“Kau ... siap?”
tanya Prof. Lee. Kami sedang berdiri di depan pintu rumah neneknya. Dan aku
merasa pertanyaan itu dilontarkannya lebih kepada dirinya sendiri dan bukan
untukku. Tapi aku tetap mengangguk dan tersenyum. “Oh, Anna, satu hal lagi,”
katanya, “dapatkah kau memanggilku Dayton di depan keluargaku?” Kurasa memang
aneh jika aku memanggilnya Professor.
“Ya, Prof. Maksudku, Dayton,” kataku sambil
menggodanya. Ia tersenyum tapi aku masih melihat kegugupan di sana seolah dia
sedang akan menghadapi ujian, atau sedang akan diambil darahnya untuk di tes.
“Dan... apakah... apakah aku boleh memegang tanganmu?
Kau tahu.. supayaa...”
“Boleh,” kataku tanpa membiarkannya menghabiskan
kalimatnya. Karena aku memang ingin ia memegang tanganku. Dan setelahnya kami
hanya berdiri di sana, saling melihat seolah masih ada begitu banyak yang ingin
kami katakan, tapi tidak bisa. Dan sebelum situasi menjadi lebih canggung lagi,
aku mengangkat tanganku dan menyodorkan ke arahnya dengan gerakan yang sengaja
kulebih-lebihkan seolah aku sedang menawarkan sepotong kue atau buah. Ia
tersenyum dan meraih tanganku. Tangannya begitu hangat dan kehangatannya
menjalariku seolah aku sebilah panel listrik yang baru saja dihubungkan dengan
sumber listrik.
Aku tidak tahu kenapa tapi terlihat sekali bahwa Dayton
bukan cucu favorit neneknya. Neneknya memandang dirinya seolah ia seekor lalat
yang ingin diusirnya, seolah ia noda pada baju favorit yang tidak dapat
dihilangkan. Rambutnya, yang panjangnya tepat untuk disusuri dengan jemari,
dibilang terlalu panjang. Ia mendengarkan cerita Dayton dengan ekspresi tidak
sabaran yang tidak ditutup-tutupi seolah ia ingin cerita itu cepat selesai
supaya ia dapat mengalihkan perhatiannya pada cucu-cucunya yang lain. Satu
sepupu Dayton, Izzy, sudah menikah dan punya anak, tiga yang lainnya sudah
bertunangan. Aku jadi tahu kenapa penting bagi Dayton untuk tidak datang ke
tempat ini sendirian. Di satu sisi, aku senang terpilih untuk memainkan peran
ini. Tapi di sisi lain, harus kuakui, aku sedih karena ini hanya sebuah peran
dan tidak lebih.
“Terima kasih sudah mau melakukan hal ini,” bisik
Susan, ibu Dayton. Aku bahkan tidak sadar dia sudah berdiri di sampingku.
Rupanya Dayton sudah memberitahunya bahwa aku hanya pacar bohong-bohongan.
“Tidak apa-apa, Bu,” kataku sambil tersenyum padanya.
“Panggil aku Susan saja,” katanya sambil membalas
senyumku. “Aku belum pernah ke Indonesia,” tambahnya.
“Oh, kau harus datang! Paling tidak ke Bali,” kataku.
“Ya, kudengar Bali tempat yang indah!” Kali ini nenek
Dayton yang berbicara. Aku juga tidak sadar dia sudah pindah ke dekat kami.
Apakah seluruh keluarganya punya kemampuan bergerak diam-diam seperti ninja?
“Ya, sangat indah,” kataku.
“Kau tinggal di Bali?” tanya ibu Dayton.
“Tidak. Keluargaku tinggal di Jakarta,” jawabku.
“Dan apa pekerjaan keluargamu?” tanya nenek Dayton.
Rupanya orang keturunan China di mana saja sama. Setelah mereka tanya kau
tinggal di mana, mereka lalu bertanya apa yang dilakukan keluargamu untuk
mencari nafkah.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page