“Hei, wassup, sweetheart. Kenapa manyun begitu, hm?”
Lisa menoleh pada James lalu meringis. “Eh, ada Abang Jago.”
“Lisa ...” James melotot jengkel, tapi Lisa malah cekikian. Soalnya dia tahu James cuma pura-pura.
“Maaf, Pak James.” Lisa bergeser saat James hendak duduk di sebelahnya. Hari Minggu ini di kantor wedding organizer cuma ada dirinya, James, dan satu karyawati yang mengatur sosial media. Papi, Mas Andri, dan salah satu staf marketing tengah mensurvei lokasi yang bakal menjadi tempat pernikahan berikutnya. Seharusnya sih dia di rumah saja karena tidak ada kerjaan, tapi entah kenapa Lisa saat ini malas di rumah karena minggu ini ibunya kebagian jatah masuk weekend.
Lisa kemudian melirik James. Tiba-tiba, terlintas pikiran konyol di otaknya. Kalau James yang dimintai tolong ia yakin James tidak akan mengadu ke ibunya. Secara, ibunya dan James itu tidak dekat. “Pak James,” panggilnya.
“Dalem, Cah Ayu.”
Lisa seketika terbahak-bahak. Ini pasti ajarannya Tirta. Dari kabar ngawur Tirta, katanya James sedang dekat dengan perempuan bangsawan keraton. “Ehem, begini. Pak James ada lowongan kerja sambilan nggak? Kenalan Pak James deh.”
“Kerja sambilan?” Dahi James berkerut-kerut. Mungkin dia sedang mencari arti dari kata-kata itu di otaknya. “Oh, part-time job? Kenapa memangnya? Kamu mau berhenti di sini?”
Lisa menggeleng keras. “Bukan. Aku lagi butuh uang cepat.”
James mengangguk-angguk sambil berpikir. Tak lama, sekonyong-konyong, ia berseru, “Ah, sebentar. Tadi kalau nggak salah ada yang sedang cari admin online shop. Kamu mau? Kalau mau, nanti saya info ke teman saya itu.”
Admin online-shop toko pakaian, ya? Agaknya tidak terlalu buruk. Ia cukup mengerti dengan proses transaksi belanja online. Soal menghitung pun dia tak terlau payah. Ia juga terkadang mengurus media sosial wedding organizer milik papi. Jadi, seharusnya tidak masalah.
“Aku mau, Pak James,” putus Lisa final. “Bayarannya lumayan, kan?”
-oOo-
Hari berikutnya, tepat pukul dua siang, seperti yang dijanjikan oleh James, si pemberi kerja datang ke kantor papi bersama dengan pria bule itu. Lisa terperangah, tidak menyangka si pemberi kerja ternyata adalah mempelai lelaki yang menikah dua minggu lalu, alias ayahnya Zidan. Ia merutuk dalam hati. Salahnya sendiri tidak mencari tahu si pemberi kerja pada James sebelumnya. Ah, rasanya jadi sungkan. Apalagi dia memiliki pertemuan pertama dengan anaknya yang terkesan buruk.
Laki-laki itu memperkenalkan diri. Namanya Herman.
Herman kemudian menjelaskan secara rinci deskpripsi pekerjaan yang akan dilakukan Lisa nanti. Tugas utama Lisa sesungguhnya cuma satu, yaitu membantu admin merekap transaksi per hari. Selain itu, kemungkinan jika pesanan membludak, Lisa akan membantu menyiapkan orderan dan juga melakukan stock opname.
“Kamu kerja dari jam dua siang sampai tutup toko, sekitar jam tujuh malam atau paling lambat jam delapan. Apa kamu keberatan Lisa?” Herman memastikan.
Lisa menggeleng pelan. “Saya tidak keberatan, Pak.”
“Alright, besok bisa langsung kerja. Kamu bisa, kan?”
“Bisa, Pak!”
“Kata James, kamu lagi perlu uang dan mau bayaran setengah dibayar dimuka, betul?” Herman berkata lagi sambil meraih ponselnya dari saku celana jeans.
Lisa terperanjat, lalu mengangguk semangat. Dalam hati dia sudah komat-kamit berdoa semoga Herman menyetujui permintaannya.
“Oke. Saya sudah transfer setengah dari gaji kamu ke James.”
Wah, dasar orang kaya! Lisa tersenyum semringah. Masa bodoh dengan pertengkarannya dengan Zidan. Yang terpenting saat ini adalah uang. Lagi pula, dia cuma berencana kerja sebulan di sana. Akan sangat repot ia mencari alasan kepada ibunya untuk pulang malam jika lebih dari itu.
Keesokan harinya, sepulang sekolah Lisa langsung melesat menuju tempat kerja barunya yang berjarak satu jam perjalanan menggunakan angkutan umum. Sesampainya di tempat tujuan, ia langsung disambut tiga karyawan toko yang masih muda-muda.
“Kamu admin part-time itu ya? Kenalkan, saya Artin. Saya kasir dan akunting di sini.”
“Halo, Mbak Artin.” Lisa membalas jabat tangan dari perempuan berkuncir kuda itu sembari tersenyum. “Saya Elisa.”
“Dipanggil Elis atau Lisa, nih?” sahut karyawan yang perempuan tindik di hidung. “Gue Melda. Admin medsos merangkap admin ecommerce.”
Lisa langsung mengalihkan atensinya pada Melda. “Halo, Mbak Melda. Panggil aja Lisa.”
“Lisa, salam kenal. Saya Tanto.” Satu-satunya laki-laki yang ada di sana akhirnya bersuara. “Saya bagian packing sekaligus kurir.”
Lisa mengangguk. “Salam kenal Mas Tanto.”
Sebagai karyawan terlama yang sudah bekerja semenjak toko ini baru berdiri, Artin menjelaskan hal-hal dasar mengenai toko. Mulai dari arti nama Damsels and Honey yang digunakan sebagai merek toko ini, sistem transaksi, pembagian kerja, sampai ke peraturan-peraturan tak tertulis lain yang sifatnya remeh-temeh. Selain itu, Artin juga mengajak Lisa berkeliling toko sampai mencoba baju-baju sampel yang berada di lantai dua.
Lisa lumayan menyukai pakaian-pakain yang dijual di Damsels and Honey. Kalau kata Artin, konsep yang dipakai di Damsels and Honey adalah quirky style yang menonjolkan gaya eksentrik dan paduan warna cerah ceria.
Puas melihat-lihat baju, Artin mengajak Lisa kembali ke lantai satu. Selama perjalanan, perempuan itu bercerita bahwa clothing line tempat bekerja ini awalnya milik Hani Ananta, mendiang istri Herman. Setelah kepergian istri pertamanya itu, Herman memberikan Damsels and Honeys kepada anak satu-satunya, yaitu Zidan.
“Mas Zidan bakal datang ke toko setelah dia pulang sekolah dan istirahat sebentar. Sekitar jam empat atau jam lima sore sampai tutup toko,” jelas Artin. “Waktu Weekend, Mas Zidan sesekali datang ke sini kalau nggak ada jadwal.”
Lisa terperangah takjub. Sibuk sekali Zidan itu, ya. Jika pagi sekolah, lalu sore sampai malam di toko, kapan belajarnya? Setahunya Zidan itu masih kelas 1 SMA. “Dia pulang pergi dari Serpong ke sini?” tanyanya memastikan. Agaknya, terdengar mustahil. Sebab, dari BSD Serpong ke Tanah Abang jaraknya lumayan.
“Mas Zidan tinggal di apartemen yang nggak jauh dari sini. Itu, yang gedungnya kelihatan dari sini.” Melda menimpali penjelasan Artin di sela kegiatannya membalas pesan di market place.
“Betul. Oh ya, selain Mas Zidan, Bu Ramona juga sering ke sini untuk cek sama bantu-bantu,” tandas Artin sembari memberikan sebundel resi pengiriman kepada Lisa.
Melda tiba-tiba menyela, “Kalau boleh dibilang, secara nggak langsung, Damsels and Honey masih bisa berdiri dan berjalanan bisnisnya dua tahun belakangan, ya, karena Bu Ramona.”
Bu Ramona? Lisa membeo dalam hati. Dia tahu siapa Ramona itu. Ramona adalah istri kedua Herman dan Lisa sempat bertemu dengannya di resepsi pernikahannya tempo hari.
“Bu Ramona itu yang aktif cari desainer, vendor, supplier, sampai datang ke bazar. Seharusnya itu, kan, tugasnya Mas Zidan sebagai owner baru.” Melda menambahkan dengan nada julid. Artin yang mendengar langsung menyikutnya, sementara Lisa meringis takut karena mengetahui ruangan itu terdapat CCTV yang mungkin saja merekam semua kegiatan dan percakapan mereka.
“Kamu mengerti nggak, Mas Zidan itu masih butuh banyak belajar. Lagian, Mas Zidan juga masih sekolah. Nggak mungkin dia urus semua. Sudah sana kerja!” Artin sedikit membentak Melda.
Bukannya marah, Melda yang diperlakukan seperti itu malah mencibir. “Gue tuh bingung, ya. Bu Ramona sebegitu baik dan sayangnya, masih aja dibenci sama Mas Zidan. Bu Ramona juga bukan pelakor kayak yang diberitakan gosip. Iris kuping gue.”
“Melda!” Artin memukul bahu Melda, lalu memerintahkannya untuk segera tutup mulut. Setelah emosinya reda, Artin mengalihkan atensinya pada Lisa. “Nah, untuk kerjaan pertama kamu, kamu bisa input data resi-resi itu ke excel di sini,” katanya sambil menyalakan komputer di sebelah meja kerja Melda. Perempuan itu lalu membuka salah satu lembar kerja di aplikasi Ms. Excel. “Kamu bisa, kan? Tinggal sesuaikan aja di kolom yang sudah saya buat.”
“Bisa,” jawab Lisa agak kurang yakin.
-oOo-
Lisa merenggangkan pingganya sampai berbunyi. Gila. Baru duduk selama sejam di depan komputer saja pegalnya bukan main. Lebih baik dirinya disuruh menjadi pramusaji, deh. Serius.
Tepat di saat yang sama, sebuah motor premium skutik warna hitam berhenti di depan rukan. Karena pembatas antara jalanan dan area dalam rukan hanya dibatasi pintu kaca gelap, Lisa bisa melihat dengan jelas siapa yang baru datang. Itu Zidan. Nampaknya tangannya sudah sembuh karena tak ada lagi arm-sling yang menggantung.
Cowok itu kemudian membuka helmnya, berbicara sebentar kepada Tanto, yang tengah merapikan paket-paket yang hendak diantar ke jasa ekspedisi, sebelum masuk.
“Hai, Mas Zidan. Baru pulang sekolah? Tumben cepat kemarinya.” Artin menyapa dari meja kerjanya yang berada di sudut ruangan.
Zidan tak langsung menyahut. Dengan matanya yang tajam, cowok itu memperhatikan Lisa. Lisa yang ditatap pun jadi salah tingkah. Ugh, jika saja tatapan cowok itu berubah jadi lightsaber, punggungnya pasti sudah terbelah dua.
Melda yang merasa Zidan tak akan beranjak pun membuka suara. “Dia admin part-time itu, Mas Zidan.”
Zidan berdeham sembari diam-diam mengelap keringat yang membanjiri telapak tangannya di celana. Kakinya yang dilanda tremor kecil melangkah mendekati meja Lisa.
“Welcome to Damsels and Honey,” katanya sembari mengangsurkan tangan. Lisa yang mengerti pun meraih tangan Zidan lalu menjabatnya.
“Terima kasih, eum, Kak?” Lisa bingung. Ia harus memanggil Zidan apa, tetapi kemudian ia terkejut lantaran Zidan menarik tangannya tiba-tiba.
Zidan buru-buru berlari menuju lantai dua, sementara Lisa merasa sedikit sakit hati karena kelakuannya tadi. Memangnya dia penuh kuman? Kenapa cowok itu kelihatan jijik? Lisa mendengkus tidak suka. Atau ... jangan-jangan cowok itu masih menyimpan dendam karena pertengkaran mereka tempo hari? Kalau iya, hatinya sempit sekali.
Artin tiba-tiba menyenggol bahunya pelan. “Kamu jangan marah sama Mas Zidan, dia nggak bermaksud jahat.”
“Bagaian mana yang nggak bermaksud jahat, Mbak? Orangnya aja judes begitu.” Melda menimpali tanpa mengalihkan wajahnya dari layar.
“Melda!” Artin tanpa tedeng aling-aling melemparkan bantal kursi miliknya, yang tentu ditangkis dengan mudah oleh Melda. Melda kemudian melempar balik bantal tersebut ke arah Artin. Kali ini, bantal itu ditangkap oleh Lisa karena dirinya yakin sekali keributan ini bakal jadi panjang kalau dia tidak turun tangan.
Artin mendengkus jengkel, tapi tetap mengucapkan terima kasih pada Lisa saat ia menerima kembali bantalnya.
Karena situasi sudah dalam keadaan kondusif, Lisa kembali berkutat pada tugasnya. Masih banyak sekali yang harus dia masukan ke dalam excel. Rasannya ingin menangis.
Sepuluh menit kemudian, sebuah mobil SUV berwarna hitam metalik berhenti tepat di depan toko. Melda dan Artin seketika berdiri ketika seorang wanita dewasa yang modis turun dari mobil itu. Lisa tidak tahu siapa wanita itu karena sebagian wajahnya tertutup kacamata hitam besar.
Lisa yang bingung segera ditarik oleh Melda sehingga ia juga ikut berdiri.
Wanita itu membuka pintu kaca toko sambil melepas kacamatanya. Mulut Lisa membulat. Itu Bu Ramona.
“Halo, Guys,” sapa Ramona ramah. “Lagi sibuk, ya? Gimana keadaan toko hari ini?” Wanita itu kemudian meletakkan tasnya pada sofa yang berada di sudut ruangan. Melda dengan sigap membereskan tumpukan packing order yang hendak diantar ke ekspedisi lain oleh Tanto nanti sore. Ramona menggumamkan terima kasih pada Melda sebelum duduk.
“Sama seperti biasa, Bu,” jawab Melda yang mengoper sebagian tumpukan packing order pada Lisa.
Ramona yang baru menyadari keberadaan Lisa tersenyum lebar. Ia berdiri lalu merangkulnya. “Kamu anak part-timer baru itu, ya? Lisa namanya, kan? Saya masih ingat kamu, lho. Kamu yang jadi salah satu waitress di pernikahan saya, kan? James sudah cerita kalau kamu anaknya cekatan dan pintar, makanya bisa langsung kerja di sini. Bagaimana hari pertama kerja di sini? Nyaman, kan? Melda sama Artin nggak galak sama kamu?”
Lisa tertawa canggung, bingung karena dia tidak tahu harus menjawab pertanyaan Ramona yang mana terlebih dulu. Melihat Lisa yang agak kurang nyaman, Ramona segera melepaskan rangkulannya.
“Ya, sudah kalau kamu nggak mau jawab. Anak muda zaman sekarang memang agak susah didekati, ya. Tapi nggak apa-apa. Nah, kalau kamu butuh apa-apa, kamu bisa bilang sama Melda atau Artin aja. Nggak usah sungkan.”
Lisa mengangguk malu. “Iya, Bu Ramona. Tadi maaf, saya nggak bermaksud kurang sopan. Saya cuma bingung aja. Hehe ....”
“Nggak apa-apa.” Ramona tersenyum sambil menepuk-nepuk pundak Lisa.
“Ada urusan apa Tante ke sini?”
Semua kepala menoleh ke arah tangga. Di atas tiga anak tangga terakhir, Zidan berdiri dengan angkuh. Dua tangannya dimasukkan dalam saku celana. Mukanya menunjukkan ketidaksukaan—yang Lisa yakin ditujukan pada Ramona.
Lisa melirik Melda dan Artin. Dia sedikit bergidik karena suasanya tiba-tiba berubah tegang.
“Tante ke sini hanya mau bantu kamu cek Damsels and Honey, Zidan.”
“Nggak perlu. Better sekarang Tante pulang aja sana.”
Mendengar percakapan dua orang itu, entah kenapa Lisa jadi dejavu. Sepertinya ia pernah mengalami kejadian ini, tapi entah di mana.
Ramona berusaha untuk tetap mempertahankan senyum, lalu menghampiri Zidan. Namun, cowok itu berlaku sangat defensif seolah-olah nyawanya terancam. Ramona yang mulai terbiasa dengan sikap Zidan itu pun mengubah topik. “Tangan kamu sudah sembuh ya, Zidan? Nggak perlu diterapi, kan? Kalau ada apa-apa bilang sama Tante, ya.”
“Tangan gue cuma keseleo. Tante nggak usah lebay.”
Dahi Lisa mengerut dalam. Ah! Dia ingat sekarang. Suara mereka berdua persis sama dengan milik wanita dewasa dan anak laki-kali kurang ajar yang tak sengaja ia dengar ketika masuk IGD tempo hari. Lisa yakin sekali mereka semua adalah orang-orang yang sama.
“Nggak sopan amat. Belagu. Ketabrak lagi baru tahu rasa.” Lisa berdecak jengkel.
Zidan melotot. Walau Lisa mengucapkan kalimat umpatan itu pelan sekali, tapi sayangnya masih bisa terdengar oleh semua telinga yang ada di sana. Artin dan Melda mendadak menahan napas. Di lain sisi, Ramona yang terkesiap cepat-cepat menyembunyikan Lisa di belakang tubuhnya sebelum Zidan berhasil memukulnya.
“Zidan!” Ramona membentak seraya menjauhkan lengan anak tirinya itu dari Lisa.
“Bacot!” Zidan membalas bentakan itu dengan hardikan. “Nggak usah ikut belain dia!” Ia meraih tubuh Lisa, lalu mendorong tubuhnya sampai pintu. Tanpa hati cowok itu mengambil Lisa dari kursi dan membuangnya tepat ke arah muka Lisa. “Besok nggak usah datang ke sini lagi. Lo gue pecat!”
Lisa mematung di tempatnya berdiri. Apa katanya? Dipecat? Belum sempat dia bereaksi, Zidan sudah terlebih dulu pergi.
“Jangan dikejar. Biar aja,” cegah Ramona.
Lisa menggigit bibirnya, merasa bersalah. Kalau dipecat begini, apakah panjar gajinya harus dikembalikan? Ah, bagaimana ini? Sebagian uangnya sudah ia gunakan untuk membayar pensi dan sisanya sudah masuk ke rekening pribadi—tentu saja yang tak diketahaui ibunya. Sayang sekali jika ia harus menarik tabungannya itu.
“Sudah nggak apa-apa. Nanti biar saya yang bicara sama Zidan. Kamu tenang, ya,” tukas Ramona sambil mengelus-elus bahu Lisa.