Binsar, rekanku yang mengajar matematika di sekolah menengah Lighthouse pikir aku ini bodoh. Dia bilang dia tidak akan pernah melakukan yang kulakukan hanya demi seorang wanita. Katanya aku ini seperti sebuah bus yang bagus, tapi yang menyia-nyiakan hidupnya dengan berhenti di halte, menanti seorang penumpang yang tidak akan pernah naik padahal ada begitu banyak penumpang lain yang ingin naik. Di lain hari dia bilang aku ini seperti sepiring mi gomak, yang adalah makanan kesukaan dari daerah asalnya, yang terus menunggu untuk dimakan oleh satu orang saja padahal orang itu tidak suka makan mi gomak dan akhirnya aku hanya akan jadi basi dan dibuang dan bahkan kucing liar pun tidak mau menyentuhku.
“Kau tahu, setelah kupikir pikir lagi, kau ini seperti seorang pembeli rumah yang terus saja tinggal di motel jelek karena rumah yang ingin kau beli itu tidak dijual dan kau tidak mau melihat rumah-rumah lain padahal banyak yang bagus,” katanya. Lagi-lagi pembahasan ini. Binsar dan metafora-metaforanya. Mungkin sebaiknya kita bertukar pekerjaan saja. Dia mungkin lebih cocok jadi guru bahasa dan aku yang mengajar matematika.
“Anna bukan rumah,” kataku.
“Ya, aku tahu. Dia hanya seorang wanita,” katanya.
“Dia bukan hanya seorang wanita,” kataku. Dan setiap kali aku bilang pada Binsar bahwa dia adalah satu-satunya untukku, Binsar hanya memutar bola matanya dan bilang bahwa aku sudah terlalu tua untuk punya impian romantisme ala anak sekolah menengah seperti itu. Mungkin dia benar. Mungkin aku memang bodoh. Karena faktanya adalah, bahkan setelah semua yang kulakukan, Anna tetap tidak mau berurusan denganku seolah dia memang sudah memutuskan untuk menempatkanku di masa lalunya. Aku sudah memindahkan seluruh hidupku ke sisi lain dunia hanya supaya bisa bersama-sama dirinya tapi berapa kali aku bertemu dengannya selama empat bulan aku di sini? Satu kali. Ya, hanya satu kali. Jadi mungkin Binsar benar.
Bus kami berhenti. Kami sudah tiba di tujuan. Hari itu murid-murid Lighthouse akan melakukan aktivitas arung jeram. Aku bukan tipe orang yang menyukai aktivitas seperti ini tapi seluruh guru memang harus ikut supaya cukup orang untuk memantau murid-murid yang tenaganya tak terbatas itu. Aku turun dari bus dan langsung merasa lebih baik. Tempat itu indah. Pohon-pohon pinusnya tinggi dan anggun. Udaranya lebih sejuk daripada udara Jakarta yang panas dan lembab. Aku berhenti melangkah untuk mengambil beberapa napas panjang.
“Ayo, kau tidak tambah muda,” kata Binsar sambil menyeret tubuhnya sendiri mendaki lereng rumput yang menanjak itu. Binsar memang sedikit gemuk namun dia bangga. Katanya tubuhnya seperti itu karena istri dan ketiga anak perempuannya semuanya pandai masak. “Ingat, ya!” katanya.
“Ingat apa?” tanyaku.
“Nanti di sana jangan hanya berdiri di tepi menanti satu kayak yang tidak pernah akan datang,” katanya. Aku memutar bola mataku dan mulai berlari ke arah murid-murid yang sudah jauh di depan kami.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page