Aku memutar otakku, mencoba memikirkan semua kemungkinan bagaimana Anna sampai bisa tahu rahasia yang satu itu. Tapi yang lebih penting lagi, apa yang dapat kulakukan untuk membereskan ini.
“Anna, dengarkan aku,” aku memulai. Hanya untuk memperpanjang waktu. Karena aku masih juga belum tahu harus bilang apa. Tapi mungkin aku tahu. Dan mungkin memang aku harus memberitahunya ini sejak permulaan. Karena bukankah tidak ada yang lebih baik untuk dikatakan selain kebenarannya?
“Itu benar? Apakah aku hanya bagian dari sebuah perusahaan yang sedang kau beli?” tanyanya.
“Itu... memang benar bahwa keluargaku, terutama kakak-kakakku, tidak menginginkan transaksi ini jika kita tidak menikah,” kataku. Dan aku melihat kekalahan pada wajahnya. Dan air mata yang mulai mengalir pada pipinya. Aku meraih lengannya tapi ia menghindar. Ia berjalan ke kamar mandi dan menutup pintunya. Pastinya dia sedang begitu kesal padaku sampai tidak ingin berada di dalam ruangan yang sama denganku. Aku berjalan ke arah pintu kamar mandi dan mengetuknya.
“Anna, bisakah kita bicarakan ini?” tanyaku. Ia tidak menjawab. Aku mendengar suara isakan dari dalam. Apakah dia tahu aku akan memberikan apapun untuk bisa memeluknya dan menghapus air mata itu? Apakah dia tau setiap isakannya menghancurkan sekeping dari hatiku? “Anna, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan ini,” kataku. “Tolong buka pintunya. Aku janji aku akan cerita semuanya,” kataku. Ia diam saja. Aku duduk di lantai di luar pintu kamar mandinya. Aku lapar. Makanan terakhir yang kumakan adalah yang di pesawat. Tadi aku sempat terpikir untuk pergi beli makanan dulu karena dengan baby monitor di dalam buket, sebenarnya aku tidak harus menunggu Anna di depan pintu kamarnya. Aku dapat menunggu di mana saja. Di kamarku sendiri atau di cafe karena begitu ia kembali ke kamarnya, aku akan dapat mendengarnya melalui baby monitor. Tapi aku ingin bertemu dengannya secepatnya jadi akhirnya aku memilih untuk menunggunya. Kupikir aku bisa memesan makanan dari kamar nanti. Tapi sekarang, walaupun perutku berbunyi, aku tidak punya napsu makan. “Anna, ingat bagaimana papamu tidak mau membiarkan perusahaan multinational untuk masuk karena dia tidak ingin kehilangan kendali? Ini sama seperti itu, Anna. Keluargaku berpikir, jika sekarang mereka mengambil 45% kepemilikan, lalu setelah kau nanti menikah dengan seseorang, dan saat papamu tidak ada lagi, jadi akan banyak ketidakpastian,” aku mulai menjelaskan. “Dan mereka tahu aku sangat mencintaimu. Jadi itu dianggap solusi yang tepat untuk memastikan bahwa hanya keluarga kita berdua yang dapat memegang kendali kedua perusahaan. Kau ingat bahwa kau juga akan menjadi pemegang saham minoritas di Awan, bukan? Jadi bila kau menikah dengan seseorang, kecuali kalian menandatangani perjanjian pranikah, orang itu juga otomatis menjadi pemegang saham Awan. Kau bisa mengerti bahwa keluargaku tentu tidak ingin ada campur tangan orang yang bukan anggota keluarga, bukan? Anna? Apakah kau mendengarkanku?” tanyaku. Ia tidak menjawab. Semoga dia memang sedang mendengarkan dan semoga semuanya masuk akal. “Dan bila kau bertanya-tanya apakah orang tuamu terlibat di dalam rencana ini, biar kuberitahu bahwa mereka tidak terlibat dan juga tidak tahu. Di mata mereka, pernikahan kita dan rencana jual beli perusahaan adalah hal yang tidak berhubungan,” kataku. Lalu aku mendengarnya bergerak. Aku berdiri. Ia membuka pintunya. Aku begitu lega melihatnya.
“Mereka.. tidak tahu?” tanyanya.
“Tidak,” kataku. Aku meraih jemarinya. Kali ini ia tidak menariknya. Aku menariknya ke arah tempat tidur supaya kami berdua bisa duduk di sana.
“Anna, maaf karena keluargaku lebih rumit dari keluargamu. Tapi jika seorang papa punya empat anak laki-laki, memang ada lebih banyak opini yang harus didengar dan lebih banyak kepala yang harus diyakinkan. Tapi aku harus mengatakan ini padamu. Kau dapat melakukan apa saja yang kau mau tentang hal ini. Kau dapat membatalkan jual beli perusahaannya. Aku tidak peduli. Kau juga dapat membatalkan pernikahan kita. Tapi aku bersumpah aku tidak akan pergi ke mana-mana. Aku tidak menikah denganmu supaya bisa mendapatkan perusahaanmu. Aku tidak peduli pada perusahaanmu. Dan yang sebenarnya adalah kebalikannya. Aku menggunakan perusahaanmu untuk dapat menikah denganmu. Kupikir jika Awan membantu Goodlife, tentunya akan lebih sulit bagi papamu untuk bilang tidak saat aku minta ijin untuk melamarmu. Dan kau harusnya sudah tahu bahwa aku memang akan melakukan hal gila apapun untuk bisa bersama dirimu. Hal gila seperti meninggalkan segalanya untuk mengejarmu ke seberang samudra. Hal gila seperti memasukkan alat tracking dan baby monitor ke dalam buket besar bunga lily untuk mencarimu.”
“Kau apa?” tanyanya. Aku berdiri dan berjalan ke meja untuk mengeluarkan alat tracking dan baby monitor dari dalam buket.
“Ini caraku mencari ruanganmu,” kataku sambil menunjukkan alat itu. Aku melihat sedikit senyum pada sudut mulutnya. Hatiku melompat. Aku meletakkan alat-alat itu di meja dan kembali ke sisinya. “Anna tahukah kau saat .. aku tahu bahwa kau sudah pergi, aku begitu takut kau sudah terbang kembali ke Amerika untuk... kembali padanya,” kataku. Aku meraih kedua tangannya dan meletakkannya pada dadaku. “Anna, terserah bagaimana kau menikahiku, dengan atau tanpa jual beli perusahaan. Terserah kapan kau akan menikahiku. Tahun ini, tahun depan atau bahkan sepuluh tahun lagi. Aku bahkan tahu bahwa cintamu padaku tidak sebesar cintaku padamu. Tapi aku dapat menjamin satu hal. Aku sangat mencintaimu dan bahkan jika kau tidak mencintaiku sama sekali pun, cinta yang kurasakan ini pasti cukup untuk kita berdua. Jadi tolong... pilih.. aku.” Ia memandangku. Ia tidak mengatakan apa-apa dan aku mulai mencari-cari kalimat bermakna apa lagi yang dapat kukatakan padanya. Lalu, untuk pertama kalinya, ia menciumku. Yah, kami memang sudah sering berciuman tapi setiap kali, selalu aku yang mencium dirinya, selalu aku yang memulai. Tapi kali ini, dia yang menciumku. Itu hanya ciuman mungil tapi efeknya pada tubuhku seperti sebuah gempa. Aku sudah begitu lama menantikan hal ini sampai-sampai saat ciuman ini tiba, aku hanya tercengang. Aku memandangnya. Ia terlihat tersipu. Aku meraih pinggangnya dan mendekatkan diri. Aku begitu ingin menciumnya tapi aku menahan diri. Aku ingin ia menciumku lagi. Dan ia melakukannya. Dan kali ini aku tak dapat menahan diriku lagi. Aku menciumnya dengan gairah seratus gunung api. Aku menciumnya dengan kekuatan seribu matahari. Aku menciumnya dengan segenap masa laluku, seluruh saat ini dan semua masa depanku untuk memberitahunya aku tidak akan pernah membiarkan dirinya meninggalkanku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page