Ini sulit untuk dipercaya. Enambelas tahun sudah
berlalu tapi aku mengingatnya seolah baru kemarin berjumpa. Si pencuri monyet!
Yah, itu bukan monyet sungguhan, hanya boneka monyet butut. Dan dia tidak
benar-benar mencurinya karena aku yang memberikannya padanya. Tapi itu
benar-benar dia. Rambut berombak sebahunya sama sekali tidak tampak seperti
sepasang ekor kuda yang dikenakannya 16 tahun yang lalu. Lekukan tubuhnya
menunjukkan seorang wanita tapi sewaktu berjalan, langkahnya seringan
langkah-langkah kecil yang dibuatnya saat ia masih balita. Proporsi fitur
wajahnya yang sempurna jauh berbeda dari sepasang pipi tembam yang membingkai
wajahnya bertahun-tahun silam. Tapi mata coklat bulatnya melihat dengan sorot
mata tajam yang sama, sepasang mata yang sama yang telah memandang Monty seolah
itu satu-satunya hal di dunia yang patut dipandang. Dan tiba-tiba aku senang
karena sudah mau menemani ayah mengunjungi kantor teman lamanya. Aku tadi malas
pergi karena keadaan di rumah dan di kantor yang masih kacau balau karena
pindahan. Memindahkan PT Awan Distribusindo, perusahaan distribusi ayah dan
seluruh keluarga kami dari Surabaya ke Jakarta bukan urusan yang mudah. Kantor
dan rumah baru kami, keduanya masih penuh tumpukan kardus. Tapi ketika ketiga kakakku
tidak ada yang mau ikut, aku tidak bisa bilang tidak pada ayah saat ia
menyuruhku ikut. Terkadang aku muak jadi anak bungsu. Aku tidak pernah jadi yang
pertama diminta tapi tekanan untuk mengiyakan permintaan ayah selalu jatuh ke
pundakku.
“Jordan, bisakah kau mengantar mama ke dokter?” ayahku
akan bertanya pada kakak tertuaku.
“Tidak bisa, Pa. Ada meeting dengan konsultan IT hari
ini. Mungkin Jacob bisa,” ia akan menjawab.
“Jacob, kau bisa mengantar mama ke dokter?” ayahku akan
bertanya pada kakak keduaku.
“Maaf, Pa, ada meeting dengan bank. Coba Jason saja,”
ia akan menjawab.
“Jason ...”
“Pa, aku ada jadwal bertemu dengan sub-distributor baru
hari ini,” kata Jason sebelum papa bahkan sempat bertanya karena biasanya ia
sudah diberitahu Jordan dan Jacob.
“Justin, antar mamamu ke dokter,”ayah akan bilang
padaku. Dan padaku, tidak pernah bentuknya sebuah pertanyaan, selalunya sebuah
perintah.
Tapi hari ini, karena ada dirinya, tenaga dan waktuku
untuk menemani ayah berkunjung ke kantor teman lamanya, Goodlife Indonesia,
lebih dari terbayarkan.
“Januar! Akhirnya!”kata seorang pria. Pastilah dia
paman Ari, teman lama ayah itu.
“Ya. Akhirnya aku memutuskan untuk pindah sajalah ke
Jakarta. Lebih efisien seperti ini,” kata ayah saat mereka berjabat tangan.
“Ini.. Jason, bukan?” tanya paman Ari sambil menjabat
tanganku.
“Ini Justin. Jason sedang sibuk mengurus segala
ijin-ijin,” kata ayah.
“Kukira Justin masih kuliah di USC!” kata paman Ari.
“Sudah lulus tahun kemarin,” jawab ayah.
“Wah, pastinya kau senang ke empat anakmu semuanya
sudah kembali, ya?” tanya paman Ari. Ayahku mengangguk.
“Apa kabar paman Januar?” kata seorang pria muda.
“Baik. Senang berjumpa denganmu lagi, Amos,” kata ayah.
“Paman ingat Anna?” tanya Amos.
Akhirnya! Selama itu aku tidak sabar ingin tahu
namanya. Anna! Nama yang begitu cocok seolah semua yang mendengarnya akan
bertanya-tanya kenapa tidak menebak nama itu sebelumnya. Aku menyebutkan nama
itu di dalam hati, di dalam benakku, merasakannya pada lidahku.
“Tidak terlalu ingat. Sudah lama sekali,” kata ayahku.
“Ya! Payah sekali keluarga kita hampir tidak pernah
bertemu padahal kita sudah lama kenal, Januar!” kata paman Ari, “tapi karena
sekarang kau sudah pindah ke Jakarta, tentunya tidak seperti itu lagi! Anna,
ini paman Januar dan anaknya, Justin.”
“Terakhir aku melihatmu, rasanya kau masih bayi,” kata
ayah. Aku hampir mengoreksinya dengan mengatakan bahwa terlahir kita melihatnya
adalah waktu ia bertamu ke rumah kami di Surabaya saat ia berusia tiga tahun.
Tapi aku diam saja. Aku tidak ingin ada
yang tahu bahwa aku ingat Anna. Sebagai anak bungsu, percayalah, jarang sekali
ada sesuatu yang kau ketahui tapi tidak diketahui orang lain, dan lebih jarang
lagi ada sesuatu yang adalah milikmu seorang. Jadi untuk saat ini, biarlah hal
ini menjadi rahasiaku saja.
Saat tiba giliranku untuk
menjabat tangan Anna, aku menjabatnya seerat yang kubisa, selama yang kubisa
tanpa menimbulkan kecurigaan atau kecanggungan.
“Justin,” kataku.
“Anna,” katanya. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa
ia ingat atau mengenaliku.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page