Sejak kemarin aku tidak berhasil menghubungi Anna. Mungkin ponselnya rusak. Tapi tidak masalah, aku akan datang saja ke rumahnya pagi ini. Aku bisa makan pagi di sana, lalu aku akan mengajaknya ke toko perabot. Orang tuaku punya satu unit apartemen dua kamar di The Menteng Legacy dan kami sudah memutuskan untuk tinggal di sana setelah menikah nanti. Perabotnya hampir lengkap tapi kami belum mendapatkan tempat tidur yang tepat. Dengan tanggal pernikahan yang tinggal enam minggu lagi, pembelian perabot ini harus secepatnya kami selesaikan.
Aku melambai ke Ahmad, satpam Anna yang sedang bertugas. Ia tersenyum padaku dan dengan cepat membukakan gerbang. Aku parkir di basement dan naik lift ke lantai satu. Aku melihat orang tua Anna di ruang makan dan anehnya, mereka seperti heran waktu melihatku. “Justin, kenapa kau ada di sini?” tanya Om Ari.
“Anna di mana?” tanya Tante Rosa.
“Pagi, Om, Tante. Aku ke sini justru untuk bertemu dengan Anna,” kataku. Mereka saling memandang dengan bingung.
“Kami pikir Anna bersama dirimu,” kata Tante Rosa. Ia mengambil ponselnya lalu menunjukkan pesan whatsapp Anna terakhir kepadanya. Giliranku yang bingung.
“Aku tidak harus menghadiri pesta di mana-mana dan malah dari kemarin aku berusaha menghubungi Anna tapi tidak bisa. Karena itu aku ke sini,” kataku. Om Ari dan Tante Rosa saling berpandangan lagi. Kebingungan pada wajah mereka mulai berubah menjadi kuatir dan lalu panik. Om Ari mengambil walkie-talkie di meja dan memanggil Pak Kusno, sopir mereka yang tinggal di rumah. Tak lama kemudian Pak Kusno naik ke ruang makan.
“Pak, apakah kemarin Pak Kusno mengantar Anna ke bandara?” tanya Om Ari.
“Iya, betul, Pak,” jawabnya.
“Terminal berapa?” tanyaku.
“Terminal 3,” jawabnya. Penerbangan Garuda ke Bali memang terbang dari terminal tiga. Tapi tahukah kamu penerbangan apa lagi yang terbang dari sana? Hampir semua penerbangan international termasuk yang terbang ke Amerika. Hatiku melompat panik. Tidak! Aku tidak bisa kalah sekarang. Garis finish itu sudah begitu dekat. Aku tidak bisa kehilangan dia sekarang. Tante Rosa sibuk dengan ponselnya, pastinya mencoba menelpon Anna. Ia tidak berhasil. Om Ari meraih ponselnya untuk menelpon asistennya yang lalu diminta untuk menelpon perusahaan kartu kredit.
“Periksa kartu tambahan yang atas nama Anna,” katanya. Dan setelah itu kita semua terdiam. Aku tidak dapat membayangkan apa yang sedang berkecamuk di benak orang tua Anna. Pastinya ketidakpastian ini begitu sulit bagi mereka setelah apa yang terjadi pada Amos. Aku menelpon Dina. Tapi dia tidak tahu di mana Anna. Aku merasakan kegalauan pada suaranya. Pastinya ia juga mengkuatirkan Anna. Anna tidak pernah pergi ke suatu tempat tanpa rencana. Dia bukan orang yang spontan. Dan juga Anna tidak pernah pergi tanpa memberitahu orang tuanya. Dan yang lebih buruk lagi, Anna bukan tipe orang yang suka berbohong. Ponsel Om Ari bergetar. Ia mengangkatnya dan menyalakan speakernya supaya Tante Rosa bisa ikut mendengarkan. Asistennya sudah berhasil mendapatkan informasi dari perusahaan kartu kredit. Informasi yang kami butuhkan. Kartu Anna baru digunakan di hotel Fairmont, di Singapore.
“Sebaiknya aku segera terbang ke sana untuk memastikan dia baik-baik saja,” kataku pada orang tua Anna. Mereka memandangku dengan pandangan bersyukur. Mungkin mereka pikir aku melakukan ini demi mereka. Yang sesungguhnya, aku melakukan ini untuk diriku sendiri.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page