Aku menarik Ava ke dalam pelukanku dan aku menangis bersamanya. Aku tahu ini tentang dirinya dan bukan tentang diriku. Tapi aku merasa seperti aku sedang kehilangan setengah dirinya. Selama hampir duapuluh satu tahun dia adalah adikku dan sekarang seolah dia hanya setengah adikku. Tapi tidak ada yang berbeda, bukan? Seharusnya tidak masalah bila ternyata hanya setengah DNA kami yang sama? Kami tidak lalu jadi hanya setengah menyayangi satu sama lain, bukan?
“Jangan kuatir. Semuanya akan baik-baik saja,” kataku untuk menenangkannya. Ia malah menangis semakin keras.
“Bagaimana kau bisa bilang begitu?” tanyanya di tengah isakannya.
“Ava, lihat aku. Ayo kita bicarakan ini. Aku akan memberitahumu semua yang kutahu dan kau dapat bertanya apa saja padaku,” kataku. Ia sedikit lebih tenang.
“Aku hanya... aku tidak percaya mama melakukannya,” katanya.
“Mama dan Dayton itu dulu sudah bertunangan... itu sebelum Mama menikah dengan Papa,” kataku.
“Benarkah?” tanyanya. Aku menangguk. “Tetap saja. Tidak berarti dia jadi boleh melakukannya,” katanya.
“Aku juga kaget waktu Dayton menunjukkan surat Papa. Tapi aku sudah sempat memikirkannya. Kau mau tahu pendapatku?” tanyaku.
“Apa?” tanyanya.
“Kurasa ini sudah suratan tangan,” kataku.
“Maksudnya?” tanyanya.
“Coba pikirkan. Jika dulu Mama jadi menikah dengan Dayton dan bukan Papa, aku tidak akan pernah dilahirkan. Kau akan punya orang lain sebagai kakak atau adik, mungkin lebih dari satu atau mungkin juga tidak punya saudara. Tapi karena Mama menikah dengan Papa, aku pun lahir,” kataku.
“Jika mama dan papa tidak menikah, pastinya kau akan dilahirkan juga,” katanya.
“Tapi lalu aku jadi anak siapa? Jika mama dan papa tidak menikah, apakah aku akan jadi anak mama atau anak papa? Tidak sesederhana itu, bukan? Aku yakin aku ada di sini karena mama menikah dengan papa. Dan.. jika ia tidak... menemui Dayton, kau tidak akan dilahirkan. Aku akan punya orang lain sebagai saudaraku atau tidak sama sekali. Tapi yang terpenting, faktanya, kita berdua ada di sini!” kataku.
“Yah, jika kau mengatakannya demikian...,” katanya.
“Aku tidak tahu kau bagaimana tapi bagiku, aku benar-benar senang kita berdua ada di sini. Tidak dapat membayangkan punya adik orang lain selain dirimu,” kataku. Dia memandangku.
“Aku juga tidak ingin punya kakak orang lain,” katanya. Air mata baru mengalir pada wajahnya. Tapi ia tersenyum.
“Dan kau tahu! Pada umumnya orang punya dua orang tua. Orang-orang yang kurang beruntung hanya punya satu atau ada juga yang tidak punya sama sekali. Tapi terkadang, jarang sekali. Dan ini hanya terjadi pada orang yang benar-benar beruntung, ada orang-orang yang punya tiga orang tua yang menyayanginya. Dan kau salah satu dari orang beruntung itu,” katanya. Ia diam. Tapi terlihat ia sedang memikirkan semua yang kukatakan.
“Ceritakan tentang surat papa,” katanya.
“Kau bisa minta Dayton menunjukkannya padamu nanti. Pasti dia tidak keberatan,” kataku.
“Kau tahu, ada suatu masa di mana aku hampir setiap hari berpapasan dengan Prof. Lee sampai-sampai aku berpikir aneh sekali kenapa aku terus bertemu dengan profesor yang satu ini tanpa sengaja,” katanya.
“Pastinya itu masa setelah dia mendapat surat dari Papa dan sebelum dia pindah ke Jakarta,” kataku. Ava mengangguk.
“Aku sampai curiga dia tahu jadwalku,” katanya.
“Mungkin dia memang sengaja cari tahu,” kataku.
“Dan aku sampai berpikir apakah orang ini penguntit atau sejenisnya,” katanya.
“Padahal yang sebenarnya ... dia hanya seorang papa dengan rasa ingin tahu yang besar atas anak yang baru diketahui dimilikinya,” kataku. Ava hanya diam memandangi batu nisan papa. “Kau ingat dulu papa sering bercanda dan bilang bahwa dia harus meninggalkan segalanya di sini untuk terbang ke Amerika untuk membawa mama pulang seolah mama adalah sebuah kopor yang tertinggal atau sejenisnya?” tanyaku. Ia mengangguk. “Nah, di surat itu, papa menulis bahwa ia memang telah mencuri mama dari Dayton,” kataku.
“Benarkah?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Kau tahu papa memang orang yang ambisius, bukan?” kataku. Ia mengangguk.
“Ceritakan tentang... Dayton,” katanya.
“Mungkin dia tidak se ambisius papa. Tapi aku tahu pasti dia menyayangi mama sebesar papa menyayangi mama,” kataku.
“Tahu dari mana?”
“Yah, dia tidak pernah menikah seolah dia hanya ... menunggu. Dan begitu dia mendapat surat papa, dia langsung meninggalkan segalanya dan pindah ke sini. Bayangkan seorang S3 lulusan Amerika mengajar middle school di sini. Kau yang sering menonton drama korea. Apakah kau tidak merasa kisah Dayton dan Mama ini seperti cerita di drama korea?” tanyaku. Ia tersenyum. “Oh, ada satu hal baik lagi. Ada sebuah misteri yang terpecahkan!” kataku.
“Apa?” tanyanya.
“Sekarang kita jadi tahu dari siapa kau dapat lesung pipit itu,” kataku. Ia tertawa.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page