Read More >>"> Lullaby Untuk Lisa (#Track 12 - Jujur) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lullaby Untuk Lisa
MENU
About Us  

Zidan berdiri gelisah di depan etalase yang memisahkan area keryawan dengan pelanggan. Pagi ini ia sudah melanggar sumpah yang ia buat kepada ayahnya sebelum pindah sekolah bahwa ia tidak akan pernah membolos lagi. Namun, ia melanggarnya. Peduli amat. Ia bisa menghadapi ayahnya seperti yang sudah-sudah. Yang jadi fokusnya sekarang adalah membagi apa yang di pikirannya sebelum kepalanya meletus seperti balon. Senyum ikut terbit di wajah saat pramusaji favoritnya menganggukan kepala sebagai balasan sapaannya.

“Seperti biasa ya, Mas Arka?” tanya si pramusaji yang hari ini diberi tugas sebagai kasir.

Ia mengangguk, lantas bergegas menuju sudut favorit para pengunjung di kafe ini. Jam masih menunjuk pukul setengah sebelas itu sebabnya ia bisa memilih meja dengan leluasa. Tak lama, pramusaji favoritnya datang bersama pesanannya.

“Mas Arka tumben datang jam segini?” sapa si pramusaji seraya meletakkan pesanan Zidan di meja. Wanita itu terkesiap mendapati lebam di pipi kiri Zidan. “Kamu kenapa, Nak?” tanyanya khawatir. Ia pun memilih untuk menemani Zidan sebentar, mumpung kafe belum masuk ke jam-jam ramai.

Zidan meringis dan tanpa sadar memegangi pipi kirinya. “Aku—aku bertengkar sama ayah.”

Sebelah alis si pramusaji terangkat. “Lagi?”

Zidan mengangguk pelan. “Aku—eum, dua—dua hari lalu aku nggak sengaja pecat pegawai barunya ayah. Dan—dan aku juga bertengkar sama istri barunya.”

Pramusaji itu tersenyum menenangkan. “Tapi sekarang sudah diobati belum lukanya? Kalau belum biar Aunty aja yang obati, ya.”

Zidan menggeleng lemah. “Ini—ini sudah nggak apa-apa, Aunty.” Ada jeda sebentar sebelum ia membeberkan apa yang mengganjal di kepalanya dari kemarin. “Istri—istri baru ayah hamil,” adunya sembari mengerutkan kening. “Aku—aku sudah siap kalau—kalau ditendang ayah dari keluarga.”

Pramusaji itu menggenggam tangan Zidan yang berada di atas meja, seolah-olah menyalurkan kehangatan, yang menyusup sampai relung hatinya.

Zidan tersedak menahan tangisnya sendiri. “Aku—aku bingung. Di satu sisi, aku masih menghormati ayah, tapi—tapi di sisi lain, aku—aku cemburu.”

“Kenapa begitu?” Si pramusaji menanggapi dengan sabar.

“Ayah—ayah nggak pernah hangat sama bunda. Dulu—dulu ...” Zidan menghela napas panjang. Punggungnya bersandar dengan lunglai. “Ayah—ayah, berubah.”

“Berubah?” Senyum lembut kembali pramusaji itu tujukkan pada Zidan. “Dalam artian bagus atau buruk perubahan ayahmu itu?

Zidan tak bisa menjawab. Dia sendiri bingung bagaimana harus menjelaskan. Dulu, sebelum ibunya wafat, keadaan rumah layaknya anomali. Seisi rumah dipenuhi kemarahan, teriakan, dan bantingan barang tiap malam, tapi paginya mereka berdua akan kembali seperti tidak ada masalah. Empat belas tahun hidup seperti itu membuat Zidan terbiasa dan menganggap itulah cara mereka berdua mengekspresikan rasa sayang.

Pertengkaran  keduanya tak jauh-jauh dari tuntutan ayahnya agar ibunya berhenti pulang larut dan bekerja terlalu keras. Ayahnya beralasan bahwa dirinya masih cukup untuk membiayai semua kebutuhan keluarga. Akan tetapi, ibunya membalas dengan nada tinggi jika apa yang ia lakukan semata-mata untuk membantu keuangan dan juga melanjutkan mimpinya. Beberapa tahun ke belakang memang kondisi ekonomi keluarga mereka sedang tidak baik-baik saja. Manajemen artis yang dikelola ayahnya terancam pailit. Namun, dua tahun ke belakang, diakui atau tidak, sejak menjalin hubungan dengan istri barunya, ayahnya menjadi lebih giat berusaha untuk mengembalikan stabilitas bisnisnya.

“Aku—aku boleh benci ayah dan istri barunya nggak, Aunty?” kata Zidan tiba-tiba.

“Mas Arka.” Si pramusaji menepuk-nepuk pelan punggung tangan Zidan. “Aunty tahu kamu sedang kesal sama ayahmu dan istri barunya. Itu wajar, karena kalau Aunty jadi kamu pasti juga bingung karena adanya orang baru. Tapi, sebelumnya, maaf kalau mungkin ucapan Aunty nanti bakal terdengar menggurui atau terkesan ikut campur sama keluarga kamu, ya.”

“Nggak apa-apa.” Zidan memaksakan senyumnya sembari menerka-nerka hal apa yang akan dikatakan si pramusaji.

“Kapan kamu mau jujur sama diri sendiri?”

Zidan termangu. “Jujur sama diri sendiri?”

“Terkadang, manusia hanya ingin mendengar dan meyakini apa yang hanya ingin mereka percayai. Selain dari itu, semuanya bakal jadi angin lalu.”

Perkataan si pramusaji seperti menyentil hati kecilnya. Tanpa sadar Zidan menarik tangannya dari genggaman si pramusaji, lalu meremas-remas jemarinya yang berkeringat di bawah meja.

“Coba kamu tanya diri kamu sendiri, apakah selama ini ayah dan istri barunya selalu berbuat jahat sama kamu?” lanjut si pramusaji.

Zidan terdiam. Tidak. Sejauh yang bisa ia ingat, tidak sekali dua kali ayahnya memukul dirinya ketika marah. Ia sudah biasa mendapatkan itu, apalagi sewaktu ibunya masih hidup. Ayahnya berkata jika tidak mendidik anak lelaki dengan keras dan tegas, maka anak lelakinya akan jadi lembek. Akan tetapi, semenjak berhubungan dan menikah dengan istri baru, terhitung baru dua kali ia mendapatkan tamparan dari sang ayah; Pertama, saat ia kabur dulu. Kedua, baru dua hari lalu.

Dan ... dan yang selalu membelanya adalah ... wanita itu.

“Mbak Nina. Bisa minta tolong sebentar?” Salah seorang pramusaji lain memanggil dari balik etalase. Perempuan ini lah yang menggantikan tugas di kasir sebentar.

“Ya, sebentar lagi saya ke sana, Yana,” sahut si pramusaji favorit Zidan. Wanita itu kemudian mengembalikan atensinya pada Zidan. “Cuma satu pesan saya. Jujur sama diri kamu sendiri. Jangan lari dari masalah, ya. Kamu nggak akan tahu keadaan nantinya akan bagaimana. Bisa jadi, ketika kamu baru sadar semuanya sudah terlambat. Jangan hidup dalam penyesalan karena rasanya nggak enak,” pesannya sebelum bangkit dari kursi. Wanita itu sedikit terhuyung. Untungnya Zidan cepat menangkapnya.

“Aunty nggak apa-apa?” tanya Zidan cemas.

“Aunty nggak apa-apa, Mas Arka,” jawab si pramusaji seraya melepaskan tangan Zidan yang menahan bahunya. “Aunty ke belakang dulu, ya.”

“Oh, tu—tunggu Aunty,” potong Zidan cepat. “Aku—aku lupa sampaikan ini ke Aunty.” Wajahnya mendadak berubah semringah. “Kemarin lusa aku sudah kirim hadiah baju-baju untuk anak Aunty. Nanti—eum, nanti dicoba ya dan jangan lupa kasih review.”

Si pramusaji terkesiap. Sebelum ia sempat membuka suara, Zidan sudah keburu menyela.

“Seperti—seperti yang sudah aku janjikan sama Aunty. Semua—semua yang aku kirim itu mo—model terbaru. Pasti—pasti anak Aunty suka.” Zidan lumayan percaya diri anak dari pramusaji favoritnya ini akan menyukai baju-baju dari clothing line milik mendiang ibunya.

Si pramusaji favoritnya tak bisa berkata-kata. “Ya ampun, Mas Arka. Terima kasih banyak.”

Zidan tersenyum lebar dan tanpa sadar memajukan kursi yang didudukinya agar lebih dekat ke arah pramusaji itu. “Aku—aku yakin pasti ukurannya pas. Soalnya—soalnya itu khusus dijahit langsung, eum, berdasar ukuran yang—yang pernah Aunty kasih.”

Seusai berbagi kaimat terima kasih dan beberapa doa untuk Zidan, pramusaji itu masuk ke dapur, sementara Zidan kembali mendudukan dirinya. Entah mengapa kepala dan hatinya terasa ringan. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia kemudian dengan cepat mengambil ponselnya dari dalam tas, sebab sedari tadi ponselnya terus bergetar tanda notifikasi masuk, entah dari aplikasi percakapan atau media sosial.

Tiba-tiba, pintu yang berada di belakang etalase terbuka. Pramusaji yang tadi bertugas di kasir beserta satu patiseri laki-laki berumur empat puluhan dan dua patiseri perempuan yang masih sangat muda keluar dari dapur dengan wajah panik.

“Kita harus panggil ambulans!” seru si pramusaji perempuan sambil menyambar ponselnya dari dalam laci meja kasir.

Zidan yang bingung menoleh kanan-kiri. Pengunjung kafe itu saat ini hanyalah dirinya sendiri. Dengan ragu ia bertanya pada salah satu patiseri perempuan yang tak kalah kalut. “A—ada apa ya, Kak?”

“Yan, kelamaan kalau panggil ambulans.” Bukannya menjawab pertanyaan Zidan, si patiseri laki-laki malah berteriak ke arah si pramusaji seraya membereskan tas—yang Zidan kenali—milik Nina, pramusaji favoritnya.

“Terus pakai apa?” Si pramusaji berteriak frustrasi.

“Kita pakai mobil opersional.” Ia lalu menunjuk dua patiseri perempuan yang kebingungan. “Kalian telepon Mas Tirta dan Bapak. Gue mau siapkan mobil dulu. Cepat!”

Karena tak mendapatkan jabawan, Zidan bertanya lagi pada siapapun yang mendengarnya. “Ke—kenapa, ya?”

Si patiseri laki-laki yang mengenali Zidan sebagai pelanggan setia kafe ini pun mengalihkan perhatiannya padanya, “Kamu dekat sama Mbak Nina, kan? Tolong telepon anaknya, ya,” tukasnya sambil berlalu keluar kafe.

Mendengar nama pramusaji favoritnya disebut-sebut, Zidan mendadak gusar. “A—ada apa memangnya?”

“Mbak Nina pingsan!” Si pramusaji segera menghampiri Zidan. “Kamu bisa bantu saya gendong Mbak Nina?”

Zidan terkesiap. Adrenalinnya berpacu. Dengan perasaan kalut ia melesat menuju dapur. Di sana, pramusaji favoritnya tergolek lemah di atas kursi. Ia menepuk-nepuk pelan pipi wanita itu. Tak ada respons. Dalam sekali gerakan Zidan mengangkat tubuh pramusaji favoritnya dan berlari keluar di mana mobil operasional kafe ini telah tersedia.

“Kalian berdua jaga kafe.” Si patiseri lelaki memberikan perintah untuk dua pateseri perempuan itu. “Mbak Yana dan Mas ini ke rumah sakit sama gue. Kalian berdua sudah jago pegang mesin kasir, kan? Dessert dan kue ulang tahun pesanan sudah jadi semua. Jadi, kalian cuma tinggal bertugas di kasir dan tunggu anak-anak shift siang datang. Tadi gue sudah hubungi mereka, mengerti?”

“Siap, Mas Pian!” Kedua patiseri perempuan itu menjawab kompak.

“Ki—kita mau ke rumah sakit mana, ya?” tanya Zidan yang masih menggendong Nina.

“Dekat rumah sakitnya. Cuma tiga blok dari sini.” Si patiseri lelaki dengan sigap membantu Zidan memasukkan tubuh Nina ke kursi penumpang baris kedua bersama Yana, kemudian dirinya bergegas menuju kursi pengemudi dan disusul Zidan yang duduk di sebelah.

Semua terjadi begitu cepat sampai Zidan kewalahan memproses apa yang tengah terjadi. Kini, pramusaji favoritnya sedang ditangani dokter IGD. Sedangkan, dua orang karyawan kafe yang baru berkenalan dengan Zidan, Mas Pian dan Yana, berada di bagian administrasi. Zidan sendiri sekarang menunggu dengan waswas di kursi tunggu.

Zidan melihat jam di ponselnya. Kakinya tak berhenti bergerak karena cemas. Hampir jam dua belas siang dan dia belum mengabari anaknya Aunty Nina. Ia merutuki diri karena meskipun ia sering curhat dengan Aunty Nina, tapi tak banyak hal yang ia tahu tentang anak perempuannya. Ia bahkan tak tahu siapa nama anaknya itu, apalagi nomor ponselnya.

Helaan napas gusar keluar dari mulut Zidan. Ia pun mengusak wajahnya kasar. Di saat yang sama, derap langkah kaki cepat membangunkan Zidan dari kekalutannya.

“Lho, Zidan, kamu kenapa di sini?”

Zidan tersentak setelah mengetahui siapa yang baru datang. “Kak Tirta?”

Banyak hal yang ingin Tirta tanyakan, tapi itu bisa menyusul. Yang terpenting sekarang adalah kondisi Tante Nina. “Bagaimana keadaan Tante Nina?”

“Aunty—aunty Nina ma—masih—masih diperiksa di dalam.” Zidan kembali memarahi dirinya sendiri karena cara bicaranya yang terbata-bata keluar. Dia harus tenang, agar gagapnya bisa hilang.

Usai mendengar ucapan Zidan, Tirta tidak jadi mengutarakan hal yang ada di kepalanya tadi. Ia langsung masuk ke dalam IGD. Tidak sampai sepuluh menit seorang laki-laki dewasa yang Zidan ketahui bernama Bagas alias ayah Tirta sekaligus pemilik wedding organizer pernikahan kedua ayahnya menghampiri. Napas lelaki dewasa itu terengah lantaran berlari dari tempat parkir sampai ke sini.

“Zidan, kok, kamu di sini?” Reaksi yang ditunjukkan Bagas sama seperti Tirta tadi.

Tanpa banyak berkata Zidan menunjuk pintu IGD. Bagas yang mengerti bagaimana Zidan berkomunikasi pun mengangguk, lantas menyusul anaknya masuk ke dalam.

Zidan mendudukan dirinya usai Bagas menghilang di balik pintu IGD. Karena tak ada yang bisa ia lakukan, akhirnya ia mengecek ponselnya. Tertera satu notifikasi penyebutan baru pada video milik orang lain dari aplikasi Tiktok yang berada paling atas. Ia kemudian membuka video tersebut.

Dalam video itu, seorang anak perempuan berseragam SMA berambut sebahu sedang memainkan lagu Jet Lag. Wajahnya tidak begitu jelas karena menunduk. Kualitas videonya pun buruk dan diambil dari sudut yang jelek. Namun, Zidan akui fingerstyle yang dimiliki anak perempuan itu bergitu lihai. Tempo dan ritme lagu yang dibawakannya juga rapi. Terdengar setingkat lebih tinggi dari level amatir. Zidan lantas membaca komentar yang menyebut akun Tiktok miliknya pada caption video.

Gue harap temen gue suatu saat nanti bisa duet sama @Ziadrk

Di akhir video, akhirnya cewek itu mengangkat wajah. Zidan terbelalak.

Tiba-tiba saja sebuah kotak kardus mendarat dengan keras ke pangukuannya. Zidan terlonjak

“Gue nggak tahu kalau lo orang yang selama ini curhat ke ibu gue.”

Zidan mengangkat wajah setelah mendengar ucapan barusan. Part-timer yang ia pecat semena-mena dua hari lalu berdiri di hadapannya. Wajahnya tampak marah.

“Gue balikin baju-baju itu. Nggak sudi gue pakai baju dari orang sombong kayak lo.” Lisa berjalan menuju pintu IGD, tapi sebelum membuka pintu kaca itu, ia berbalik. “Lebih baik lo stop deh curhat sama ibu gue. Tadi gue dapat telepon dari dokter kalau dia banyak pikiran jadi tensi dan gula darahnya naik. Gue yakin itu semua dari cerita keluarga lo yang toxic. Lo tahu kan, hal-hal toxic begitu menular? Lo kalau mau curhat mending pergi ke psikolog sana. Banyak duit, kok, bego,” tukasnya untuk terakhir kali sebelum masuk ke dalam IGD.

Zidan mematung di tempat sehabis diberondongi perkataan yang begitu menusuk dari Lisa. Apa benar kesehatan Aunty Nina menurun karena dirinya?

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Luka atau bahagia?
3201      1022     4     
Romance
trauma itu sangatlah melekat di diriku, ku pikir setelah rumah pertama itu hancur dia akan menjadi rumah keduaku untuk kembali merangkai serpihan kaca yang sejak kecil sudah bertaburan,nyatanya semua hanyalah haluan mimpi yang di mana aku akan terbangun,dan mendapati tidak ada kesembuhan sama sekali. dia bukan kehancuran pertama ku,tapi dia adalah kelanjutan dari kisah kehancuran dan trauma yang...
River Flows in You
698      401     6     
Romance
Kean telah kehilangan orang tuanya di usia 10 tahun. Kemudian, keluarga Adrian-lah yang merawatnya dengan sepenuh hati. Hanya saja, kebersamaannya bersama Adrian selama lima belas tahun itu turut menumbuhkan perasaan lain dalam hati. Di satu sisi, dia menginginkan Adrian. Di sisi lain, dia juga tidak ingin menjadi manusia tidak tahu terima kasih atas seluruh kebaikan yang telah diterimanya dar...
KataKu Dalam Hati Season 1
3859      1124     0     
Romance
Terkadang dalam hidup memang tidak dapat di prediksi, bahkan perasaan yang begitu nyata. Bagaikan permainan yang hanya dilakukan untuk kesenangan sesaat dan berakhir dengan tidak bisa melupakan semua itu pada satu pihak. Namun entah mengapa dalam hal permainan ini aku merasa benar-benar kalah telak dengan keadaan, bahkan aku menyimpannya secara diam-diam dan berakhir dengan aku sendirian, berjuan...
After Feeling
4240      1529     1     
Romance
Kanaya stres berat. Kehidupannya kacau gara-gara utang mantan ayah tirinya dan pinjaman online. Suatu malam, dia memutuskan untuk bunuh diri. Uang yang baru saja ia pinjam malah lenyap karena sebuah aplikasi penipuan. Saat dia sibuk berkutat dengan pikirannya, seorang pemuda misterius, Vincent Agnito tiba-tiba muncul, terlebih dia menggenggam sebilah pisau di tangannya lalu berkata ingin membunuh...
KILLOVE
3333      1095     0     
Action
Karena hutang yang menumpuk dari mendiang ayahnya dan demi kehidupan ibu dan adik perempuannya, ia rela menjadi mainan dari seorang mafia gila. 2 tahun yang telah ia lewati bagai neraka baginya, satu-satunya harapan ia untuk terus hidup adalah keluarganya. Berpikir bahwa ibu dan adiknya selamat dan menjalani hidup dengan baik dan bahagia, hanya menemukan bahwa selama ini semua penderitaannya l...
Sebelas Desember
3209      1011     3     
Inspirational
Launa, gadis remaja yang selalu berada di bawah bayang-bayang saudari kembarnya, Laura, harus berjuang agar saudari kembarnya itu tidak mengikuti jejak teman-temannya setelah kecelakaan tragis di tanggal sebelas desember; pergi satu persatu.
Play Me Your Love Song
3058      1246     10     
Romance
Viola Zefanya tidak pernah menyangka dirinya bisa menjadi guru piano pribadi bagi Jason, keponakan kesayangan Joshua Yamaguchi Sanjaya, Owner sekaligus CEO dari Chandelier Hotel and Group yang kaya raya bak sultan itu. Awalnya, Viola melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan tuntutan "profesionalitas" semata. Tapi lambat laun, semakin Viola mengenal Jason dan masalah dalam keluarganya, sesu...
I'm not the main character afterall!
908      464     0     
Fantasy
Setelah terlahir kembali ke kota Feurst, Anna sama sekali tidak memiliki ingatan kehidupannya yang lama. Dia selama ini hanya didampingi Yinni, asisten dewa. Setelah Yinni berkata Anna bukanlah tokoh utama dalam cerita novel "Fanatizing you", Anna mencoba bersenang-senang dengan hidupnya tanpa memikirkan masalah apa-apa. Masalah muncul ketika kedua tokoh utama sering sekali terlibat dengan diri...
Negeri Tanpa Ayah
8608      1925     0     
Inspirational
Negeri Tanpa Ayah merupakan novel inspirasi karya Hadis Mevlana. Konflik novel ini dimulai dari sebuah keluarga di Sengkang dengan sosok ayah yang memiliki watak keras dan kerap melakukan kekerasan secara fisik dan verbal terutama kepada anak lelakinya bernama Wellang. Sebuah momentum kelulusan sekolah membuat Wellang memutuskan untuk meninggalkan rumah. Dia memilih kuliah di luar kota untuk meng...
Demi Keadilan:Azveera's quest
692      384     5     
Mystery
Kisah Vee dan Rav membawa kita ke dalam dunia yang gelap dan penuh misteri. Di SMA Garuda, mereka berdua menemukan cinta dan kebenaran yang tak terduga. Namun, di balik senyum dan kebahagiaan, bahaya mengintai, dan rahasia-rasasia tersembunyi menanti untuk terungkap. Bersama-sama, mereka harus menghadapi badai yang mengancam dan memasuki labirin yang berbahaya. Akankah Vee menemukan jawaban yang ...