Aku yakin itu kekasihnya yang menelpon. Dia mengatakan
sesuatu tentang rencana makan malam. Rasa cemburu menyerbuku seperti gelombang
tsunami, membuatku kesal tanpa alasan. Memang tanpa alasan, bukan? Karena
bukankah wajar saja untuk seseorang seusia dirinya untuk punya seorang kekasih?
Itu sama sekali bukan urusanku dan aku tidak punya hak untuk iri. Tapi lalu
percakapan telpon itu tidak terdengar terlalu baik. Ia bahkan cemberut setelah
menutup telpon. Jadi aku bertanya apakah ada yang tidak beres. Aku tahu itu
bukan urusanku, tapi aku ingin tahu.
“Itu tadi temanku, July,” katanya. Aku ingin sekali
bertanya apakah teman di sini maksudnya kekasih, tapi aku diam saja. “Dia
seharusnya menemaniku ke makan keluarga hari Thanksgiving di rumah nenekku
Kamis ini.” Bukankah itu terdengar seperti tugas seorang kekasih? “Tapi
kekasihnya tidak memperbolehkannya,” lanjutnya. Dan tiba-tiba aku begitu ingin
tersenyum. Gadis bernama July ini bukan kekasihnya!
“Oh,” kataku. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi.
“Apakah kau .... tidak jadi deh. Lupakan saja,”
katanya.
“Apakah aku apa?” tanyaku. Ia memandangiku sambil
berpikir seolah aku ini selembar spreadsheet akunting yang harus dikerjakannya.
“Jika... jika
kau tidak nyaman dengan ini, kau tinggal bilang tidak,” katanya. Aku
mengangguk. “Janji untuk langsung bilang tidak bila kau memang tidak mau?”
tanyanya.
“Iya. Janji,”kataku. Aku begitu penasaran apa yang
hendak ditanyanya. Tapi di dalam hati aku sudah berjanji pada diriku sendiri
bahwa apapun yang dimintanya, aku akan bilang iya. Ini memang mengerikan, tapi
aku sadar bahwa aku akan melakukan apa pun untuk dirinya.
“Apakah kau... bersedia menemaniku ke makan malam keluarga
di rumah nenekku hari Kamis ini?” tanyanya. Giliranku untuk memandanginya
seolah dia adalah beberapa akun yang harus direkonsiliasi. Apakah ia mengajakku
untuk bertemu keluarganya? Mungkin aku yang terlalu berimajinasi. Bukankah ini
Thanksgiving? Lumrah saja keluarga untuk berkumpul dan makan bersama di hari
Thanksgiving. Tapi kenapa ia mengajakku?
“Lupakan saja. Aku...” ia mulai berbicara. Mungkin aku terdiam
terlalu lama.
“Oke,” kataku.
“Kau... kau mau pergi denganku?” tanyanya. Matanya
membesar seolah yang baru saja kukatakan padanya adalah sebuah berita yang luar
biasa.
“Ya,” kataku. Dan aku sendiri kaget karena sama sekali
tidak ada keraguan pada diriku.
“Baiklah! Terimakasih!” katanya. “Boleh kujemput ...
jam 5?” tanyanya.
“Oke,” jawabku. Dan aku tahu selama sisa minggu itu,
tidak peduli apa yang terjadi, bahkan bila langit runtuh sekalipun, tidak ada
yang dapat menghapus senyum di wajahku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page