Read More >>"> Lullaby Untuk Lisa (#Track 13 - Stormbringer) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lullaby Untuk Lisa
MENU
About Us  

Bel istirahat pertama sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, tapi fokus Zidan masih tak teralih dari ponselnya yang tergeletak di meja. Tangannya yang berkeringat ia remas-remas untuk menghilangkan gugup.

“Zidan, lo mau ke kantin bareng?”

Ajakan dari teman sekelasnya hanya dijawab gelengan dan senyum tipis. Atensinya kini kembali pada ponselnya yang sesekali begetar akibat notifikasi.

Zidan mengembuskan napas berkali-kali. Tekadnya sudah bulat. Kalau tidak sekarang, maka ia tak akan selamanya diremehkan. Ia pun menyambar ponselnya, lalu mencari kontak web developer freelance yang diberikan Tirta beberapa waktu lalu.

Selama beberapa detik ia menunggu sebelum panggilannya diangkat.

“Halo selamat siang.” Zidan memperkenalkan diri dan berusaha keras untuk tak terbata. “Iya, Kak. Sa—” Dia terbatuk kecil sebelum melanjutkan, “Saya dapat nomor Kakak dari Kak Tirta. Saya tertarik buat bikin website ecommerce untuk bisnis clothing line saya. Bisa kita set-up meeting untuk malam ini?”

Si penerima telepon menjawab kalau dia tak bisa melakukannya malam ini. Zidan mengecek kembali jadwal yang sudah disusun di otaknya. Siang ini dia ada les bimbel. Besok pun jadwalnya agak padat; siang bimbel dan malam les bahasa Inggris. Ia memang berjanji pada ayahnya untuk mengikuti berbagai kursus supaya nilai akademiknya naik. Selain itu, sore harinya ia berencana menjenguk Aunty Nina. Ia tidak peduli andaikata anak perempuan Aunty Nina menolaknya sekalipun.

“Ba—bagaimana kalau lusa malam?” Zidan sedikit merutuki diri lantaran sempat tergagap.

Zidan tersenyum semringah karena si penerima telepon setuju untuk bertemu besok malam.

“Baik, terima kasih, Kak.” Zidan menutup panggilannya dengan puas. Ia berencana untuk membuatkan Damsels and Honey website resmi yang berisi katalog pakaian beserta blog yang akan memuat berita terkini mengenai clothing line-nya. Di website itu juga nantinya para pengunjung bisa membeli langsung dengan berbagai jenis pembayaran. Zidan mendapatkan wawasan bisnis ini dari teman-teman agensi endorse yang sudah lebih dulu terjun dalam dunia bisnis. Mereka bilang, dengan adanya website resmi, maka kepercayaan konsumen akan meningkat.

Bila harga yang ditawarkan oleh tamannya Tirta ini masuk ke dalam bujetnya, ia berjanji akan mentraktir Tirta sebagai ucapan terima kasih.

Zidan pun melihat ponselnya lagi. Masih ada satu masalah lagi yang harus ia hadapi. Setelah berbicara dengan Aunty Nina kemarin, sepanjang malam dia telah berusaha keras mengurai ketegangan yang terjadi antara dirinya, ayah, dan istri baru ayahnya sampai ia mencapai satu kesimpulan; Selama ini dia hanya terpusat pada satu sisi. Hanya pada kebencian. Ia luput pada sisi lain dan fakta-fakta bahwa perkara yang terjadi di dalam rumah tangga orang tuanya berawal dari ketidakcocokan, bukan orang ketiga. Tidak ada yang benar atau salah. Semuanya memiliki andil, bahkan mungkin dirinya sendiri sempat ikut memperkeruh keadaan.

Zidan kembali mengela napas. Di luar semua itu, sebenarnya masih ada satu perkara yang masih mengganjal. Ia ragu, jika dirinya berubah dengan cepat, mungkin akan muncul masalah. Jadi, ia akan melakukannya pelan-pelan.

Kata orang, menerima dan memaafkan butuh proses.

Zidan kemudian mengetikkan beberapa baris kalimat di ruang percakapan pribadi dengan istri baru ayahnya.

Tan, up to three days ahead kemungkinan aku nggak datang ke toko. Lusa Tante ada waktu? I’ll discuss somethin about Damsels and Honey. Thanks. Also, jaga kesehatan dan adik bayi.

Pesan pun terkirim. Zidan seketik meletakkan kepalanya di meja. Sial, rasanya malu sekali! Apakah pesannya berlebihan? Bagaimana kalau tanggapan istri baru ayahnya berkebalikan dengan ekspektasinya?

Satu notifikasi balasan dari istri baru ayahnya diterima. Zidan segera bangkit dan membaca isinya.

Okay, Zidan. Tante tunggu lusa di rumah, ya. Kita diskusi sambil dinner. Tante bakal masak makanan kesukaan kamu. Thanks for reminder, Dan :)

Zidan lekas menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu mengembuskan napas berkali-kali.

-oOo-

Lisa yang telah berhasil membantu sang ibu untuk menandaskan makan siangnya pun mendesah lega. Tadi siang ibunya berkata cuma ingin makan oatmeal dengan susu rendah lemak dan gula sehingga jatah makan siangnya baru bisa dihabiskan sekarang. Dengan cekatan ia memberikan gelas berisi air mineral kepada ibunya.

“Mama, mau makan buah, nggak?” tanya Lisa. Tangannya terjulur untuk mengambil keranjang buah yang ia letakkan tadi di atas kabinet besi sebelah ranjang ibunya. “Sebelum berangkat sekolah, Kak Tirta sempat kasih ini ke Lisa. Mama mau yang mana?” tawarnya sembari menunjukkan isi keranjang. Ada apel malang, pisang cavendish, dan jeruk pontianak madu dan kesemuanya adalah buah-buahan kesukaan ibunya.

Ibunya menggeleng pelan. “Nanti aja. Mama masih kenyang. Kalau makan lagi sekarang, takutnya makan malamnya nggak Mama makan.”

“Ya, siapa suruh, jatah makan siang baru dimakan jam lima sore? Kalau perawat tahu bisa marah-marah mereka,” Lisa menggerutu, yang dibalas dengan tawa sang ibu.

“Kalau kamu sudah makan? Mama nggak lihat kamu makan dari pagi.”

Lisa berpikir sebentar. Ia lapar, tapi tak berselera makan dari kemarin. “Tadi siang sudah makan pas Mama tidur, kok.”

Maaf, Mama. Dia bohong. Dalam hati Lisa merasa berdosa.

Lisa kemudian membereskan piring dan gelas bekas ibunya. Ia juga melipat kursi besi yang tadi digunakannya, lalu menggelar kembali tikar plastik tepat di sebelah ranjang ibunya yang tadi malam ia gunakan untuk tidur. “Lisa mau rebahan dulu, ya, Ma. Kalau Lisa ketiduran dan Mama butuh sesuatu, panggil aja.”

Detik demi detik berlalu, Lisa yang bosan bermain ponsel pun nyaris jatuh ke alam mimpi. Namun, sebelum ia benar-benar pulas, tiba-tiba ibunya memanggil.

“Lisa, kamu masih marah sama Mas Arka?”

Dahi Lisa berkerut. Dengan malas ia bangkit dari rebah dan bersila. “Kenapa Mama tanya begitu?”

“Tirta bilang kemarin kamu sempat marah-marah sama dia.”

Lisa mengembuskan napas panjang sebelum membalas, “Iya, Lisa sempat marah sama dia dan bilang nggak usah lagi curhat ke Mama.”

“Kenapa begitu?” Suara ibunya terdengar sedih.

“Ya, karena dokter bilang tensi dan gula darah Mama tinggi karena banyak pikiran. Lisa tebak kalau semua itu berasal dari curhatan keluarga toxic-nya. Lisa benar, kan?”

Ibunya menggeleng pelan. “Nggak begitu, Lisa. Mas Arka nggak salah apa-apa, lho. Curhatannya nggak bawa pengaruh buruk buat kesehatan Mama. Kesehatan Mama drop, ya karena kelalaian Mama sendiri.”

“Mama kenapa jadi bela Si Zidan itu, sih?” Lisa merajuk tak terima.

“Mama bukannya bela dia, tapi itu kenyataan. Kalau Mas Arka jenguk, jangan diusir, ya.”

Belum sempat, Lisa menyanggah ucapan ibunya, pintu kamar rawat inap terbuka. Lisa tidak tahu siapa yang datang karena gorden yang memisahkan ranjang ibunya dan pasien lain sengaja Lisa tutup rapat. Mungkin yang baru datang itu adalah keluarga pasien lain yang ingin menjenguk. Kebetulan jam segini sudah masuk jam besuk pasien.

Ada bisik-bisik dari luar dan Lisa mengenal betul salah satu si pemilik suara. Dengan cepat gadis itu menyingkap gorden, lalu memanggil dengan suara sekecil mungkin agar tak mengganggu pasien lain, “Mbak Yana.”

“Eh, Lisa?” Yana terperanjat. Ia lantas berbicara pada tiga orang lain di belakangnya. “Tuh, kan. Gue bilang juga yang ini tempat tidurnya Mbak Nina,” katanya sebelum mengalihkan atensinya kembali pada Lisa. “Kami mau jenguk mama kamu, nih.”

Lisa tersenyum dan mengangguk. Buru-buru ia melipat tikar plastik tempatnya merebahkan diri. “Yuk, masuk,” ajaknya pada teman-teman kerja ibunya. Ia kemudian memilih untuk keluar kamar setelah meminta izin dari sang ibu.

Selama beberapa saat, Lisa berjalan tak tentu arah. Tadinya ia ingin ke kantin untuk jajan, tapi terpaksa harus mengurungkan niat karena tak membawa uang dan ponsel. Mau kembali ke ruang inap ibunya, ia juga enggan. Omong-omong, ruang rawat inap ibunya berada di lantai empat dan dia malas harus nak-turun. Akhirnya, ia memutar langkah menuju lobi rumah sakit.

Setibanya di lobi, mendadak perutnya terasa perih. Ini adalah peringatan dia harus makan. Ia tidak mau saat ibunya sembuh, dirinya malah yang ambruk. Lisa meringis. Sambil berpegangan, ia mencoba berdiri, tapi sakit di perutnya makin menjadi. Rasanya seperti ditusuk-tusuk.

Tanpa disangka, sebuah tangan sekonyong-konyong terjulur, memegang siku tangannya, dan membantunya untuk berdiri.

“Terima kasih.” Lisa mendongak guna melihat siapa yang telah menolongnya. Si penolong ternyata masih muda. Mukanya tidak begitu jelas terlihat karena sebagian sisi wajahnya tertutup tudung hoodie dan topi baseball yang dipakainya. Namun, begitu ia tahu siapa orang baik itu, Lisa tanpa sadar menyalak, “Lepasin gue!”

Si penolong menurut. Bodohnya, Lisa tidak menyadari kalau dia tadi berdiri menumpukkan berat badannya ke arah si penolong, jadinya ia malah jatuh tersungkur lantaran kehilangan keseimbangan.

So—sorry, sorry.” Zidan—si penolong tadi—meminta maaf dengan terbata-bata. Dengan berhati-hati ia mendudukan Lisa ke kursi. “Lo—lo, ng—nggak apa-apa?”

Lisa mendengkus jengkel. Ia ingin marah, tapi perutnya sakit sekali.

Raut Zidan berubah panik karena bukannya menjawab, Lisa malah membungkuk seperti udang sembari memegangi perut. “Lo—lo sakit? Se—sebentar, gu—gue panggil dok—dokter.”

Lisa menggeleng ribut. Sebelah tangannya memegangi ujung hoodie yang dipakai Zidan sambil terisak-isak. “Tolong, belikan antasida di apotek, please.

Zidan segera melesat guna membelikan obat yang tadi diminta Lisa. Keranjang buah untuk Aunty Nina sengaja tidak ia bawa. Beberapa menit berlalu ia kembali dengan satu kantong kain dengan logo minimarket yang letaknya tepat berada di samping kawasan rumah sakit.

So—Sorry, la—lama.” Zidan menempatkan dirinya di sebelah Lisa. Dengan tangan gemetar dan berkeringat ia menyerahkan selembar antasida dan botol berisi air mineral yang tutupnya sudah ia buka.

“Terima kasih.” Lisa mengembalikan botol itu kepada Zidan dengan kikuk. Malu sekali! Kenapa dia harus menangis-nangis segala di depan cowok itu, sih?

“Ta—tadi gue beli be—berapa makanan. A—ada lontong i—isi daging, sa—sayuran, ri—risol juga.” Zidan mengeluarkan seluruh belanjaannya dari tas kain dan meletakkannya di pangkuan Lisa. “Di—dimakan. Ta—tadi apo—apoteker yang jaga bi—bilang, setelah mi—minum obat, lo ha—harus makan.”

Dahi Lisa berkerut mendengar cara Zidan berbicara. Malunya tadi pun tergantikan dengan rasa penasaran. “Gue nggak tahu lo itu ... gagap?” cetusnya tanpa ada tendensi menghina. “Maaf, kalau misal lo nggak suka sama ucapan gue barusan,” ralatnya cepat.

Zidan menghela napas panjang, menahannya beberapa saat, lalu terdiam. Lisa menunggu dengan sabar.

So—sorry juga. Mungkin lo kaget sama cara bicara gue yang ka—kayak begini.” Zidan tidak tahu kenapa dia jadi bercerita tentang kekurangannya kepada cewek itu, tapi ... ya, sudah, lah.

“Tapi lo nggak gagap waktu lo lagi marah.” Lisa mencoba mengingat. Sudah dua kali ia mendengar cowok di sebelahnya ini marah, tapi cowok ini terlihat biasa saja saat itu.

“Ga—gagap gue kumat cuma ke—ketika gue lagi stres atau over-excited.”

Lisa mengangguk pelan.

“Lo—lo nggak me—merasa lucu atau ka—kasihan?” tanya Zidan ragu. Jujur, hal ini adalah salah satu ketakutan erbesar Zidan dalam berteman dan bersosialisasi.

“Kenapa harus merasa lucu atau kasihan, sih? Semua manusia punya kekurangan, kok,” tandasnya sembari mengambil lontong isi sayur. “Ini boleh gue makan?”

“Si—silakan dimakan. I—itu semua punya lo.”

Selama beberapa saat, mereka berdua diselimuti keheningan lantaran tenggelam dalam isi kepala masing-masing. Sesekali mereka mencuri pandang, lalu kembali membisu, pura-pura sibuk; Lisa dengan makanannya sedangkan Zidan dengan media sosialnya—yang sejujurnya tidak terlalu menarik.

Fi—fingerstyle—”

“Lo mau—”

Dua suara saling tumpang tindih karena dilontarkan di waktu bersamaan. Setelahnya mereka kembali terdiam. Bingung untuk memulai percakapan.

“Kita kayak orang bego nggak, sih?” Lisa mendengkus, meledek kecanggungan yang membuatnya agak risih.

Zidan mengangguk kecil. Tangannya yang berkeringat ia usap di atas celana jeans yang dipakainya.

“Lo duluan. Mau bilang apa tadi?” todong Lisa pada Zidan.

Zidan yang bingung karena disuruh tiba-tiba pun membalas, “La—ladies first.”

Lisa berdecak. “Ya sudah, gue duluan. Lo ke sini dan bawa keranjang buah segala, tujuannya mau jenguk ibu gue, kan?”

“I—iya. Lo ka—kasih izin nggak?”

“Kasih, lah. Maaf soal kemarin. Gue terlanjur emosi sebenarnya. Seharusnya gue nggak boleh menyalahkan orang. Ibu gue drop kemungkinan ya karena gue.”

“Ke—kenapa begitu?” potong Zidan cepat. Namun, begitu ia menyadari telah menyela ucapan Lisa, dirinya langsung diam.

Lisa tertawa kecil, terdengar terpaksa dan menyedihkan. “Ibu gue sudah banyak berkorban dan banting tulang buat gue, tapi gue belum bisa kasih apa-apa buat dia. Lo yang anak orang kaya pasti nggak bakal mengerti ini,” keluhnya sembari memerhatikan langit-langit lobi rumah sakit.

“Si—siapa bilang? Se—sedikit atau banyak, setiap anak pasti bakal punya pi—pikiran kayak lo, kok.”

Lisa kini memindahkan seluruh atensinya pada cowok di sebelahnya. “Lo masih stres? Maaf soal yang tadi.”

Zidan mengerenyit, kemudian menggeleng. “Gu—gue nggak stress.”

“Lo masih gagap.”

“Gu—gue butuh waktu buat calm down.”

Helaan napas panjang terlontar dari mulut Lisa. “Oke.” Matanya membulat saat tak sengaja melihat jam digital besar yang terpasang di sebelah papan penunjuk arah. “Lo katanya mau jenguk ibu gue, kan? Yuk, sekarang aja. Mumpung masih jam besuk.”

“Lo—lo sudah baikan?” Zidan memastikan. Ia tentu tidak ingin kejadian di mana anaknya Aunty Nina yang menangis kesakitan terulang lagi.

“Sudah. Ayo, pergi sekarang.”

Zidan akhirnya menurut. Ia mengikuti Lisa dengan berjalan agak ke belakang. Lisa yang tidak suka pun memelankan langkah agar mereka berdua sejajar. Tinggi mereka berdua cukup kontras dengan kepala Lisa yang cuma mencapai pundak Zidan saja.

“Oh, ya. Waktu kita ngomong bareng, tadi lo mau bilang apa?” tanya Lisa memecah keheningan. Pasalnya, lift saat itu sepi sekali, terdengar hanya bunyi semprotan pengharum ruangan karena hanya ada mereka berdua di dalam.

“Gu—gue lihat video cover Jet Lag punya lo.”

Sebelah alis Lisa terangkat. “Oh, ya?” Tanpa sadar dirinya menautkan dua tangan dan memainkan ujung-ujung jemarinya.

Zidan tersenyum tipis. Tipis sekali sampai nyaris tak terlihat. Rupanya kebiasaan Aunty Nina yang gemar memainkan ujung-ujung jarinya juga dimiliki anaknya ini. Apakah Lisa sedang antusias menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya?

“Pe—permainan lo lumayan,” ungkap Zidan. Terus terang, dia tidak mengerti mengapa dia bisa dengan mudah mengobrol panjang lebar dengan cewek di sampingnya ini. Ah, biarlah. Diizinkan menjenguk Aunty Nina saja dia sudah bersyukur. “Gue bisa dapat vibe-nya. Tinggal dipoles dan banyak latihan aja,” sambungnya jujur.

Lisa mencebik, tidak setuju dengan saran yang Zidan utarakan barusan. “Itu mungkin terakhir kalinya gue main gitar.”

Belum sempat Zidan menanggapi perkataan cewek di sampingnya, Lift yang membawa mereka ke lantai empat berhenti.

Lisa keluar, lalu memimpin dengan berjalan lebih dulu. “Di sini,” katanya sembari mendorong kenop pintu ruang inap ibunya, lalu berjalan sampai ke ujung ruangan. Di kamar ini, ada enam ranjang yang terbagi menjadi dua baris dan kebetulan posisi ranjang ibunya berada di paling ujung dekat pintu balkon. Baru saja ia menyentuh gorden penyekat yang menutupi area ranjang ibunya, perkataan dari papi sontak membuatnya berhenti.

“Eri sudah kembali, Nina. Dia sudah ada di Indonesia.”

Lisa merasa bumi yang dipijaknya berguncang. Ia terhuyung ke belakang. Dia kembali? Ayahnya yang sangat dibencinya kembali?! Komedi konyol macam apa ini?

“Lo nggak apa-apa?” tanya Zidan khawatir setelah menangkap tubuh limbung Lisa.

Tangisan pilu ibunya terdengar. “Aku ... aku ingin semua kebohongan ini berakhir Mas Bagas. Aku ingin jujur sama Eri dan minta maaf.”

Kebohongan? Kebohongan apa? Lisa merasa jalur napas menyempit mendengar pengakuan ibunya.

“Tapi ... tapi ... aku masih trauma karena kecelakaan itu, Mas. Aku cuma punya Lisa, aku nggak mau sesuatu terjadi sesuatu pada Lisa.”

Cukup. Dia sudah tidak tahan. Lisa menyentak gorden penyekat area ranjang ibunya hingga terbuka lebar. Tirta, papi, dan ibunya yang berada di sana terperanjat.

“Kecelakaan apa? Siapa yang datang ke sini? Apa yang nggak Lisa tahu? Apa yang kalian tutupi?!” Lisa menjerit tertahan. Untungnya, Zidan dengan sigap menenangkan agar Lisa tak mengamuk dan menganggu ketenangan pasien lain.

“Lisa.” Tirta bangkit dari duduk, lalu berjalan mendekati Lisa. “Dengarkan Kakak. Kamu tenang, ya.”

“Nggak!” Lisa membentak. “Bahkan Kak Tirta yang orang asing tahu. Tolong kasih tahu Lisa, apa yang kalian tutupi di sini?”

Papi memerintahkan Tirta lewat matanya untuk membawa Lisa keluar kamar, sementara lelaki itu memenangkan ibunya yang tengah tersedu-sedu. Lisa sebenarnya tidak tega melihat itu, tapi ia juga ingin tahu kebenarannya.

“Lisa, ayo ikut kakak keluar. Kakak bakal cerita semua ke kamu.” Dengan lembut Tirta meraih lengan Lisa, tapi dengan cepat ditepis oleh si pemilik tangan.

“Jangan bikin Lisa membenci kalian semua.” Lisa tak peduli dengan apa yang terjadi di belakang. Ia dengan cepat berlari keluar diikuti Zidan dan Tirta.

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
After Feeling
4240      1529     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
KILLOVE
3333      1095     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Sebelas Desember
3209      1011     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Play Me Your Love Song
3057      1246     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
I'm not the main character afterall!
908      464     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
691      383     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...