Loading...
Logo TinLit
Read Story - Lullaby Untuk Lisa
MENU
About Us  

Zidan berdiri gelisah di depan etalase yang memisahkan area keryawan dengan pelanggan. Pagi ini ia sudah melanggar sumpah yang ia buat kepada ayahnya sebelum pindah sekolah bahwa ia tidak akan pernah membolos lagi. Namun, ia melanggarnya. Peduli amat. Ia bisa menghadapi ayahnya seperti yang sudah-sudah. Yang jadi fokusnya sekarang adalah membagi apa yang di pikirannya sebelum kepalanya meletus seperti balon. Senyum ikut terbit di wajah saat pramusaji favoritnya menganggukan kepala sebagai balasan sapaannya.

“Seperti biasa ya, Mas Arka?” tanya si pramusaji yang hari ini diberi tugas sebagai kasir.

Ia mengangguk, lantas bergegas menuju sudut favorit para pengunjung di kafe ini. Jam masih menunjuk pukul setengah sebelas itu sebabnya ia bisa memilih meja dengan leluasa. Tak lama, pramusaji favoritnya datang bersama pesanannya.

“Mas Arka tumben datang jam segini?” sapa si pramusaji seraya meletakkan pesanan Zidan di meja. Wanita itu terkesiap mendapati lebam di pipi kiri Zidan. “Kamu kenapa, Nak?” tanyanya khawatir. Ia pun memilih untuk menemani Zidan sebentar, mumpung kafe belum masuk ke jam-jam ramai.

Zidan meringis dan tanpa sadar memegangi pipi kirinya. “Aku—aku bertengkar sama ayah.”

Sebelah alis si pramusaji terangkat. “Lagi?”

Zidan mengangguk pelan. “Aku—eum, dua—dua hari lalu aku nggak sengaja pecat pegawai barunya ayah. Dan—dan aku juga bertengkar sama istri barunya.”

Pramusaji itu tersenyum menenangkan. “Tapi sekarang sudah diobati belum lukanya? Kalau belum biar Aunty aja yang obati, ya.”

Zidan menggeleng lemah. “Ini—ini sudah nggak apa-apa, Aunty.” Ada jeda sebentar sebelum ia membeberkan apa yang mengganjal di kepalanya dari kemarin. “Istri—istri baru ayah hamil,” adunya sembari mengerutkan kening. “Aku—aku sudah siap kalau—kalau ditendang ayah dari keluarga.”

Pramusaji itu menggenggam tangan Zidan yang berada di atas meja, seolah-olah menyalurkan kehangatan, yang menyusup sampai relung hatinya.

Zidan tersedak menahan tangisnya sendiri. “Aku—aku bingung. Di satu sisi, aku masih menghormati ayah, tapi—tapi di sisi lain, aku—aku cemburu.”

“Kenapa begitu?” Si pramusaji menanggapi dengan sabar.

“Ayah—ayah nggak pernah hangat sama bunda. Dulu—dulu ...” Zidan menghela napas panjang. Punggungnya bersandar dengan lunglai. “Ayah—ayah, berubah.”

“Berubah?” Senyum lembut kembali pramusaji itu tujukkan pada Zidan. “Dalam artian bagus atau buruk perubahan ayahmu itu?

Zidan tak bisa menjawab. Dia sendiri bingung bagaimana harus menjelaskan. Dulu, sebelum ibunya wafat, keadaan rumah layaknya anomali. Seisi rumah dipenuhi kemarahan, teriakan, dan bantingan barang tiap malam, tapi paginya mereka berdua akan kembali seperti tidak ada masalah. Empat belas tahun hidup seperti itu membuat Zidan terbiasa dan menganggap itulah cara mereka berdua mengekspresikan rasa sayang.

Pertengkaran  keduanya tak jauh-jauh dari tuntutan ayahnya agar ibunya berhenti pulang larut dan bekerja terlalu keras. Ayahnya beralasan bahwa dirinya masih cukup untuk membiayai semua kebutuhan keluarga. Akan tetapi, ibunya membalas dengan nada tinggi jika apa yang ia lakukan semata-mata untuk membantu keuangan dan juga melanjutkan mimpinya. Beberapa tahun ke belakang memang kondisi ekonomi keluarga mereka sedang tidak baik-baik saja. Manajemen artis yang dikelola ayahnya terancam pailit. Namun, dua tahun ke belakang, diakui atau tidak, sejak menjalin hubungan dengan istri barunya, ayahnya menjadi lebih giat berusaha untuk mengembalikan stabilitas bisnisnya.

“Aku—aku boleh benci ayah dan istri barunya nggak, Aunty?” kata Zidan tiba-tiba.

“Mas Arka.” Si pramusaji menepuk-nepuk pelan punggung tangan Zidan. “Aunty tahu kamu sedang kesal sama ayahmu dan istri barunya. Itu wajar, karena kalau Aunty jadi kamu pasti juga bingung karena adanya orang baru. Tapi, sebelumnya, maaf kalau mungkin ucapan Aunty nanti bakal terdengar menggurui atau terkesan ikut campur sama keluarga kamu, ya.”

“Nggak apa-apa.” Zidan memaksakan senyumnya sembari menerka-nerka hal apa yang akan dikatakan si pramusaji.

“Kapan kamu mau jujur sama diri sendiri?”

Zidan termangu. “Jujur sama diri sendiri?”

“Terkadang, manusia hanya ingin mendengar dan meyakini apa yang hanya ingin mereka percayai. Selain dari itu, semuanya bakal jadi angin lalu.”

Perkataan si pramusaji seperti menyentil hati kecilnya. Tanpa sadar Zidan menarik tangannya dari genggaman si pramusaji, lalu meremas-remas jemarinya yang berkeringat di bawah meja.

“Coba kamu tanya diri kamu sendiri, apakah selama ini ayah dan istri barunya selalu berbuat jahat sama kamu?” lanjut si pramusaji.

Zidan terdiam. Tidak. Sejauh yang bisa ia ingat, tidak sekali dua kali ayahnya memukul dirinya ketika marah. Ia sudah biasa mendapatkan itu, apalagi sewaktu ibunya masih hidup. Ayahnya berkata jika tidak mendidik anak lelaki dengan keras dan tegas, maka anak lelakinya akan jadi lembek. Akan tetapi, semenjak berhubungan dan menikah dengan istri baru, terhitung baru dua kali ia mendapatkan tamparan dari sang ayah; Pertama, saat ia kabur dulu. Kedua, baru dua hari lalu.

Dan ... dan yang selalu membelanya adalah ... wanita itu.

“Mbak Nina. Bisa minta tolong sebentar?” Salah seorang pramusaji lain memanggil dari balik etalase. Perempuan ini lah yang menggantikan tugas di kasir sebentar.

“Ya, sebentar lagi saya ke sana, Yana,” sahut si pramusaji favorit Zidan. Wanita itu kemudian mengembalikan atensinya pada Zidan. “Cuma satu pesan saya. Jujur sama diri kamu sendiri. Jangan lari dari masalah, ya. Kamu nggak akan tahu keadaan nantinya akan bagaimana. Bisa jadi, ketika kamu baru sadar semuanya sudah terlambat. Jangan hidup dalam penyesalan karena rasanya nggak enak,” pesannya sebelum bangkit dari kursi. Wanita itu sedikit terhuyung. Untungnya Zidan cepat menangkapnya.

“Aunty nggak apa-apa?” tanya Zidan cemas.

“Aunty nggak apa-apa, Mas Arka,” jawab si pramusaji seraya melepaskan tangan Zidan yang menahan bahunya. “Aunty ke belakang dulu, ya.”

“Oh, tu—tunggu Aunty,” potong Zidan cepat. “Aku—aku lupa sampaikan ini ke Aunty.” Wajahnya mendadak berubah semringah. “Kemarin lusa aku sudah kirim hadiah baju-baju untuk anak Aunty. Nanti—eum, nanti dicoba ya dan jangan lupa kasih review.”

Si pramusaji terkesiap. Sebelum ia sempat membuka suara, Zidan sudah keburu menyela.

“Seperti—seperti yang sudah aku janjikan sama Aunty. Semua—semua yang aku kirim itu mo—model terbaru. Pasti—pasti anak Aunty suka.” Zidan lumayan percaya diri anak dari pramusaji favoritnya ini akan menyukai baju-baju dari clothing line milik mendiang ibunya.

Si pramusaji favoritnya tak bisa berkata-kata. “Ya ampun, Mas Arka. Terima kasih banyak.”

Zidan tersenyum lebar dan tanpa sadar memajukan kursi yang didudukinya agar lebih dekat ke arah pramusaji itu. “Aku—aku yakin pasti ukurannya pas. Soalnya—soalnya itu khusus dijahit langsung, eum, berdasar ukuran yang—yang pernah Aunty kasih.”

Seusai berbagi kaimat terima kasih dan beberapa doa untuk Zidan, pramusaji itu masuk ke dapur, sementara Zidan kembali mendudukan dirinya. Entah mengapa kepala dan hatinya terasa ringan. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Ia kemudian dengan cepat mengambil ponselnya dari dalam tas, sebab sedari tadi ponselnya terus bergetar tanda notifikasi masuk, entah dari aplikasi percakapan atau media sosial.

Tiba-tiba, pintu yang berada di belakang etalase terbuka. Pramusaji yang tadi bertugas di kasir beserta satu patiseri laki-laki berumur empat puluhan dan dua patiseri perempuan yang masih sangat muda keluar dari dapur dengan wajah panik.

“Kita harus panggil ambulans!” seru si pramusaji perempuan sambil menyambar ponselnya dari dalam laci meja kasir.

Zidan yang bingung menoleh kanan-kiri. Pengunjung kafe itu saat ini hanyalah dirinya sendiri. Dengan ragu ia bertanya pada salah satu patiseri perempuan yang tak kalah kalut. “A—ada apa ya, Kak?”

“Yan, kelamaan kalau panggil ambulans.” Bukannya menjawab pertanyaan Zidan, si patiseri laki-laki malah berteriak ke arah si pramusaji seraya membereskan tas—yang Zidan kenali—milik Nina, pramusaji favoritnya.

“Terus pakai apa?” Si pramusaji berteriak frustrasi.

“Kita pakai mobil opersional.” Ia lalu menunjuk dua patiseri perempuan yang kebingungan. “Kalian telepon Mas Tirta dan Bapak. Gue mau siapkan mobil dulu. Cepat!”

Karena tak mendapatkan jabawan, Zidan bertanya lagi pada siapapun yang mendengarnya. “Ke—kenapa, ya?”

Si patiseri laki-laki yang mengenali Zidan sebagai pelanggan setia kafe ini pun mengalihkan perhatiannya padanya, “Kamu dekat sama Mbak Nina, kan? Tolong telepon anaknya, ya,” tukasnya sambil berlalu keluar kafe.

Mendengar nama pramusaji favoritnya disebut-sebut, Zidan mendadak gusar. “A—ada apa memangnya?”

“Mbak Nina pingsan!” Si pramusaji segera menghampiri Zidan. “Kamu bisa bantu saya gendong Mbak Nina?”

Zidan terkesiap. Adrenalinnya berpacu. Dengan perasaan kalut ia melesat menuju dapur. Di sana, pramusaji favoritnya tergolek lemah di atas kursi. Ia menepuk-nepuk pelan pipi wanita itu. Tak ada respons. Dalam sekali gerakan Zidan mengangkat tubuh pramusaji favoritnya dan berlari keluar di mana mobil operasional kafe ini telah tersedia.

“Kalian berdua jaga kafe.” Si patiseri lelaki memberikan perintah untuk dua pateseri perempuan itu. “Mbak Yana dan Mas ini ke rumah sakit sama gue. Kalian berdua sudah jago pegang mesin kasir, kan? Dessert dan kue ulang tahun pesanan sudah jadi semua. Jadi, kalian cuma tinggal bertugas di kasir dan tunggu anak-anak shift siang datang. Tadi gue sudah hubungi mereka, mengerti?”

“Siap, Mas Pian!” Kedua patiseri perempuan itu menjawab kompak.

“Ki—kita mau ke rumah sakit mana, ya?” tanya Zidan yang masih menggendong Nina.

“Dekat rumah sakitnya. Cuma tiga blok dari sini.” Si patiseri lelaki dengan sigap membantu Zidan memasukkan tubuh Nina ke kursi penumpang baris kedua bersama Yana, kemudian dirinya bergegas menuju kursi pengemudi dan disusul Zidan yang duduk di sebelah.

Semua terjadi begitu cepat sampai Zidan kewalahan memproses apa yang tengah terjadi. Kini, pramusaji favoritnya sedang ditangani dokter IGD. Sedangkan, dua orang karyawan kafe yang baru berkenalan dengan Zidan, Mas Pian dan Yana, berada di bagian administrasi. Zidan sendiri sekarang menunggu dengan waswas di kursi tunggu.

Zidan melihat jam di ponselnya. Kakinya tak berhenti bergerak karena cemas. Hampir jam dua belas siang dan dia belum mengabari anaknya Aunty Nina. Ia merutuki diri karena meskipun ia sering curhat dengan Aunty Nina, tapi tak banyak hal yang ia tahu tentang anak perempuannya. Ia bahkan tak tahu siapa nama anaknya itu, apalagi nomor ponselnya.

Helaan napas gusar keluar dari mulut Zidan. Ia pun mengusak wajahnya kasar. Di saat yang sama, derap langkah kaki cepat membangunkan Zidan dari kekalutannya.

“Lho, Zidan, kamu kenapa di sini?”

Zidan tersentak setelah mengetahui siapa yang baru datang. “Kak Tirta?”

Banyak hal yang ingin Tirta tanyakan, tapi itu bisa menyusul. Yang terpenting sekarang adalah kondisi Tante Nina. “Bagaimana keadaan Tante Nina?”

“Aunty—aunty Nina ma—masih—masih diperiksa di dalam.” Zidan kembali memarahi dirinya sendiri karena cara bicaranya yang terbata-bata keluar. Dia harus tenang, agar gagapnya bisa hilang.

Usai mendengar ucapan Zidan, Tirta tidak jadi mengutarakan hal yang ada di kepalanya tadi. Ia langsung masuk ke dalam IGD. Tidak sampai sepuluh menit seorang laki-laki dewasa yang Zidan ketahui bernama Bagas alias ayah Tirta sekaligus pemilik wedding organizer pernikahan kedua ayahnya menghampiri. Napas lelaki dewasa itu terengah lantaran berlari dari tempat parkir sampai ke sini.

“Zidan, kok, kamu di sini?” Reaksi yang ditunjukkan Bagas sama seperti Tirta tadi.

Tanpa banyak berkata Zidan menunjuk pintu IGD. Bagas yang mengerti bagaimana Zidan berkomunikasi pun mengangguk, lantas menyusul anaknya masuk ke dalam.

Zidan mendudukan dirinya usai Bagas menghilang di balik pintu IGD. Karena tak ada yang bisa ia lakukan, akhirnya ia mengecek ponselnya. Tertera satu notifikasi penyebutan baru pada video milik orang lain dari aplikasi Tiktok yang berada paling atas. Ia kemudian membuka video tersebut.

Dalam video itu, seorang anak perempuan berseragam SMA berambut sebahu sedang memainkan lagu Jet Lag. Wajahnya tidak begitu jelas karena menunduk. Kualitas videonya pun buruk dan diambil dari sudut yang jelek. Namun, Zidan akui fingerstyle yang dimiliki anak perempuan itu bergitu lihai. Tempo dan ritme lagu yang dibawakannya juga rapi. Terdengar setingkat lebih tinggi dari level amatir. Zidan lantas membaca komentar yang menyebut akun Tiktok miliknya pada caption video.

Gue harap temen gue suatu saat nanti bisa duet sama @Ziadrk

Di akhir video, akhirnya cewek itu mengangkat wajah. Zidan terbelalak.

Tiba-tiba saja sebuah kotak kardus mendarat dengan keras ke pangukuannya. Zidan terlonjak

“Gue nggak tahu kalau lo orang yang selama ini curhat ke ibu gue.”

Zidan mengangkat wajah setelah mendengar ucapan barusan. Part-timer yang ia pecat semena-mena dua hari lalu berdiri di hadapannya. Wajahnya tampak marah.

“Gue balikin baju-baju itu. Nggak sudi gue pakai baju dari orang sombong kayak lo.” Lisa berjalan menuju pintu IGD, tapi sebelum membuka pintu kaca itu, ia berbalik. “Lebih baik lo stop deh curhat sama ibu gue. Tadi gue dapat telepon dari dokter kalau dia banyak pikiran jadi tensi dan gula darahnya naik. Gue yakin itu semua dari cerita keluarga lo yang toxic. Lo tahu kan, hal-hal toxic begitu menular? Lo kalau mau curhat mending pergi ke psikolog sana. Banyak duit, kok, bego,” tukasnya untuk terakhir kali sebelum masuk ke dalam IGD.

Zidan mematung di tempat sehabis diberondongi perkataan yang begitu menusuk dari Lisa. Apa benar kesehatan Aunty Nina menurun karena dirinya?

Tags: twm23

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Different World
1006      512     0     
Fantasy
Melody, seorang gadis biasa yang terdampar di dunia yang tak dikenalnya. Berkutat dengan segala peraturan baru yang mengikat membuat kesehariannya penuh dengan tanda tanya. Hal yang paling diinginkannya setelah terdampar adalah kembali ke dunianya. Namun, ditengah usaha untuk kembali ia menguak rahasia antar dunia.
Lenna in Chaos
7239      2130     1     
Romance
Papa yang selingkuh dengan anggota dewan, Mama yang depresi dan memilih tinggal di desa terpencil, seorang kakak perempuan yang kabur entah ke mana, serta kekasih yang hilang di Kalimantan. Selepas kerusuhan demonstrasi May Day di depan Gedung Sate, hidup Lenna tidak akan pernah sama lagi. Sewaktu Lenna celaka di kerusuhan itu, tidak sengaja ia ditolong oleh Aslan, wartawan media sebelah yang...
Sweet Equivalent [18+]
4857      1255     0     
Romance
When a 19 years old girl adopts a 10 years old boy Its was hard in beginning but no matter how Veronica insist that boy must be in her side cause she thought he deserve a chance for a better live Time flies and the boy turn into a man Fact about his truly indentitiy bring another confilct New path of their life change before they realize it Reading Guide This novel does not follow the rule o...
Salon & Me
4336      1330     11     
Humor
Salon adalah rumah kedua bagi gue. Ya bukan berarti gue biasa ngemper depan salon yah. Tapi karena dari kecil jaman ingus naek turun kaya harga saham sampe sekarang ketika tau bedanya ngutang pinjol sama paylater, nyalon tuh udah kaya rutinitas dan mirip rukun iman buat gue. Yang mana kalo gue gak nyalon tiap minggu rasanya mirip kaya gue gak ikut salat jumat eh salat ied. Dalam buku ini, udah...
Bumi yang Dihujani Rindu
8215      2448     3     
Romance
Sinopsis . Kiara, gadis bermata biru pemilik darah Rusia Aceh tengah dilanda bahagia. Sofyan, teman sekampusnya di University of Saskatchewan, kini menjawab rasa rindu yang selama ini diimpikannya untuk menjalin sebuah ikatan cinta. Tak ada lagi yang menghalangi keduanya. Om Thimoty, ayah Kiara, yang semula tak bisa menerima kenyataan pahit bahwa putri semata wayangnya menjelma menjadi seorang ...
Gantung
804      510     0     
Romance
Tiga tahun yang lalu Rania dan Baskara hampir jadian. Well, paling tidak itulah yang Rania pikirkan akan terjadi sebelum Baskara tiba-tiba menjauhinya! Tanpa kata. Tanpa sebab. Baskara mendadak berubah menjadi sosok asing yang dingin dan tidak terjamah. Hanya kenangan-kenangan manis di bawah rintik hujan yang menjadi tali penggantung harapannya--yang digenggamnya erat sampai tangannya terasa saki...
Dandelion
509      331     1     
Inspirational
Masa lalu yang begitu menyakitkan, membuatnya terpuruk. Sampai pada titik balik, di mana Yunda harus berjuang sendirian demi sebuah kesuksesan. Rasa malas dan trauma dari masa lalu ditepis demi sebuah ambisi yang begitu berat. Memang, tidak ada yang bisa mengelak dari masa lalu. Namun, bisa jadi masa lalu itu merupakan cambukan telak untuk diri sendiri. Tidak masalah pernah terpuruk dan tertin...
Are We Friends?
4148      1255     0     
Inspirational
Dinda hidup dengan tenang tanpa gangguan. Dia berjalan mengikuti ke mana pun arus menyeretnya. Tidak! Lebih tepatnya, dia mengikuti ke mana pun Ryo, sahabat karibnya, membawanya. Namun, ketenangan itu terusik ketika Levi, seseorang yang tidak dia kenal sama sekali hadir dan berkata akan membuat Dinda mengingat Levi sampai ke titik paling kecil. Bukan hanya Levi membuat Dinda bingung, cowok it...
Fix You
995      591     2     
Romance
Sejak hari itu, dunia mulai berbalik memunggungi Rena. Kerja kerasnya kandas, kepercayaan dirinya hilang. Yang Rena inginkan hanya menepi dan menjauh, memperbaiki diri jika memang masih bisa ia lakukan. Hingga akhirnya Rena bersua dengan suara itu. Suara asing yang sialnya mampu mengumpulkan keping demi keping harapannya. Namun akankah suara itu benar-benar bisa menyembuhkan Rena? Atau jus...
Antic Girl
144      120     1     
Romance
-Semua yang melekat di dirinya, antic- "Sial!" Gadis itu berlalu begitu saja, tanpa peduli dengan pria di hadapannya yang tampak kesal. "Lo lebih milih benda berkarat ini, daripada kencan dengan gue?" tanya pria itu sekali lagi, membuat langkah kaki perempuan dihadapannya terhenti. "Benda antik, bukan benda berkarat. Satu lagi, benda ini jauh lebih bernilai daripada dirimu!" Wa...