Penerbangan dari San Francisco ke Jakarta, termasuk
transit 3 jam di Taipei, total memakan waktu 22 jam. Dan karenanya, aku punya
banyak waktu untuk berpikir.
Aku memikirkan kuliahku, tentang semua kelas yang sudah
and akan kuambil. Aku memikirkan tentang transfer, tentang semua opsi universitas
di dalam atau luar state. Aku memikirkan Ivan, tentang bagaimana setahun telah
berlalu dan betapa aku ternyata bisa hidup tanpa dirinya, tanpa cintanya. Itu
mukjijat. Aku memikirkan tentang rencana liburan musim panasku, tentang
rencanaku untuk magang di perusahaan Papa. Bayangan diriku pergi ke kantor
bersama papa dan kakakku, Amos, menghangatkan hatiku. Aku memikirkan mama. Aku
sudah membelikan parfum Gabrielle Chanel untuknya. Semoga ia suka.
Tapi yang paling memenuhi pikiranku adalah Prof. Lee.
Aku memikirkan rambut hitam di kepalanya yang
membuatnya terlihat muda tidak peduli saat panjang atau pendek. Aku memikirkan
bagaimana ia selalu berdiri di dekat tempat dudukku di kelas dan bagaimana ia mencuri
pandang ke arahku sambil melemparkan senyum sesekali. Aku memikirkan semua
saat-saat kami saling bertukar pandangan saling mengerti saat terjadi keributan
dari baris bangku belakang. Aku memikirkan kali pertama aku pergi ke kantornya
dan aku memikirkan semua hal yang ia katakan setiap kali aku mematung di bawah
bingkai pintu kantornya. Sebuah piano, microwave oven, patung liberty, air
mancur, sekelompok benda-benda yang tidak berhubungan satu sama lain yang
selalu mampu membuatku tersenyum. Aku memikirkan aroma aftershave dan shampo
yang menguar dari dirinya setiap kali kami berdekatan saat ia memeriksa
pekerjaanku. Aku memikirkan lesung pipitnya. Aku memikirkan satu kali itu di
mana ia mencegahku terjatuh di tangga dengan menarikku ke dalam pelukannya. Aku
tidak tahu apakah ia melihat wajahku yang langsung memerah. Dan tentu saja aku
memikirkan saat ia tiba-tiba menyudahi pertemuan kami yang terakhir seolah
diriku begitu memuakkan, dan bagaimana setelah itu ia bahkan tidak memandang
mataku setiap kali ia harus menyerahkan sesuatu padaku seolah aku mengidap
virus mematikan atau yang lebih buruk lagi, seolah aku ini racun. Aku menarik
napas panjang.
“Apakah kau benar-benar sedang membaca?” tanya Dina
yang duduk di sebelahku. Ia mengenakan bantal berbentuk U pada lehernya tapi seperti
diriku, susah baginya untuk bisa tidur di pesawat. Rupanya ia sadar bahwa aku
belum membalik lembaran novel yang kupegang barang satu halamanku selama satu
jam terakhir.
“Entahlah,”
kataku. Aku menutup bukuku dan meletakkannya.
“Memikirkan Ivan, ya?” tanyanya. Aku mengangkat bahu.
“Atau Prof Lee?” tanyanya lagi. Aku berpura-pura tidak mendengarnya.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page