Apa gunanya sebuah perusahaan dengan penjualan jutaan
dollar per tahun, 1,500 pegawai dan gedung kantor lima lantai berdinding kaca
bila satu-satunya anak lelakimu tidak akan pernah lagi menginjakkan kakinya di
sana? Apa gunanya semua sisa hidupku bila aku tidak lagi dapat
berbincang-bincang dengannya sambil makan malam? Apa gunanya matahari terbit di
timur lagi esok saat anakmu baru saja diturunkan dua meter ke bawah tanah?
“Rasanya kita sudah boleh pulang sekarang, Om.” Aku
mengangkat wajahku dan melihat Justin, anak bungsu Januar. Untung ada dia.
Beberapa hari ini keluargaku tidak akan tahu harus bagaimana tanpa dirinya.
Saat dia melihat aku tidak berdiri, dia duduk di sampingku. “Tamu-tamu sudah
pergi dan aku sudah menginstruksikan seluruh karyawan untuk menuju bus. Aku
juga sudah memeriksa semua tagihan. Semuanya sudah benar dan aku sudah
mengotorisasi orang keuangan Om untuk membayarnya. Anna dan Tante juga sudah di
mobil menunggu kita,” tambahnya.
Saat ia menyebut nama Anna, hatiku bertambah sakit.
Dengan tidak adanya Amos, bagaimana mungkin aku bisa membiarkan anak
perempuanku menikah dengan seseorang yang akan membawanya pergi begitu jauh
sampai-sampai mungkin aku hanya akan melihatnya setahun sekali saja? Bahkan
waktu Amos masih ada, pertanyaan ini begitu menggangguku dan sudah hampir
membuatku gila.
“Om ... aku tidak bermaksud mencampuri urusan keluarga
Om. Dan maaf bila mungkin Om tidak sependapat. Tapi secara pribadi aku merasa
dalam situasi seperti ini, yang terbaik untuk Anna adalah untuk lulus
secepatnya dan lalu pulang supaya bisa bersama-sama Om dan Tante,” katanya. Aku
memandangnya sambil bertanya-tanya apakah barusan aku mengucapkan apa yang ada
di pikiranku tanpa sadar.
“Kurasa itu tidak berada di dalam kendaliku, Justin.
Aku tidak bisa memaksa Anna pulang. Jika kulakukan, ia akan membenciku,” kataku.
“Ya, Om benar. Ini harus datang dari dirinya sendiri.
Mungkin dia akan sadar sendiri,” katanya. Memang akan baik bila seperti itu.
Sejujurnya setiap hari aku berdoa supaya Anna dan Dayton putus. Tentu aku tidak
pernah mengatakan ini pada siapa pun, tidak juga pada istriku walaupun
perasaanku mengatakan bahwa mungkin dia melakukan hal yang sama. “Ayo, Om, kita
pulang ke rumah,” katanya. Aku mengangguk. Rumah. Apa gunanya sebuah bangunan
besar dengan tempat parkir bawah tanah, kolam renang besar dan tujuh kamar
tidur yang kau sebut rumah itu bila kau tahu bahwa anak lelakimu tidak akan
lagi pernah tidur di dalam salah satu dari kamar itu?
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page