Di luar komplek apartemen Dina, di tepi jalan, aku
berdiri memegang ponselku. Aku hanya melakukan hal sederhana yaitu memanggil
grab tapi tangan dan jariku gemetar seolah aku sedang akan melakukan sesuatu
yang melanggar hukum. Hatiku melompat di dalam kerangka rusukku. Aku memandang
layar ponselku seolah sorotan mataku dapat membuat si mobil grab berjalan lebih
cepat. Sebenarnya hanya perlu tiga menit bagi mobil itu untuk tiba di tempatku
berdiri, tapi rasanya seperti bertahun-tahun. Begitu sedan Corolla biru itu
menepi, aku langsung membuka pintunya. Di dalam, si sopir mencoba memulai
percakapan tapi aku terlalu sibuk menenangkan diri. Aku memandang jam pada
dasbor. Aku hanya punya maksimum dua setengah jam. Tapi apartemen Dayton hanya
lima belas menit jauhnya dari sana. Jadi harusnya dua setengah jam itu lebih
dari cukup. Tapi cukup untuk apa? Aku terus bertanya pada diriku sendiri
bagaimana jika dia tidak ada di rumah? Tapi yang membuatku lebih gugup
adalah... bagaimana jika dia ada di rumah? Apakah dia akan membuka pintunya
lalu menarikku ke dalam pelukannya atau apakah dia akan membanting pintu itu di
depan wajahku? Jika ia memang membiarkanku masuk, lalu apa? Aku toh tidak punya
berita baik untuknya. Lalu jika aku masuk dan ternyata di sana ada orang lain,
bagaimana? Akan sesakit apa rasanya melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa
aku sudah tergantikan oleh orang lain, seseorang yang hidupnya tidak serumit
hidupku, seseorang yang berencana untuk tinggal karena tempat ini memang adalah
rumahnya. Bagaimana jika ...
“Kita sudah sampai,” kata sopir grabku. Aku memandang
keluar dan melihat gedung berwarna abu-abu yang sudah kulihat ratusan kali
sampai pernah terasa seperti rumah itu. Tapi hari itu, gedung itu berdiri di
sana mengancam seperti monster. Aku berterima kasih pada si sopir dan keluar
dari mobil. Aku berjalan ke arah gedung. Apartemen Dayton menghadap ke sisi
lain jadi aku harus berjalan mengitari gedung, melewati ruang cucian. Tapi aku
tahu dia tidak ada di sana. Kami biasanya tidak mencuci baju sesore ini. Kami.
Kata-kata itu begitu menggangguku karena yang sebenarnya aku tidak dapat lagi
menggunakan kata itu. Aku tidak tahu harus berjalan lebih cepat atau lebih
pelan atau mungkin sebaiknya aku memutar tubuhku dan pergi saja. Tapi sebelum
otakku mengambil keputusan dan mengirimkan perintah pada kakiku, aku merasakan
langkahku semakin cepat. Lalu aku mulai berlari. Aku berhenti sebelum naik
tangga untuk bernapas. Apartemen Dayton terletak di lantai dua. Aku mulai naik.
Setiap anak tangga membawaku lebih dekat denganya. Tapi lalu apa? Ini toh bukan
akhir bahagia dari film atau novel di mana si gadis akhirnya mengambil
keputusan untuk tinggal supaya ia bisa bersama-sama kekasih sejatinya. Ini
hanya akan menjadi perpisahan yang harusnya sudah terjadi lama, yang kukira
bisa kuhindari tapi ternyata tidak. Aku tiba di lantai dua. Hanya sepuluh
langkah lagi sebelum aku tiba di depan pintunya. Aku masih dapat memutar
tubuhku dan pergi. Dan dia tidak akan pernah tahu bahwa aku ada di sini. Tapi
aku melanjutkan langkahku. Aku berhenti di depan pintunya. Kesempatan terakhir
untuk mundur. Aku mengangkat tanganku dan mengetuk pintunya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page