Baru-baru ini aku melihat sebuah majalan online yang
menerbitkan edisi khusus berisi koleksi cerita pendek. Semua cerita yang
terpilih untuk dimuat itu terdiri dari tepat 42 kata, dan judulnya pun harus
tepat terdiri dari 42 karakter (termasuk spasi). Dari semua yang diterbitkan,
ada satu yang menarik perhatianku. Pertamanya aku tertarik hanya karena
penulisnya adalah seorang novelis dari negaraku, Indonesia. Aku tidak mengenal
namanya tapi yang ditulisnya menyentuhku. Ini tulisannya:
Satu masa depan yang hilang di sudut jalan
Sama sekali tidak ada yang berubah pada dirinya.
“22 tahun!” katanya.
“Dan 3 bulan dan 17 hari,” sahutku.
Lampu penyeberangan berubah hijau.
“Senang berpapasan denganmu,” katanya dan ia pun berlalu.
Tanpa tahu bahwa selamanya, dirinya akan selalu jadi seseorang yang
seharusnya milikku.
Jadi di sanalah diriku,
berdiri pada antrean di depan kantor Prof Lee. Dan kali ini, aku akan
memastikan aku melakukan apa yang kurencanakan. Karena aku sadar benar yang
mereka katakan. Di dalam hidup ini, lebih besar kemungkinannya kau menyesali
sesuatu yang tidak kau lakukan daripada yang kau lakukan.
Antrean bergerak cepat. Mungkin mahasiswi-mahasiswi ini
sudah lebih pintar atau mungkin Prof Lee sudah mendapatkan
penjelasan-penjelasan yang lebih mudah dimengerti lagi. Tidak lama lagi aku
akan berdiri di hadapannya, bertanya apakah ia mau minum kopi bersamaku. Aku
tidak peduli apa reaksinya. Tidak masalah jika ia bilang tidak. Tidak masalah
juga bila ia membanting pintunya di hadapanku. Semoga tidak seburuk itu. Tapi
intinya, apapun yang terjadi, yang penting aku sudah melakukan hal ini. Aku
tidak mau terbangun 22 thn lagi dan baru saat itu sadar apa yang seharusnya
kulakukan 22 thn sebelumnya.
Seorang mahasiswi keluar dari ruangannya. Mahasiswi di
depanku masuk ke dalam. Sebentar lagi giliranku. Aku gelisah. Aku menengok ke
arah pintu gedung. Tidak. Aku harus tetap di sini. Aku melihat Miss Amanda
Trung, memandangku dengan pandangan ingin tahu. Tapi ia memang selalu memandang
segalanya dengan pandangan ingin tahu. Mungkin itu karena mata bulatnya yang
besar. Aku mencoba tersenyum. Tapi
mungkin tampak lebih seperti meringis. Ia tersenyum balik padaku dan ia
menganggukkan kepalanya. Aku tidak tahu untuk apa dia melakukannya tapi gerakan
itu seolah memberiku kekuatan, seolah ia tahu aku butuh persetujuannya dan ia pun
memberikannya.
Si mahasiswi keluar dari ruangan. Inilah saatnya.
Sekarang atau tidak sama sekali. Aku menarik napas panjang dan melangkah ke
arah pintu kantor Prof. Lee.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page