Kasihan juga professor Lee muda itu. Ia terlihat bingung dan sedih saat keluar dari kantor pamannya. Tentu saja aku tahu apa yang terjadi. Dinding yang memisahkan punggungku dari ruang kantor Paul tipis. Dan lagi, aku sering membacakan email Paul untuknya.
“Semuanya baik-baik saja?” tanyaku sambil meletakkan rajutanku. Tentu saja jawabannya adalah tidak. Ia hanya mengangkat bahu. “Aku sudah membuat teh untuk mu. Duduk dululah,” kataku. Ia memandang secangkir teh panas dan sepiring kecil kue kering yang sudah kusiapkan dan duduk. Dari pengalamanku selama bertahun-tahun, memang tidak ada orang yang bisa menolak teh dan kue kering, apalagi bila mereka disajikan di atas tatakan rajutan yang cantik. “Aku tahu kau tidak melakukan semua itu,” kataku. Ia menghirup tehnya dan memandangku.
“Yah, aku memang dengar bahwa jika ada orang yang tahu segalanya di kampus ini, orangnya adalah kau,” katanya. Aku tersenyum.
“Selain diriku, paling sedikit ada dua orang admin yang mau membuat pernyataan bahwa setiap kali kami lewat di depan kantormu, pintunya selalu terbuka,” kataku.
“Oh, terimakasih. Itu membuatku merasa lebih baik,” katanya.
“Dan ... aku mungkin punya teori atau tebakan untuk siapa yang mengirimkan email itu,” kataku.
“Siapa?” tanyanya sambil mengambil kue kering yang ke dua.
“Itu kemungkinan besar adalah orang yang iri karena kau pilih kasih,” kataku.
“Tunggu dulu, aku tidak pernah pilih kasih. Aku selalu berlaku adil terhadap semua muridku. Aku memilih Anna untuk ikut kompetisi itu karena dia memang murid terbaik di kelasku,” katanya.
“Tetap saja kau tidak harus menyisihkan waktu pribadimu untuk membantunya,” kataku dan ketika ia hendak membuka mulutnya untuk protes, aku memotongnya, “tapiiii... itu urusanmu dengan dia dan sama sekali bukan urusanku.” Ia membuka mulutnya lagi tapi lalu menutupnya kembali tanpa mengatakan apapun. “Kurasa, si pengirim email itu mungkin saja si pirang yang sering kulihat menghabiskan jam kantormu,” kataku.
“Bagaimana kau tahu... tunggu, tidak usah dijawab. Kau kan memang mahatahu!” katanya. Sebentuk senyum mulai terbentuk pada sudut mulutnya.
“Baiklah. Pulanglah sana. Dan tidak usah kuatir tentang urusan ini lagi. Aku akan memastikan pamanmu tahu pendapatku dan biasanya ia percaya padaku,” kataku. “Tapi kau memang harus berhati-hati, Lee muda. Kau mungkin tidak bisa membayangkan ini, tapi aku pernah muda juga. Jadi aku kira-kira tahu apa yang mengisi benakmu itu.” Ia tidak menjawab apa-apa. Ia hanya mengambil sekeping lagi kue kering dan pergi.
One of my favorite authors / writers
Comment on chapter opening page