Aku ingat wajahnya. Dia bekas dosen mama yang kami temui di hari wisudaku, yang mampir ke apartemenku sebelum aku pulang ke Indonesia. Tapi aku lupa namanya, lagi.
“Dayton Lee,” katanya.
“Oh, ya. Kali ini aku akan ingat. Silahkan duduk,” kataku. “Tapi mama sedang tidak ada di kantor hari ini,” kataku.
“Aku bukan datang untuk menemui mamamu. Aku perlu bertemu denganmu,” katanya.
“Aku?” tanyaku. Ia mengangguk. “Ada yang bisa kubantu, Professor Lee?” tanyaku.
“Panggil Dayton saja,” katanya. Lalu ia mengambil dompetnya, mengeluarkan secarik kertas yang dilipat dari dalamnya dan menyodorkannya padaku.
“Ini apa?” tanyaku.
“Baca saja,” katanya. “Tolong baca dengan ... pikiran terbuka,” tambahnya. Aku membuka lipatan kertas itu dan langsung mengenali tulisan tangan papaku.
Aku membacanya dua kali. Aku begitu kehilangan papa. Dan membaca surat yang ditulis tangan olehnya sebelum ia meninggal adalah sesuatu. Tapi isi suratnya adalah hal yang lain lagi. Isi suratnya begitu mengejutkanku. Aku ingin marah pada mama karena telah berselingkuh dengan pria ini. Tapi lalu papa malah menyuruh pria ini untuk mendekati mama. Apakah ada hal yang lebih ruwet dari ini?
“Papaku mengirim ini padamu?” tanyaku.
“Kuasa hukumnya yang mengirimkannya,” katanya.
“Dan itu... akhir tahun lalu?”
“Ya,” jawabnya. Aku meletakkan surat itu di atas meja.
“Dan... saat itulah kau tahu tentang ... Ava?”
“Ya,” katanya.
“Mama tidak pernah memberitahumu?”
“Tidak.”
“Aku... aku tidak tahu harus bilang apa. Ini... ini semua terlalu berat untuk kucerna. Kenapa kau menunjukkannya padaku?” tanyaku.
“Aku... aku di sini demi meminta ijinmu untuk mendekati mamamu dan nantinya, saat waktunya tiba, untuk menikah dengannya,” katanya. Oh, aku tidak menyangka itu. Kukira dia sedang ingin berusaha mengambil alih hak asuh Ava. Tapi untuk apa juga karena tak lama lagi Ava akan berusia 21 thn.
“Ijinku? Kenapa aku? Jikapun ada orang yang harus kau mintai ijin, orang itu adalah papaku dan surat ini menunjukkan bahwa kau sudah mendapatkan ijin darinya,” kataku. Walaupun aku tidak yakin pria ini butuh ijin siapa-siapa untuk mendekati mama. Mereka bahkan sudah bersama-sama sejak sebelum mama menikah dengan papa.
“Mamamu terus menolakku. Dia bilang untuk saat ini prioritas utamanya adalah kau dan Ava. Kurasa pendapatmu dan Ava amat penting baginya,” katanya.
“Jadi... kau mau aku bilang padanya bahwa aku tidak masalah bila kalian dekat?” tanyaku.
“Aku akan sangat berhutang budi padamu bila kau mau melakukan itu,” katanya.
“Bagaimana dengan Ava?”
“Aku juga akan minta bantuan yang sama saat aku bertemu dengannya nanti,” jawabnya.
“Bukan itu maksudku. Apakah kau akan memberitahunya bahwa.. kau adalah papanya?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling. Ia tidak langsung menjawab. Ia hanya menarik napas panjang.
“Tidak,” katanya kemudian. Satu lagi jawaban yang tidak kusangka.
“Kenapa? Karena kurasa pastinya kau ingin sekali Ava tahu kebenaran ini,” kataku.
“Ya, tentu. Tapi bila itu membuat hal jadi rumit untuk mamamu, kupikir, sebaiknya aku diam saja,” katanya.
“Begitu?” tanyaku. Ia menangguk.
“Dan bagaimana kau akan mendekati mamaku karena kau ada di sana dan mamaku di sini?” tanyaku.
“Oh, sekarang aku menetap di sini. Maksudku, aku bekerja di sini,” katanya.
“Di sini? Di Jakarta? Sejak kapan?”
“Setelah menerima surat papamu itu, aku langsung mencari pekerjaan di sini. Aku sudah bekerja di sini,” katanya.
“Jadi kau melakukan apa yang papaku usulkan di surat,” kataku. Ia mengangguk. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi. Aku adalah anak papaku dan aku seharusnya tidak memperbolehkan pria ini mendekati mamaku. Tapi yang sudah dilakukannya cukup menakjubkan. Dan aku berharap suatu hari nanti aku akan menemukan seorang gadis yang begitu kusayang sampai-sampai aku rela meninggalkan segalanya untuk pindah ke belahan dunia lain. Seseorang yang begitu kusayang sampai-sampai aku rela menghabiskan seluruh hidupku untuk menunggunya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page