Ada yang aneh dengan Dayton dan aku tidak tahu apa.
Dimulainya setelah ia makan malam bersama keluargaku di rumahku. Keesokan
harinya, saat aku ke hotel untuk menjemputnya, ia tidak memelukku seperti
biasanya. Aku mengajaknya ke museum hari itu dan di sana, ia begitu tertarik
pada semua benda yang dipamerkan seolah ia tidak sadar bahwa aku berdiri di
sebelahnya. Dan keesokan harinya dia bilang dia tidak enak badan jadi hendak
istirahat saja di hotel, lalu dia mengabari bawa dosen rekannya perlu pergi
lebih cepat jadi dia harus pulang lebih cepat ke Foothill. Ia bahkan tidak
membiarkan diriku mengantarnya ke bandara karena katanya dia sudah pesan taxi
dari hotel. Aku terus bertanya apakah ada sesuatu yang salah, tapi ia terus
bilang bahwa semuanya baik-baik saja.
Dan selama sisa musim panas itu, kami hanya sempat ber
video call beberapa kali saja karena ia selalu punya alasan. Katanya dia sibuk
memeriksa pekerjaan mahasiswa, atau jam kantornya diperpanjang, atau dia harus
mencuci baju. Dia yang kutahu tidak suka pekerjaan mencuci baju tiba-tiba jadi
rajin mencuci baju sampai seminggu dua kali! Dan yang paling membuatku heran
bercampur sedih adalah dia sama sekali tidak menawarkan diri untuk menjemputku
di bandara San Francisco saat aku terbang kembali untuk semester musim gugur
ini. Jika tunanganku tidak mau menemuiku di bandara setelah kami tidak bertemu selama
dua bulan, apakah aku bisa disebut berpikir negatif bila membuat asumsi bahwa
dia sudah tidak lagi mencintaiku? Atau bahwa dia sudah tidak menginginkan
hubungan ini lagi?
“Kau harus bertanya langsung padanya,” kata Dina. Kami
baru melewati petugas imigrasi dan sedang menanti bagasi. Untung kemarin itu
Dina sempat pulang ke Jakarta setelah semester musim panasnya selesai. Aku jadi
punya teman yang dapat kucurhati tentang masalah Dayton ini. Aku toh tidak bisa
berbicara pada mama tentang ini. Suatu kali saat Dina ada dirumahku, Justin
datang untuk mencari Amos. Jadi aku memperkenalkan Dina kepadanya, lalu Justin
malah berinisiatif untuk memperkenalkan Dina pada Jason, kakaknya. Akhirnya
kami berempat sempat bepergian bersama beberapa kali.
“Aku tak tahu. Aku tidak ingin... mengemis cintanya,”
kataku.
“Loh, dia kan sudah melamarmu! Dia itu tunanganmu!”
kata Dina.
“Dia bahkan tidak menawarkan untuk menjemput kita hari
ini,” kataku. Walaupun aku masih berharap bahwa nanti, saat aku melangkah
keluar gerbang, aku akan melihat dirinya. Mungkin saja, bukan? Mungkin dia
tidak menawarkan untuk menjemputku karena ingin memberikan kejutan untukku?
“Memang aneh jika dia tidak menjemput,” kata Dina. Saat
kami mendorong kereta bagasi kami menuju gerbang kedatangan yang berupa pintu
geser otomatis, aku berdoa sekuat tenagaku supaya dia ada di luar sana,
menantiku. Ia akan menarikku ke dalam pelukannya dan akan memberiku alasan yang
masuk akal tentang kenapa ia seolah menganggap diriku tidak penting atau tidak
ada. Aku belum terpikir alasan yang masuk akal tapi aku percaya dia punya
penjelasannya. Dan yang sesungguhnya, aku tidak peduli apa itu alasannya. Jika
dirinya memang berdiri di luar sana menantiku, aku akan berlari ke dalam pelukannya. Pintu geser otomatis itu
tinggal berjarak beberapa langkah lagi
dari kami. Begitu kami mendekat, pintunya terbuka. Kami pun keluar. Aku
memindai orang yang berdiri menunggu keluarga atau teman yang sedang mereka
jemput. Tolong, Tuhan. Tolong buat dia ada di antara orang-orang ini. Tapi dia
tidak ada.
“Apakah kau akan menelponnya nanti?” tanya Dina saat
kami sedang menanti Grab yang kami pesan.
“Rasanya tidak,” kataku.
“Besok, mungkin?” tanyanya.
“Tidak juga,” kataku.
“Jadi kau tidak akan berbuat apa-apa?” tanya Dina.
“Mungkin tidak,”
kataku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Dia tahu aku tiba malam ini. Dia tahu di mana aku
tinggal. Jika dia tidak datang, hanya ada satu kemungkinan,” kataku.
“Apa?” tanya Dina.
“Dia ... dia tidak mencintaiku lagi,” kataku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page