Keesokannya, Lisa sudah kembali ke dirinya yang semula, seakan-akan kejadian kemarin tidak pernah terjadi. Ia masih bisa mengobrol dan bersikap lembut kepada Nina dan Nina sendiri pun sepertinya enggan membicarakan hal itu lebih jauh karena takut Lisa melakukan hal-hal di luar logika.
Lisa kemudian berangkat sekolah dengan langkah ringan. Ia sungguh tidak sabar melihat tanggapan dari thread-nya. Apakah semakin viral? Mungkin sebentar lagi dia akan diundang ke acara-acara gosip. Oh, dia sudah menyiapkan diri untuk membongkar kebusukan lelaki jahat itu. Setelah ini pasti ada lebih banyak orang yang mengasihaninya dan kemungkinan selebriti-selebriti yang haus validasi itu akan memberikannya sumbangan. Lisa tentu akan menerimanya dengan senang hati. Yang namanya rezeki tidak boleh ditolak, kan?
“Lisa, lo nggak bisa begini terus. Gue jujur takut.”
Sebelah alis Lisa terangkat karena Rika sekonyong-konyong menyeretnya masuk kelas. “Kenapa, sih? Gue baru sampai, nih.”
“Ini soal thread lo. Kayaknya Se-Indonesia Raya sudah tahu. Twit lo sudah masuk TV, akun-akun berita, bahkan ada di akun gosip Instagram, akun viral Twitter sama Tiktok juga!”
“Ya, terus. Masalahnya apa? Bagus, dong.”
“Nggak bagus! Nih, lihat.” Rika meminjamkan ponselnya. Di layar terlihat aplikasi Twitter telah terbuka.
Lisa membaca topik yang pagi itu trending. Ia tersenyum lebar ketika menemukan hashtag #boikotRichardVroom menjadi ternding nomor tiga mengalahkan trending politik dan KPOP yang sedang panas akhir-akhir ini. Tanpa pikir panjang ia mengeklik hashtag tersebut.
Itu laki yang minggat meninggalkan istri dan ananya dalam kemiskinan, nggak mau dicari dan digebukin sama netizen? #boikotRichardVroom
#boikotRichardVroom Enek banget gue lihat Richard di TV. Pengen gue lempar TV pakai remote
Boikot aja laki kayak begitu. Kayak nggak ada juri lain aja #boikotRichardVroom
Deportasi aja. Suruh balik ke Belanda. Kenapa harus kasihan sama penjajah? #boikotRichadVroom
Lisa tersenyum puas lalu mengembalikan ponsel milik Rika setelah mendengar bel masuk berbunyi. “Kalau gue terkenal, gue nggak akan lupa sama lo, kok.”
“What the hell.” Rika memasang muka kaget plus geli. “Gue kasih saran, lo harus kuat mental, sih.”
“Iya. Gue tahu.”
Lisa memang berkata kalau dia telah menyiapkan mental. Akan tetapi, pada kenyataannya, ketika dirinya dihadapakan dengan hal yang sesungguhnya, dia tetap cemas. Dia sungguh tidak menduga ada hashtag tandingan #boikotRichardVroom.
#ElisaAnnekePenipu
Dengan tangan gemetar Lisa mengeklik hashtag tersebut.
Isinya sungguh di luar dugaan.
#ElisaAnnekePenipu Masih kecil aja sudah bikin gaduh. Dasar penipu
Ibunya si bocil ini ke mana sih? Dia masih 1 SMA, kan? Gila, mau prank se-Indonesia nih? #ElisaAnnekePenipu
Pantas aja, ibunya janda. Anaknya nggak pernah dapat kasih sayang bapak, ya? #ElisaAnnekePenipu
Dek, lo bisa dilaporin polisi atas tuduhan pencemaran nama baik, tahu! Apalagi yang lo tuduh artis internasional #ElisaAnnekePenipu
Dia sudah tidak kuat membacanya. Kenapa jadi seperti ini?! Ia benar-benar tidak menduga kalau rencananya malah berbalik menyerang dirinya.
Pada salah satu twit, foto ibunya yang tengah berada di kafe sengaja disebar dengan caption: Ini ibunya si Elisa Anneke itu, kan? #ElisaAnnekePenipu
Di bawah twit tersebut terdapat komentar.
Gue tahu nih sekolahnya si Elisa ini. Silakan yang mampir buat jitak ndas-nya si bocil tolol #ElisaAnnekePenipu
Di bawah twit itu, foto sekolahnya dilampirkan.
Lisa melotot lebar. Twit lain bahkan ada yang sengaja menyebar alamat rumah dan nomor ponsel ibunya!
Tidak. Tidak. Ini tidak mungkin.
Keadaan ibunya sedang dalam bahaya.
Seperti orang linglung, Lisa beranjak, tapi karena pusing yang tiba-tiba mendera, ia pun kehilangan keseimbangan. Dirinya tersungkur dengan kepala yang hampir menabrak ujung meja. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berlutut lalu menumpukan kedua tangannya ke meja. Dia segera keluar dari akun Twitter-nya serta mematikan komputer secara paksa. Sambil berpegangan dinding, ia berdiri dan keluar dari ruang lab komputer.
Perutnya mual, mulutnya asam, dan ia merasa apa yang dimakannya tadi telah mengumpul di ujung kerongkongan.
Karena letak lab komputer berada di lantai dua, dari tempatnya berdiri Lisa bisa menyaksikan gerombolan kakak kelas sedang mengobrol heboh di depan ruang OSIS yang letaknya tepat di bawah lab komputer. Dahinya mengerut dalam saat mendengar kata wartawan disebut-sebut mereka.
Apakah ... apakah wartawan sudah datang ke sekolah?
Kalau mereka datang ke sekolah, tidak menutup kemungkinan wartawan-wartawan itu akan menyambangi rumahnya, kan?
Lisa menjeluak. Dengan sisa kekuatan yang ia miliki, ia bersusah-payah menuju kelas. “Boleh pinjam handphone lo sebentar?” tanyanya pada Rika dengan terburu-buru.
Rika yang tadi sibuk menggulir beranda Twitternya mengangkat kepala. Wajahnya tampak khawatir luar biasa. “Lisa ....”
“Ya, gue tahu. Makanya gue boleh pinjam handphone lo sebentar buat cari tahu kabar ibu gue.”
Tanpa berpikir dua kali Rika menyerahkan ponselnya itu.
“Lisa!” Si ketua kelas memanggilnya. Napasnya agak tersengal karena dia harus berlari dari kantor kepala sekolah. “Gawat, lo tahu nggak di luar banyak wartawan?”
Lisa tak mengindahkan perkataan si ketua kelas barusan. Ia masih sibuk menunggu ibunya menjawab teleponnya. Karena putus asa, dia mengambil tempat pensilnya. Di sana, ia menyimpan kontak-kontak penting yang bisa ia hubungi untuk kejadian tak terduga seperti sekarang.
Lisa berkali-kali mengutuk diri. Kakinya bergerak gelisah. Dia gamang. Haruskah ia menelepon Tirta? Namun, hanya sosok Tirta yang sekarang ada di kepalanya. Dia tidak tahu harus meminta tolong pada siapa lagi.
Helaan napas berat Lisa keluarkan. Tangannya bergetar hebat ketika ia menempelkan ponsel Rika ke telinga. Baginya, waktu saat ini berjalan begitu lambat karena Tirta tak kunjung mengangkat. Namun, dia tidak boleh menyerah. Ia pun bernapas lega karena pada percobaan ketiga suara Tirta terdengar dari seberang.
“Ya, halo. Siapa ini?”
Rasanya Lisa ingin menangis dengan keras. “Kak,” ucapnya dengan suara bergetar.
“Lisa? Ini Lisa, kan?”
Lisa mengangguk sembari menahan tangis. “Iya.”
“Kamu di mana sekarang? Masih di sekolah?”
“Iya.”
Lisa merasakan sekujur tubuhnya dingin karena Tirta secara tiba-tiba berhenti bicara. Apakah Tirta memutuskan sambungan teleponnya? Apakah Tirta marah padanya?
“Kakak ... Lisa takut.” Tangis Lisa pecah saat itu juga.
Terdengar bunyi berisik dari seberang sambungan yang disusul denhan suara Tirta. “Lisa, kamu harus tenang. Jangan sedih, oke? Kakak lagi minta izin buat ke sekolah kamu.”
Lisa menggeleng keras, meski ia tahu Tirta tidak mungkin melihatnya. Ia masih tersengguk-sengguk. “Ta—tapi Kakak jadi harus bolos.”
“Nggak apa-apa. Lagian, Kakak sudah dikasih perintah sama papi buat jagain kamu.” Tirta menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Kakak bakal ke situ buat jemput kamu pulang, oke? Jadi, jangan ke mana-mana.”
“Iya.” Lisa mengelap air mata dan ingusnya menggunakan ujung dasi. “Lisa tunggu di sini.”
-oOo-
Hari itu merupakan hari yang panjang dan melelahkan lahir batin bagi Lisa. Tirta memutuskan membawa Lisa pulang ke apartemennya. Di dalam sana, sesuai dugaan, Bagas dan Nina telah menunggu.
Lisa lekas menghambur ke pelukan ibunya. Ia tersedu-sedu layaknya anak kecil yang ketakutan mainannya dicuri. “Mama .... Mama nggak apa-apa, kan?” tanyanya disela tangis.
Nina menggeleng. “Kamu sendiri nggak apa-apa, Sayang?” tanyanya balik seraya mengusap air mata di wajah sang anak.
Lisa menggeleng dan memeluk makin erat. “Lisa takut. Mama—mama jangan marahin Lisa, tolong.”
“Nggak. Mama nggak akan marahin Lisa. Mama tahu dari papi kalau Lisa pasti punya alasan melakukan ini, kan?”
Lisa mengangguk ragu. Ibunya kemudian membawanya duduk. Di sofa depan mereka Bagas menunggu sampai tangisan Lisa reda. Pria itu sungguh khawatir, tapi sebisa mungkin ia menelan kekhawatiran itu agar semua orang yang di sini tak berubah panik.
“Lisa,” panggil Lisa setelah mendnegar tangis Lisa hanya tersisa hanya sesenggukan saja. “Lisa dan Mama untuk sementara tinggal di sini sampai semua masalah kelar, ya.”
Dia tahu itu bukan permintaan, melaninkan sebuah perintah. Namun, karena suara papi terlalu lembut, Lisa jadi ragu apakah terselip kemarahannya juga di sana. “Lisa harus apa?”
Bagas menggeleng. “Biar kami yang bantu kamu. Lisa cukup tenangin diri aja di sini.”
Seketika Lisa terdiam dengan kepala menunduk dalam. “Pasti karena orang itu ya?” ujarnya lirih.
“Siapa?” tanya Bagas tak mengerti. Nina yang ada di sebelah Lisa pun juga melemparkan raut yang sama.
“Orang itu. Orang jahat itu.” Lisa mengangkat kepala. Wajahnya mengerut menahan geram. “Richard Vroom itu pasti berusaha tutup kasus ini dengan bikin hashtag Elisa Anneke penipu, kan? Dia juga pasti bayar buzzer-buzzer buat bocorin semua data Lisa dan Mama, kan?!”
Nina cukup terkejut mendengar tuduhan Lisa itu. “Nggak Lisa. Bukan kayak begitu.”
Lisa bangkit berdiri. Tangannya terkepal. “Mama nggak perlu bela lagi orang itu. Apa yang harus dibela dari dia, sih?”
“Nggak, Lisa.” Air mata Nina akhirnya tumpah. “Papa kamu nggak sejahat itu.”
“Bagaimana bisa Lisa nggak menganggap dia jahat? Mama lupa kalau keluarga orang itu yang bikin Mama celaka? Orang itu juga pergi meninggalkan kita, Ma!” seru Lisa marah. Dadanya naik turun karena menahan emosi.
“Kemarin bahkan nggak mau dengar penjelasan Papa, kan, Lisa?”
“Nggak ada yang perlu dijelaskan lagi, Ma. Orang yang salah akan tetap salah.”
“Lisa, Papa kamu baru bisa balik sekarang bukan cuma diundang buat jadi juri. Di baru kembali ke sini karena dia memang baru bisa menyelesaikan masalah harta warisan dan—” Bagas tak sempat menyelesaikan penjelasannya karena Lisa keburu beteriak.
“Stop! Lisa mohon Papi jangan ikut campur masalah keluarga aku lagi.” Dengan kasar ia meraih tasnya lalu berlari keluar. Bagas dan Nina terlambat mencegah. Beruntung, Tirta yang baru keluar dari dapur melihat kejadian itu dan langsung mengejar.
Lisa sebenarnya tidak mengenal daerah apartemen yang ditinggali papi dan Tirta dengan baik. Ia hanya tahu jalan-jalan besar saja. Namun, sekarang tidak ingin bersama dua orang dewasa itu. Setelah berhasil keluar areal apartemen, Lisa memilih menepi di sudut samping minimarket yang sepi. Walau gedung apartemen papi masih bisa terlihat, ia yakin mereka tidak akan menemukannya di sini.
Kakinya lelah. Hati dan pikirannya juga sama. Lisa tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Dia sudah hancur. Wajah dan datanya sudah terpampang di mana-mana. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di sekolah nanti. Akankah dia dikeluarkan karena sudah mencoreng nama sekolah? Apakah setelah lulus nanti dia bisa mendapat pekerjaan? Bagaimana kalau namanya sudah masuk daftar hitam sebagai penipu? Bagaimana tanggapan teman-teman sekelasnya? Orang-orang yang kenal dirinya? Apakah mereka masih mau berinteraksi dengannya?
Lalu, bagaimana dengan ibunya? Ibunya pasti juga akan ikut menanggung malu. Ia takut ibuya akan jadi bahan gosip tetangga-tetangga. Mulut ibu-ibu kalau sudah bergosip bisa sangat kejam.
Lisa berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di atas lutut. Bukan. Ini bukan yang ia mau. Kenapa semuanya menjadi berantakan? Apa yang harus ia lakukan?!
Sebuah tangan terjulur lalu mengelus lembut kepalanya. Lisa terlonjak kecil, tapi dia tenang kembali karena suara si pemilik suara sudah ia kenal betul.
Tirta berjongkok di hadapannya. “Lisa, kamu boleh benci Kakak karena kesannya kayak Kakak terlalu ikut campur, tapi Kakak sudah dengar alasan papa kamu baru balik sekarang.”
Lisa bergeming. Setengah hatinya ia ingin mendengarkan, tapi setengah yang lain menginginkan Tirta untuk berhenti.
“Sembilan tahun itu merupakan waktu yang berat buat papamu. Di sana dia hampir di penjara karena mantan istri kakek kamu. Terus, dia sengaja pindah kewarganegaraan supaya dia bisa membereskan masalah itu dengan segera. Kamu tahu syarat pindah kewarganegaraan, Lisa? Papa kamu harus tinggal lima tahun atau lebih di sana dulu baru bisa pindah.” Tirta sengaja menjeda ucapannya untuk mengetahui reaksi Lisa. Ia tersenyum tipis karena Lisa mendengarkan. “Setelah urusan warisan selesai, Papa kamu akhirnya putus hubungan dengan keluarga nenek kamu. Ini yang sulit karena keluarga nenek kamu yang serakah, papa kamu sampai nggak mengizinkan dia buat ke makan ibunya sendiri. Akhirnya, setelah papa kamu menyerahkan semua warisannya, dia baru bisa ziarah lagi.”
“Mereka jahat.”
“Iya. Sekarang kamu sudah mengerti kenapa Papa kamu begitu, kan?”
“Belum.” Lisa menggeleng. “Kenapa selama sembilan tahun ini Papa nggak pernah kasih kabar? Nggak pernah mau jujur atau sedikit pun kasih bantuan untuk Lisa dan Mama?”
Tirta menghela napas panjang. “Sebagian besar kesalahan memang ada di kebohongan itu, tapi selain itu, Papa kamu dapat juga dapat ancaman dari keluarganya. Mereka bilang akan mencelakakan kamu dan Tante Nina kalau dia berani menghubungi kalian lagi.”
Lisa terhenyak. Diancam? Papanya diancam?
Selama ini kebenciannya sia-sia? Dia bingung sekarang.
“Alasan terbesar Papa kamu kembali ke sini itu buat minta maaf ke kamu dan Tante Nina. Dia mau memperbaiki kesalahannya,” lanjut Tirta.
Lisa tiba-tiba tertawa; tawa campuran antara marah dan geli. Kenapa jalan hidupnya mirip sinetron begini?
“Lisa jadi penasaran apa yang orang jahat itu perbuat buat memperbaiki kesalahannya.”
Tak ada kata dari mulut mereka setelahnya. Sampai semenit berlalu, akhirnya Tirta memecah keheningan. “Sudah sore, nih. Kamu nggak capek?”
“Capek. Capek banget. Lisa pengin tidur.”
Tirta beranjak. Ia mengulurkan tangannya untuk Lisa. “Yuk, masuk ke dalam. Papi bilang dia bakal pikirin bagaimana caranya keluar dari masalah ini besok. Sekarang kamu istirahat aja.”
Lisa memandang uluran tangan Tirta dengan ragu. Perlahan tangannya terangkat untuk menyambut uluran itu.
Paginya, Lisa baru bangun jam sembilan. Ini pertama kalinya di luar hari libur dia bangun siang. Kepalanya sakit bukan main karena ia menangis semalaman. Apartemen papi memiliki tiga kamar dan untungnya semalam ia tidur sendiri di kamar tamu, ibunya menempati kamar papi, sementara papi tidur bersama Tirta, jadi dia tidak perlu memperihatkan sisi lemahnya pada siapapun.
“Mau sarapan?” tawar ibunya dari dapur.
Lisa menggeleng lalu melangkah menuju sofa di ruang tengah. Televisi layar datar yang berada di ruangan itu kini tengah menampilkan iklan pencarian bakat bersama keempat jurinya. Dengkusan dari mulut Lisa meluncur ketika Eri muncul. Secepat kilat ia mengganti saluran.
Di televisi sekarang tersaji sepasang presenter yang tengah membawakan sebuah acara. Lisa tidak tahu acara tersebut karena ia tidak pernah menonton televisi lagi semenjak televisi di rumahnya dijual. Jika dilihat-lihat, gaya dua presenter itu cukup santai dan kemungkinan acara yang mereka bawakan adalah acara hiburan atau gosip.
“Nah, kamu sudah dengar lihat belum video klarifikasi dari seorang penyanyi terkenal yang lagi viral dari semalam?” si presenter wanita bertanya.
Lisa seketika menegang. Video klarifikasi apa? Penyanyi siapa? Apakah berhubungan dengan dirinya? Ia berdoa dalam hati semoga semua dugaanya salah.
“Wah, video yang ada di Instagram-nya Richard Vroom, ya?”
Suara si presenter laki-laki seperti bunyi guntur di telinga Lisa. Dengan tergopoh-gopoh ia menghampiri ibunya.
“Ma,” panggil Lisa dengan suara bergetar.
Ibunya yang tengah memotong sayuran segera berbalik.
Lisa tahu ada yang berbeda dari ibunya. Sebab, senyum teduh yang ibunya tunjukkan sekarang jauh tidak sama seperti senyumnya yang biasa.
“Richard menepati janjinya, Sayang.”
Dahi Lisa mengerut dalam. Ia mendengkus tidak suka dan berniat mencela lelaki itu, tapi ibunya sudah lebih dulu menahannya.
“Coba kamu lihat ini dulu.” Nina menyerahkan ponselnya kepada Lisa.
“Apa yang harus Lisa lihat?”
“Buka Instagram dan buka profil Richard Vroom.”
Melihat keyakinan ibunya, Lisa akhirnya menuruti perintah ibunya dengan berat hati.
Ketika ia mengetikkan nama orang jahat itu, Lisa sedikit terkejut karena namanya terdapat di posisi paling atas kolom pencarian. Ini akun Instagram ibunya yang sering digunakan untuk mencari resep masakan, apakah ibunya sering mengunjungi profil orang itu?
Lisa cukup senang saat tahu ibunya tidak mengikuti akun orang itu. Ia lalu menggulirkan layar ke bawah, mencari postingan video paling baru.
Video diklik dan seketika itu juga Lisa bisa melihat dengan jelas wajah laki-laki yang paling dibencinya.
“Halo, saya Richard Vroom. Melalui video ini saya ingin mengklarifikasi berita viral yang menyangkut diri saya serta saya juga ingin meminta maaf kepada—”
Lisa mematikan video tersebut. Ia bahkan belum selesai menontonnya. “Mama,” panggilnya sembari terisak. “Lisa ... Lisa boleh ketemu sama dia?”