Aku mendengar suara klakson mobil Liam. Tidak biasanya dia pulang sepagi ini di hari kerja.
“Kau sudah makan?” tanyaku begitu dia masuk ke ruang keluarga.
“Belum,” katanya.
“Oh baguslah. Aku juga belum. Jadi kita bisa makan bersama,” kataku. Ia tersenyum sambil berjalan ke wastafel untuk mencuci tangan. Aku duduk dan mulai membuka-buka penutup hidangan. Liam duduk di hadapanku.
“Maaf aku tidak bisa menemanimu makan malam setiap malam, Ma,” katanya.
“Oh, tidak apa-apa,” kataku.
“Apakah.. kau merasa sepi, Ma?” tanyanya.
“Jika yang kau maksud apakah aku kehilangan papamu, ya tentu saja. Tapi tidak, aku tidak kesepian. Mungkin jika aku berhenti bekerja, baru aku akan kesepian,” kataku.
“Kau tidak masalah makan malam sendirian setiap hari?” tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Sungguh?” tanyanya, “karena aku tahu ada yang akan senang sekali bila bisa makan malam bersamamu setiap malam,” katanya.
“Maksudmu Sisi? Kau tahu dia tidak bisa diam di satu tempat lebih dari tiga menit,” kataku. Sisi adalah anjing pug milik Ava.
“Bukan. Maksudku Dayton,” katanya. Aku menjatuhkan sendokku. Ia mengambil sendok bersih dari tempat sendok bulat di meja dan mengulurkannya kepadaku. “Ia datang ke kantorku tadi,” lanjutnya. Aku mengambil sendok itu darinya tapi aku tidak dapat melanjutkan makanku. Aku membuka mulutku tapi tidak tahu harus bilang apa. “Dia minta ijinku supaya boleh mendekati dirimu,” katanya. Oh tidak. Apa yang ada di benak Dayton? Bukankah dia sudah berjanji untuk tidak memburu-buruku? Tapi aku ingin tahu apa jawaban Liam.
“Dan ... apa yang kau katakan?” tanyaku.
“Ma, kau tahu dia tidak membutuhkan ijin dariku,” katanya.
“Tentu saja dia butuh. Kau anakku. Aku tidak ingin melakukan sesuatu lalu membuatmu tak senang,” kataku.
“Ma, pria itu sudah menantikan dirimu selama lebih dari dua puluh tahun. Dia sudah meninggalkan keluarganya dan pekerjaannya untuk pindah ke negara lain yang bahasanya tidak dimengertinya hanya untuk dirimu. Bagaimana aku bisa bilang tidak?” katanya.
“Aku tidak tahu bagaimana tanggapan keluarga papamu jika aku bersama-sama Dayton,” kataku.
“Kau ingin tahu apa pendapatku tentang itu?” tanyanya. Aku mengangguk. “Kurasa mereka tidak memiliki dirimu ataupun hidupmu, Ma. Tentu saja aku tahu itu. Tapi tetap saja. Maka aku hanya diam. Dan lagi masih ada hal yang satu itu, tentang Ava. Apakah sebaiknya aku memberitahu Liam tentang Ava? Dan jika ia, bagaimana caranya?
“Liam, segalanya tidak sesederhana itu,” kataku.
“Ya, aku tahu. Dia memberitahuku tentang Ava juga,” katanya seolah membaca pikiranku. Aku memandangi permukaan meja karena tiba-tiba aku tidak lagi punya keberanian memandang mata anakku sendiri. Liam mengulurkan tangannya ke seberang meja untuk menggenggam tanganku. “Ma,” panggilnya. Aku memaksa diriku untuk memandangnya. “Tidak apa-apa,” katanya.
“Bagaimana kau bisa bilang begitu? Bagaimana itu bisa tidak apa-apa?” kataku.
“Ma, apakah kau pernah menyesal punya Ava?” tanyanya.
“Tentu saja tidak,” kataku.
“Nah. Percayalah, Ma. Semuanya akan baik-baik saja,” katanya. Jika saja yang dikatakannya benar.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page