Aku tidak bisa tidak memikirkan dirinya. Dan itu aneh
karena kami toh tidak pernah benar-benar bersama-sama. Waktu aku kehilangan
Jess dulu, rasanya tidak seperti ini. Kami sudah bersama-sama tiga tahun dan
bahkan tinggal bersama di tahun terakhir. Tapi waktu dia meninggalkanku setelah
aku kehilangan pekerjaanku, yang kurasakan hanya amarah dan penyesalan. Dan
pikiran tentang dirinya tidak terus merasuki benakku. Dengan Anna, kami tidak
punya apa-apa selain hubungan guru dan murid. Tapi bayangan dirinya menyesak
masuk ke setiap lekukan dan sudut keberadaanku seolah seperti cairan yang
mengalir ke setiap celah yang ada, menyegarkan sekaligus mencekikku di waktu
yang bersamaan. Dan karena itu, musim panas ini jadi begitu panjang seolah
setiap detiknya ditarik seperti gulali lengket.
Setiap pagi saat mataku terbuka, aku melihat wajahnya
seolah terlukis pada langit-langit kamarku. Saat mengunyah sarapanku, aku
mendengar suaranya mengucapkan selamat pagi. Setiap tangga di bangunan manapun
mengingatkanku pada sensasi kulitnya yang menyentuh kulitku. Dan setiap bingkai
pintu mengingatkanku pada senyumnya dan pada kenyataan bahwa aku telah
kehilangan dirinya sebelum aku punya kesempatan untuk memulai apapun.
Tapi bukankah ia tidak akan selamanya menjadi seorang
mahasiswi? Dia sudah berada di Foothill selama dua semester, itu berarti paling
lama satu setengah tahun lagi ia akan transfer ke universitas. Dan setelah itu
bukankah kami bebas untuk bertemu atau untuk melakukan apa saja yang kami
inginkan, bukan? Satu setengah tahun bukan waktu yang lama. Walaupun waktu
memang hal yang aneh. Tidak peduli sependek apa pun, akan terasa seperti
selamanya bila kau sedang menantikan sesuatu yang sangat kau inginkan. Tapi
satu setengah tahun bukan selamanya. Aku
pasti mampu menunggu satu setengah tahun. Dan tiba-tiba secercah harapan terang
menyapu pergi kegundahanku.
Setelah merasa lebih baik, aku pun tersenyum pada
diriku sendiri. Ketenangan menyelubungi diriku seperti selimut yang nyaman. Aku
mengambil remote dan menyalakan TV. Ada berita terkini yang sedang tayang
tentang penembakan yang baru saja terjadi di salah satu kolese di Seattle. Aku
terduduk tegak. Berita itu begitu menyedihkan! Seorang dosen dan seorang
mahasiswi tertembak mati dan dua mahasiswa terluka. Si penyiar mengatakan bahwa
merupakah suatu keberuntungan karena penembakan ini terjadi saat semester musim
panas saat kampus tidak sedang penuh orang. Menurutku, ketika hidup dua orang
tak bersalah tiba-tiba diakhiri tanpa sebab seperti ini, tidak ada yang dapat
dibilang sebagai keberuntungan sama sekali. Dan itu dapat terjadi pada siapa saja!
Yang tertembak itu bisa saja diriku. Dan tiba-tiba aku jadi sadar betapa
singkatnya hidup, betapa rapuhnya seolah serapuh sarang laba-laba di tengah
angin dan hujan. Menakutkan sekali bukan bahwa setiap hari punya kemungkinan
menjadi hari terakhir dalam hidupmu! Dan yang lebih buruk lagi, itu bisa saja
Anna.
Aku berdiri dan melangkah ke kamarku untuk mencari
laptopku. Tidak ada di sana. Lalu aku ingat bahwa aku meninggalkannya di ruang
makan. Aku berlari ke ruang makan seolah tidak ingin membuang barang satu detik
pun waktu. Aku menemukan laptopku. Aku membukanya dan mulai mengetikkan sebuah
email. Untuk Anna.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page