadi, ia sudah dapat menebak bahwa laki-laki di depannya meminta bertemu agar dapat memarahi Eira.
"A-Aku bisa kok minta Papa kamu buat batalin pernikahan kita," cicit Eira dengan mulut kecilnya.
Gadis dengan jilbab hijau sage itu mengangkat wajahnya ragu. Dengan hati-hati, ia menatap laki-laki di depannya.
Tidak mendapat respon positif dengan usulannya, laki-laki bernama Arsel itu malah menatap balik Eira sembari menghela napas panjang. Raut wajah laki-laki itu terlihat kesal.
Eira mengatupkan bibirnya kembali. Gadis itu juga memejamkan mata dengan erat. Dalam hati, ia merutuki dirinya sendiri karena telah mengucapkan sesuatu yang membuat Arsel semakin geram.
"Kalo lo serius sama omongan lo, buktiin, Ra! Lo tau gue udah punya Sherena."
Arsel menatap Eira dengan benang kerumitan di kepalanya. Di mata Arsel, gadis itu bahkan terlihat tidak peduli dengan apa yang dirasakan olehnya. Padahal jika pernikahan keduanya terjadi, itu akan menjadi hal yang banyak merugikan Arsel.
Ditatap sedemikian rupa, Eira malah semakin bergeming. Hal itu membuat Arsel menyugar rambutnya kasar.
"Sel, a-aku–"
Ucapan ragu dan nada terbata yang keluar dari mulut Eira membuat Arsel mengangkat salah satu sudut bibirnya. Laki-laki itu menyeringai tajam dan menatap remeh Eira.
"See? Lo gabisa 'kan?"
Eira yang melihat Arsel demikian, meneguk ludahnya takut. Wajah Arsel yang ditunjukkan kali ini benar-benar membuat bulu kuduk Eira merinding. Mungkin pilihan yang tepat jika Arsel dinobatkan menjadi ketua geng motor, raut geramnya saja sudah membuat Eira tak berkutik.
Pikiran laki-laki itu begitu runyam. Semua hal tentang pernikahan dadakannya dengan Eira direncanakan tanpa Arsel oleh Papanya. Laki-laki itu baru tahu setelah undangan pernikahannya dibagikan ke seluruh sanak saudara. Yang lebih menjengkelkan, adalah fakta bahwa Eira terkesan setuju-setuju saja dengan rencana konyol Papanya.
"Percuma lo nolak sekarang, Ra. Undangan udah kesebar," ucap Arsel dengan nada lemah.
Arsel menegak habis kopi hitam di cangkirnya. Dari gerak-geriknya dapat dilihat bahwa ia begitu frustasi dengan keadaan yang ia alami. Terlihat Arsel menghela napas panjang. Laki-laki itu kemudian menyandarkan tubuh atletis-nya ke sandaran kursi.
Melihat kepala Arsel yang menengadah ke langit-langit ruangan dengan tatapan kosong, Eira menjadi merasa bersalah pada laki-laki itu. Gadis itu yakin jika situasi ini terasa berat bagi Arsel. Pun hati Eira juga sedih melihat laki-laki di depannya tampak putus asa.
Padahal Eira rasa, jika mereka menikah, ia akan berusaha menerima Arsel apa adanya. Tentu saja karena gadis itu juga merasa berhutang budi pada Papa Arsel sehingga ia dapat menyetujui pernikahan ini. Namun tidak ia sangka jika Arsel begitu sulit menerima perjodohan orangtuanya.
"Harusnya kalo Papa gue mau bantuin lo. Bisa 'kan Ra, dengan bayarin uang kuliah lo, sewain lo kost, atau bahkan beliin rumah buat lo."
Mendengar penuturan lemah Arsel, Eira menundukkan wajahnya. Pupilnya bergetar mendengar ucapan yang meluncur dari mulut Arsel. Gadis itu semakin merasa bahwa ia hanyalah sebuah beban bagi keluarga Arsel.
"Atau harusnya ... lo ga pernah dateng ke keluarga gue, Ra."
Deg!
Eira mulai meneteskan air matanya. Kedua tangannya mencengkeram kuat jahitan di samping gamisnya. Entah mengapa, ia jadi merasa bahwa Arsel benar-benar membenci kehadiran Eira.
Padahal Eira juga tidak ingin demikian. Gadis itu hanya terhimpit keadaan yang mengharuskannya tinggal bersama keluarga Arsel. Jika saja Eira bisa menolak, ia masih ingin hidup di rumah kecilnya dengan sang Ayah. Tapi sayang, takdir yang sudah berjalan itu tidak mampu untuk diulang.
"Atau ... seandainya Ayah lo ga mati, lo ga bakalan 'kan, masuk ke keluarga gue?" sambung Arsel.
Eira semakin tidak dapat menahan diri. Ucapan Arsel semakin keterlaluan. Laki-laki itu menyakiti hati Eira dengan mengungkit kematian ayahnya. Apalagi di pendengaran Eira, kata-kata yang dilontarkan Arsel itu sedikit kejam.
"Kamu jahat, Sel," lirih Eira dengan bibir yang bergetar.
Arsel kembali menegakkan tubuhnya. Ia menghela napas untuk kesekian kalinya sebelum menatap secangkir cokelat panas milik Eira yang tidak lagi mengepulkan uap. Melihat gadis di depannya menunduk dalam sambil terisak pelan, Arsel mengusap wajahnya kasar.
Lihat saja, Eira begitu sulit untuk diajak berbicara. Bagi Arsel, gadis itu hanya beban terberat untuknya.
Selang beberapa detik Eira tidak kunjung membuat gerakan, Arsel menghirup napas dengan berat. Laki-laki itu berdiri dan merogoh sesuatu dari kantong jaket kulitnya.
Arsel mendekatkan tubuhnya ke meja. Laki-laki itu memajukan wajahnya ke samping telinga Eira.
"Setelah nikah nanti, gue harap lo bisa ikutin aturan gue, Ra," ucap Arsel singkat sembari menyodorkan dua lembar uang seratus ribu di meja Eira.
Eira tidak menggubris. Gadis itu bahkan tidak menatap sedikitpun lembaran uang yang disodorkan oleh Arsel di depan wajahnya. Ia bahkan tidak peduli dengan Arsel yang telah menarik kursinya dan bangkit dari sana.
Baru setelah ia mendengar langkah kaki Arsel yang semakin menjauh, gadis itu berani mendongak dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya dengan kasar.
Eira menatap cangkir kopi kosong milik Arsel dengan isakan kecil. Mata berairnya menatap kosong ke kursi duduk Arsel dengan wajah pilu. Lontaran kata-kata kasar dari Arsel terus terngiang di kepalanya.
"Sel, kamu jahat," ulangnya dengan suara yang bergetar.
Selanjutnya, air mata benar-benar luruh dengan deras dari pelupuk mata Eira. Isakannya semakin keras hingga dapat membuat pengunjung lain mengalihkan atensi ke Eira. Gadis itu kemudian menyilangkan kedua tangannya ke atas meja. Ia menelungkupkan kedua tangannya dan menyembunyikan wajah merahnya disana.
Sore itu, bahkan ketika cafe mulai ramai dengan pengunjung, hanya suara sesenggukan Eira yang terdengar begitu jelas di meja pojok jendela. Cokelat panas yang semula menggiurkan lidahnya, kini juga tidak dipedulikan oleh gadis itu. Mood-nya sudah dipatahkan oleh penuturan menyakitkan dari Arsel.
catatan kaki:
1. petrichor: bau khas setelah hujan turun.