Aku tidak tahu harus berbuat apa. Semua mata memandang ke arah kami, ke arahku. Udara di sekitar kami begitu berat dengan pengharapan sampai aku tidak dapat bernapas. Hatiku terus berteriak ‘tidak’ tanpa henti. Tapi benakku sibuk membuat semua perhitungan. Aku melihat mama yang menangis bahagia. Aku melihat papa yang tersenyum begitu lebar. Sejak Amos pergi aku belum pernah melihatnya tersenyum selebar itu. Dan Justin. Ia memandangku dengan harapan yang begitu besar dan berat sampai-sampai aku tidak dapat bergerak. Dan semua pikiran ini berteriak di dalam benakku. Pikiran bahwa aku tidak akan menemukan orang lain di luar sana yang lebih cocok lagi denganku, atau paling tidak dengan keluargaku. Pikiran tentang semua yang telah dilakukan Justin untukku dan untuk keluargaku. Pikiran bagaimana aku akan membuat hidup banyak orang, mungkin termasuk hidupku sendiri, jadi susah bila aku menjawab tidak. Jadi aku menarik napas panjang. Dan aku menjawab ya.
Seluruh ruangan seolah meledak dalam kegembiaraan, dan mungkin kelegaan. Justin mengenakan cincinnya pada jariku. Jarinya gemetar waktu melakukan itu. Ia lalu memelukku begitu erat aku merasa terjebak di dalam beton.
“Ada banyak yang ingin kukatakan padamu. Hanya padamu. Nanti,” bisiknya di telingaku. Mungkin dia tahu aku tidak senang dilamar di depan orang banyak seperti ini. Lalu mamaku dan mamanya memelukku. Dan Dina. Dan papa memelukku begitu lama. Dan yang lainnya semua memberikan selamat. Dan selama sisa malam itu, semuanya begitu gembira seolah setiap orang baru saja bertunangan. Dan Justin tidak pernah meninggalkan sisiku barang satu detikpun.
Setelah makan malam Justin bertanya pada orang tuaku apakah aku boleh tinggal lebih lama. Dia sendiri yang akan mengantarku pulang nanti. Tentu saja orang tuaku tidak masalah. Mereka pikir pastinya banyak yang ingin kami bicarakan setelah apa yang baru saja terjadi. Aku tidak terlalu yakin. Ya, aku ingin punya kesempatan memberitahu Justin bahwa aku merasa seperti ... dipojokkan. Tapi aku juga merasa begitu letih aku sebenarnya ingin pulang supaya aku dapat mencerna hal ini. Tapi karena dia sudah berhasil membuat orang tuaku pulang tanpa diriku, aku tidak punya pilihan selain mendengarkan apa yang akan dikatakannya. Kami mengucapkan selamat malam pada orang tuanya dan dengan bergandengan tangan, kami berjalan ke arah ruang kerja Justin. Ruang yang berada di samping kamar Justin itu adalah tempat kerjanya saat dia di rumah. Di dalamnya ada meja kerjanya, sebuah TV, sofa, rak buku dan sepeda statisnya. Di sanalah biasanya kami mengobrol atau menonton film. Ia membuka pintunya untuk membiarkanku masuk. Ia menutup pintu di belakangnya dan menarikku ke dalam pelukannya.
“Maaf tentang yang tadi,” katanya.
“Kau... mengagetkanku. Dan orang tuaku pasti kaget juga,” kataku.
“Orang tuamu tahu,” katanya.
“Mereka tahu?” tanyaku.
“Pagi ini waktu aku di rumahmu, sebelum kau keluar, aku sudah minta ijin pada mereka untuk melamarmu,” katanya.
“Jadi... hanya aku yang tidak tahu,” kataku.
“Orang tuaku tahu tapi saudara-saudaraku tidak tahu,” katanya.
“Kau... kau harusnya memberitahuku dulu,” kataku. Ia menggeleng.
“Aku takut ...,” ia berhenti. Lalu mencoba mulai lagi. “Aku takut ... kau akan menjawab tidak,” katanya. Suaranya mengecil. Aku tidak tahu harus bilang apa. Aku tidak bisa bilang itu tidak benar. “Anna, lihat aku,” katanya. Aku memandangnya. “Aku tahu kau ragu-ragu,” katanya. Aku juga tidak bisa bilang itu tidak benar. “Dan aku tahu bahwa... kau tidak mencintaiku sebesar aku mencintaimu.” Aku ingin sekali mengatakan itu tidak benar. Tapi tidak bisa. “Dan aku mau kau tahu bahwa aku tahu tadi kau menjawab ‘ya’ di luar sana... itu bukan karena kau mau bilang iya. Itu lebih karena kau tidak bisa bilang tidak. Dan karena itu, mulai detik ini juga, aku akan melakukan segalanya untuk membuatmu mencintaiku. Aku akan memastikan kau tidak akan pernah menyesal telah bilang iya. Dan jika aku harus menghabiskan seluruh sisa hidupku untuk berusaha mendapatkan cintamu, jika aku harus mengemis sekalipun, aku akan melakukannya.” Lalu, seolah dia masih ingin mengatakan begitu banyak hal lagi tapi tidak menemukan kata-kata yang tepat, ia menciumku. Ciuman itu adalah ciuman terlembut yang pernah kualami seolah aku sebongkah kristal yang bisa remuk bila tersenggol sedikit saja. Dan lengannya merengkuhku seolah tidak akan pernah melepaskanku lagi. Dan malam itu, walaupun untuk sejenak saja, aku berhasil meyakinkan diriku bahwa aku telah melakukan hal yang benar. Dan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page