Sebenarnya Liam tidak berencana pulang selama liburan musim dinginnya yang hanya tiga minggu itu. Tapi setelah aku berbicara dengan Dr Tan, aku tahu aku perlu memintanya pulang. Ia tidak perlu menanyakan sebabnya.
Singapura selalu dihias meriah sekitar hari Natal. Aku pribadi merasa hiasan-hiasan itu berlebihan seolah negara itu adalah seorang gadis buruk rupa yang sedang berusaha menarik perhatian dengan mengenakan make-up berlebihan. Tapi anak-anak menyukainya. Jadi sudah tak terhitung berapa kali keluarga kami menghabiskan libur akhir tahun di tempat ini. Namun kali ini, walaupun seluruh keluarga ada di sini, semua tahu bahwa ini bukan liburan. Setiap pagi, saat aku berjalan sepanjang lorong rumah sakit, aku tidak dapat tidak bertanya apakah itu akan menjadi kali terakhir.
Bagaimana cara seorang istri mengucapkan selamat tinggal pada suaminya? Di jaman dulu, ada kebudayaan yang mengharuskan istri dan juga selir mengikuti suami mereka ke liang kubur seolah memang tidak ada cara untuk mengucapkan selamat tinggal.
Lift yang kumasuki masih kosong karena hari masih pagi. Tadi waktu aku berangkat dari apartemen, Liam dan Ava baru bangun. Mereka akan ke rumah sakit nanti bersama-sama mama dan kakak-kakak Justin. Aku berangkat lebih dulu karena aku ingin bertemu dengan Justin berdua saja. Bukan, aku bukan hendak mengucapkan selamat tinggalku. Belum. Tapi ada hal lain yang harus kukatakan sebelum aku mengucapkan selamat tinggal. Ada rahasia yang sudah lama kupendam. Terlalu lama. Dan rasa bersalah ini sudah menyiksaku bertahun-tahun lamanya. Dan yang sebenarnya, sewaktu Justin divonis kangker, aku langsung merasa itu adalah hukuman Tuhan untukku. Dan aku terus bertanya kenapa Justin yang harus sakit dan bukan diriku? Tapi mungkin kehilangan orang yang kaucintai itu hukuman yang lebih berat daripada kehilangan nyawamu sendiri.
Aku tiba di ruang ICU tapi lalu menemukan bahwa Justin sudah dipindahkan ke ruang biasa. Tapi aku tahu bahwa kepindahannya kali ini bukan berarti keadaannya membaik. Ini karena tidak ada lagi yang dapat dilakukan kecuali berusaha membuatnya lebih nyaman. Dan lagi, mereka membutuhkan ranjang ICU itu untuk pasien lain, pasien lain yang lebih punya harapan.
Saat aku masuk ke kamar Justin, kukira dia masih tidur. Tapi ia langsung membuka matanya saat mendengar langkah kakiku. Aku berjalan ke arahnya dan duduk di kursi di samping tempat tidur. Lalu aku tersenyum. Atau paling tidak berusaha tersenyum. Ia membalas senyumku. Atau paling sedikit ia berusaha membalas. Aku tidak tahu berapa banyak lagi senyuman yang dapat kami pertukarkan. Ia mengulurkan tangannya ke arahku. Hal sesederhana itu terlihat begitu sulit seolah ia perlu mengerahkan seluruh tenaganya untuk melakukan itu. Aku menyambut tangannya. Lalu aku menangis.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page