Aku berdiri di sana, di ambang pintunya, seperti waktu pertama kali aku hendak memasuki ruang kantornya di Foothill bertahun-tahun silam. Kejadian yang sepertinya terjadi di kehidupan yang lain tapi di saat yang sama juga terasa seperti kemarin. Dia sedang bersiap-siap untuk pergi tapi langsung terdiam saat melihatku seolah diriku sesuatu yang tidak dapat dipercaya. Aku tersenyum. Tidak, aku tidak akan melangkah masuk ke dalam ruang kelas itu sampai ...
“Apakah kau hanya akan berdiri di sana seperti patung atau akan masuk?” tanyanya. Itu yang kutunggu-tunggu. Aku masuk dan melangkah ke mejanya. “Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya.
“Memangnya aku harus punya alasan baru boleh datang ke ruang kelasmu?” tanyaku.
“Karena kau bukan lagi muridku, tentu saja harus ada alasan,” katanya.
“Tapi kau sering datang ke kantorku tanpa alasan. Kau baru melakukannya kemarin!” kataku. Ia tersenyum.
“Tapi setiap kali aku datang itu aku selalu punya alasan,” katanya.
“Apa?” tanyaku.
“Aku kangen kamu,” katanya.
“Tapi kita toh bertemu beberapa kali seminggu,” kataku.
“Memangnya ada batasan waktu? Harus selama apa waktu berlalu sebelum aku boleh kangen dirimu?” tanyanya. Sejujurnya, aku datang ke sana dengan alasan yang sama. “Kau tahu, sebenarnya aku sedang bersiap-siap untuk pergi ke kantormu,” tambahnya.
“Benarkah?” tanyaku. Ia menangguk.
“Ya. Dan kali ini aku punya alasan tambahan. Aku punya sesuatu untukmu!” katanya. Ia lalu membuka tas ranselnya dan mengeluarkan sebuah kotak. Bukan, itu bukan kotak perhiasan. Kami berdua tahu bahwa belum tiba waktunya bagi sebuah kotak perhiasan berisi cincin untuk muncul. Ia membuka kotak itu dan mengeluarkan sebuah ... mistletoe. Hanya yang terbuat dari plastik karena pastinya susah mencari mistletoe sungguhan di Indonesia. Tapi itu benar-benar mistletoe dengan daun hijau dan beberapa buah merah kecil. Dan tiba-tiba aku tahu apa yang ada di benaknya. Jantungku berdetak lebih cepat. Kulitku seolah digelitik. Seluruh tubuhku menghangat. “Ingat ciuman pertama kita?” bisiknya. Tentu saja aku ingat. Saat itu aku bahkan bukan kekasih sungguhannya. Walaupun demikian, aku tahu ciuman singkat di bawah mistletoe itu sebuah ciuman sungguhan. Setiap sel pada tubuhku bergetar karena harapan. Udara di ruang itu begitu tebal dengan antisipasi sampai dunia terlihat melengkung seolah dilihat dari balik seonggok agar-agar. Mungkin ini konyol karena kami toh sudah sering berciuman sebelumnya. Tapi itu sudah begitu lama. Tidak, aku belum mencium Dayton sejak ia pindah ke Jakarta karena sepertinya itu bukan sesuatu yang benar untuk dilakukan. Namun sekarang karena semua rahasia kami sudah terbuka, rupanya ia berpikir beda. Dayton mengenyahkan jarak di antara kami. Aku memandang mistletoe yang ada di tangannya. Ia mengangkatnya ke atas kepala kami. “Anna,” bisiknya. Aku memandang wajahnya. “Kurasa sudah waktunya untuk ciuman pertama kita yang kedua,” katanya. Aku tidak menjawab. Kami berdua diam seolah waktu sendiri sedang membeku. Lalu tidak jelas siapa yang bergerak lebih dulu. Tapi kami berdua bereaksi cepat. Begitu bibirku menemukan bibirnya, ia sudah meletakkan kedua tangannya pada tubuhku, memelukku dengan erat dan aku sudah meletakkan kedua tanganku di belakang lehernya untuk memastikan dia tidak ke mana-mana. Dua puluh satu tahun, tiga bulan dan dua puluh empat hari telah berlalu sejak terakhir kali kami berciuman tapi tubuh kami ingat. Kami berciuman untuk bilang bahwa kami tidak akan pergi ke mana-mana lagi. Kami berciuman untuk bilang bahwa tidak pernah ada rasa sesal. Kami berciuman untuk bilang bahwa kali ini, ini untuk selamanya. Dan mungkin ruang kelas sekolah bukan tempat paling romantis di dunia tapi kami berdua tahu bahwa yang penting memang bukan di mana kita berada, tapi dengan siapa.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page