Mas Andri baru bisa diajak bicara saat sore hari, tentu setelah acara resepsi itu selesai. Kini, dia cuma berdua saja di mobil boks yang membawa sebagian peralatan pesta. Staf yang lain sudah pulang menggunakan kendaraan masing-masing. Sedangkan Tirta pulang bersama papi dan James.
Tadinya, papi menawarkan Lisa untuk satu mobil bersama mereka. Karena tidak enak harus satu mobil dengan bos, terlebih lagi ingin menjaga perasaan staf lain, akhirnya Lisa menolak. Ia tentu tak ingin dianggap anak emas, walaupun pada kenyataannya dirinya dikenal baik oleh papi selaku bos besar.
“Mas Andri ... jangan diem aja, dong. Serem, tahu.” Lisa mengeluh dengan suara mencicit. Sebenarnya dia takut, tapi biar bagaimanapun dia harus memecah keheningan di antara mereka.
“Saya bingung, deh. Kamu tuh, ya. Selalu aja dapat masalah.”
“Ya, maaf.” Lisa menunduk sedih.
Mas Andri menghela napas panjang. “Untung tadi kamu nggak sampai dipukul beneran sama itu anak,” katanya sambil mengganti perseneling.
Lisa menoleh cepat. “Jadi, gimana sama cowok tadi. Mas Andri diapain aja sama dia?”
“Nggak. Saya nggak diapa-apain sama dia. Wah, kalau sampai dia juga main tangan sama saya, ya, saya hajar duluan. Nggak tahu aja dia, kalau saya ini pernah ikut merpati putih!” seru Mas Andri yang sombongnya sudah tak tertolong lagi. Lisa sih manggut-manggut saja karena dia percaya. Soalnya, meski flamboyan begitu, Mas Andri memang benar-benar bisa bela diri. Pernah ada suatu kejadian di mana Mas Andri berhasil menghajar sekelompok preman yang mengganggu salah satu karyawatinya papi.
“Oh ya, Mas Andri tahu nggak dia siapa? Tamu undangan biasa? Gayanya sok jagoan banget.”
“Iya, emang!” seru Mas Andri setuju. “Songong banget tingkahnya. Saya sudah nggak suka pas pertama kali ketemu di geladi bersih minggu lalu,” ucapnya berapi-api, seolah-olah ia menyimpan dendam kesumat pada cowok itu.
Sebelah alis Lisa terangkat naik. “Dia ikut geladi bersih? Dia salah satu keluarga? Dari pihak mempelai lelaki atau perempuan?” tanyanya beruntun. Untungnya Mas Andri sudah terbiasa dengan sifatnya yang satu ini. Kalau orang asing mungkin langsung kesal duluan ditanya tanpa jeda begitu.
Mas Andri memutar roda kemudi. “Oh, kamu nggak tahu, ya? Dia itu Zidan. Anaknya si mempelai laki-laki.”
Lisa tersedak ludahnya sendiri. “Serius? Dia anaknya mempelai laki-laki?! Terus gimana, dong?”
Mas Andri mengangkat bahu tak peduli. “Ya ... nggak gimana-gimana?”
“Ih, kok Mas Andri cuek begitu, sih? Kalau dia ngadu ke bapaknya gimana? Terus, gimana kalau bapaknya marah-marah ke papi? Aduh ....” Lisa sungguh tak bisa membayangkan hal tersebut. Gawat, bisa-bisa reputasi bisnis papi bisa jatuh. Dan, itu semua karena ulah dirinya!
Mas Andri mencubit pipi Lisa. “Jangan khawatir. Nggak mungkin si Zidan mengadu sama bapaknya.”
“Kenapa memangnya?”
“Dia itu nggak deket sama bapaknya. Ya, kamu tahu lah, banyak gosip yang beredar soal orang tuanya dan juga istri baru bapaknya itu.”
Lisa manggut-manggut paham. Ternyata banyak juga ya drama dari keluarga itu. “Oh ya, Mas Andri, waktu aku antar makanan ke para tamu, kenapa aku selalu denger orang nyebut-nyebut nama Zia, ya? Katanya dia anaknya mempelai lelaki juga. Tapi kata Mas Andri anaknya mempelai lelaki cuma satu.”
Mas Andri melemparkan tatapan meremehkan. “Kamu tinggal di goa mana, sih? Masa Zia yang viral begitu nggak tahu?”
“Mas Andri, aku serius!”
“Saya juga serius.”
Lisa berdecak jengkel, tapi Mas Andri malah terbahak-bahak, seolah tak punya dosa.
“Kamu nggak pernah dengar berita viral soal video cover lagu rock yang dijadiin musik dangdut, terus sampai di-notice sama band asli lagu itu?”
Lisa mencoba mengingat-ingat. Kayaknya sih pernah dengar ....
“Serius nggak tahu?” Mas Andri memandang tak percaya. “Itu beritanya seliweran di akun-akun gosip Instagram dan Tiktok, lho!”
“Ih, bukan begituuu.” Lisa memang tidak mengikuti akun gosip bukan karena tidak ingin tahu, tapi karena dia mau menghemat kuota. Ditambah, ponselnya adalah tipe andorid jadul yang leletnya bisa bikin istigfar. Sudah untung ia masih bisa pakai aplikasi chat supaya dia bisa berhubungan dengan yang lain. Lagi pula, dia kan punya Rika dan Mas Andri yang berperan sebagai sumber gosipnya yang paling terpercaya!
“Makanya ganti handphone,” kata Mas Andri; setengah meledek, setengah mengasihani.
Lisa langsung mengelus dada. Rasa ingin memukul Mas Andri meningkat tajam, tapi ia takut diturunkan di tengah jalan.
“Zia itu Zidan, Lisa. Zia itu nama beken sekaligus nama akun medsosnya. Followers dan subscribers-nya udah banyak banget, tahu!”
“Eh, masa, sih?!”
Mas Andri lalu memberikan ponselnya. “Tuh, coba lihat akun Instagramnya.”
Lisa bersiul. Memang benar yang dikatakan Mas Andri, followers-nya saja sudah ratusan ribu. Akun Instagram cowok itu cuma diisi dengan foto-fotonya bersama barang endorse. Kemudian, ada beberapa gambar random seperti quotes, potongan lirik dari lagu milik band-band rock lawas yang Lisa tak tahu namanya, serta gambar pemandangan. Tidak ada yang benar-benar foto selfie-nya sendiri. Bahkan foto bersama teman dan keluarganya saja tidak ada. Saat Lisa melihat kolom Instagram Reels, video-video yang terunggah di sana hanyalah video yang berhubungan dengan endorse atau cover lagu yang cuma memperlihatkan gitar dan tangannya saja.
Karena iseng, ia juga membaca komentar-komentar yang membanjiri akun Instagramnya itu. Tak ada yang istimewa sebenarnya. Kebanyakan isinya adalah ungkapan kekaguman dari para penggemar atau dari akun-akun olshop yang menawarkan barang dagangan. Namun, rupayanya Zidan punya satu kebiasaan untuk membalas komentar-komentar dalam bentuk pertanyaan; mau itu pertanyaan konyol atau pertanyaan serius—walau dia tetap akan menjawabnya dengan jokes garing, menurut Lisa.
"Gila, ya, di Instagram dia ramah banget." Lisa geleng-geleng kepala, tak menyangka jika Zidan yang ia temui tadi siang sangat berbeda dengan persona Zia di media sosial.
Saking asyiknya stalking akun Instagram Zidan, ia tidak sadar kalau ia sudah menggulirkan profilnya terlalu jauh. Ia terdiam saat melihat foto paling awal yang Zidan unggah di Instagram. Foto yang diunggah setahun lalu. Di foto itu telihat Zidan dengan muka kanak-kanak berpose dengan seorang wanita dewasa. Bibir dan matanya persis sama dengan milik Zidan.
Dada Lisa terasa dicubit saat membaca caption yang tertera di sana ... Love you, Mom. RIP, Mom.
Oh! Di foto itu ada satu hal lagi yang menyita perhatian Lisa. Tepat di atas sebuah meja makan yang menjadi latar foto tersebut, terdapat banyak kue-kue dan kudapan yang terhidang. Sepertinya mereka tengah mengadakan pesta. Di salah satu sisi meja makan, Lisa bisa melihat dus kemasan kue dengan logo toko kue tempat di mana ibunya bekerja.
“By the way, kalau nggak salah inget ya,” kata Mas Andri tiba-tiba. “Pernah ada gosip dulu kalau papa mamanya Zidan itu menikah mendadak, padahal mamanya Zidan masih punya pacar.”
“Masa, sih? Aduh ...” Saking cepatnya Lisa menoleh, lehernya sampai berbunyi.
Mas Andri mengangkat bahu tak acuh.
“Mas Andri, kalau gosip jangan setengah-setengah, dong!” protes Lisa tidak terima.
“Bawel, ah! Saya juga agak-agak lupa sama gosipnya gimana. Sudah lama banget itu. Oh ya, kamu mau saya anterin sampai mana, nih? Sampai ke kantor aja apa ke rumah?” tanya Mas Andri sambil menginjak pedal rem perlahan karena lampu lalu lintas di depan menunjukkan warna merah. Ia lalu mengubah perseneling ke posisi netral.
Lisa agak terperanjat karena tadi begitu fokus stalking.
“Jadi, kamu mau saya anterin sampai mana?” Mas Andri mengulang pertanyaannya.
Ia menyengir lebar mendengar penawaran dari Mas Andri. “Ya, anterin sampai rumah, dooong!”
Mas Andri mendegkus jengkel, tapi tak protes. Ia malah mengiyakan permintaan Lisa barusan. “Ya udah, saya taruh mobil dulu di kantor. Terus kamu juga ikut meeting evaluasi sebentar sama bos. Habis meeting selesai, baru saya antar pulang pakai motor.”
“Terima kasih, lho, Mas Andri ....” Lisa terkekeh-kekeh. Kini pandangannya teralih pada pemandangan gedung-gedung yang berdiri kokoh di sepanjang jalan.
Saat lampu berubah hijau, ia menggerakan perseneling lalu mobil boks yang membawa mereka pun melaju sampai kantor dengan aman.
-oOo-
Motor matic yang ditumpangi Mas Andri dan Lisa akhirnya sampai di depan rumah Lisa. Lisa lalu mengecek jam digital ponselnya. Sebentar lagi jam 6 sore. Dilihat dari lampu depan yang belum menyala sih, sepertinya ibunya belum pulang.
“Mas Andri, mau minum dulu?”
Mas Andri menggeleng. “Saya mau pulang aja. Nanti salamin aja ke ibu kamu, ya. Saya pulang dulu.”
Lisa membuat gestur ‘OK’ dengan tangannya sambil berteriak. “Terima kasih, Mas!”
Setelah sosok Mas Andri tak terlihat lagi, Lisa bergegas masuk ke rumahnya. Selagi menunggu ibunya pulang, ia memutuskan untuk memasak makan malam. Menunya tidak susah, hanya nasi goreng telur sosis yang bahan-bahannya sudah tersedia di kulkas. Dari dulu, hal ini sudah seperti kebiasaan bagi mereka berdua. Siapapun yang pulang duluan, pasti dialah yang akan memasak makan malam.
Usai memasak, Lisa langsung membersihkan diri, lalu berleha-leha di kamar. Tak sampai setengah jam, suara pintu dibuka terdengar dan disusul dengam salam dari ibunya.
“Lisa, kamu udah pulang?”
“Sudah, Ma! Lisa lagi rebahan di kamar,” balasnya sambil berteriak. Saat ia ingin membuka mulut lagi, ibunya tahu-tahu sudah ada di muka pintu. “Eh, mama, hehe ...” balasnya sambil cengegesan.
“Sudah makan?” tanya sang ibu.
Lisa menggeleng. “Oke, Lisa udah masak nasi goreng. Nanti kita makan bareng.”
Ibunya mengangguk, lalu melenggang menuju kamarnya. Lima belas menit kemudian, mereka sama-sama menyantap makan malam yang telah dibuat Lisa di ruang tengah. Ruang tengah mereka memang multifungsi, selain sebagai ruang tamu, ruang ini juga bisa disulap jadi ruang keluarga dan juga ruang makan. Maklum, rumah mereka hanyalah rumah sederhana dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi yang bersebelahan langsung dengan dapur, dan ruang tengah ini.
“Enak nggak nasi gorengnya, Ma?” tanya Lisa yang makan sambil bersila di lantai. Sementara ibunya duduk di sofa. Suara lagu 90an mengalun dari radio. Tidak ada televisi di rumah ini karena beberapa tahun lalu rusak dan tidak ada satu pun dari mereka yang berniat untuk membetulkan. Ya, sudah, mereka berdua pun sepakat menjualnya daripada televisi itu harus teronggok tak terpakai.
Ibunya mengangguk. Sedangkan Lisa menyengir kaku. ia sedikit bingung karena sepertinya ia menambahkan penyedap rasa terlalu banyak tadi. Sekarang saja lidahnya terasa tidak nyaman. Ibunya memang selalu begitu. Ibunya kerap mengatakan tiap masakan yang dibuatnyanya itu enak, meski rasanya campur aduk sekalipun. Ia tahu ibunya berbuat begitu karena ingin menyenangkan hatinya. Namun, terkadang ia tidak suka. Apa susahnya sih berkata jujur? Kalau tidak enak tinggal bilang saja, kan?
Akan tetapi, kembali lagi pada alasan yang membuat ibunya bersikap seperti itu; karena ingin menyenangkan hatinya. Mengingat hal itu membuat Lisa tak ingin mempermasalahkan ini lebih jauh.
Ketika tengah fokus menuang air, mata Lisa tak sengaja melihat kantong plastik putih yang menyembul dari kolong meja. Sebelah alisnya terangkat naik. Ia tak menyadari kalau dari tadi ada benda itu di sana.
“Ma, ini apa? Tanya Lisa sambil menunjukkan kantong tersebut.
“Oh, itu hadiah dari Mas Arka,” jawab ibunya enteng
Mas Arka adalah pelanggan tetap toko kue tempat ibunya bekerja. Menurut cerita-cerita ibunya, Mas Arka datang ke toko tiap hari. Anehnya, kue yang dibelinya hanya itu-itu saja. padahal masih banyak varian kue lain yang dijual. Namun, sejak beberapa waktu terakhir dia tidak pernah lagi datang ke toko. Lisa sih menebak kalau dia terkena diare karena tiap hari makan makanan manis, lalu dia jadi trauma. Lisa saja yang doyan makanan manis tidak se-freak itu.
“Mas Arka? Dia datang lagi ke toko? Kayaknya udah lama banget dia nggak datang ke toko. Sekitar sebulanan—eh, bukan, bukan. Dua bulanan, kan?"
“Ih, kamu hitung? Rajin amat.” Ibunya tertawa-tawa melihat muka sebal Lisa.
Karena penasaran, ia pun bermaksud membukanya. Namun, belum sempat tangannya membuka kantong itu, tangannya keburu dipukul oleh ibunya.
“Punya mama, nih, Izin dulu dong sama yang punya,” kata ibunya, pura-pura marah.
“Iyaaa, iyaaa. Lisa buka ya, kantongnya, Kangjeng Mami.”
Lisa melotot seketika. Kantong plastik itu rupanya berisi botol tumbler merkterkenal edisi special limited edition! Dia tahu hal ini karena Tirta pernah membahasnya secara random beberapa hari lalu. "Ma! Ini dia yang kasih? Baik bener. Harga tumbler ini bisa setengah juta, lho! Gila. Apalagi yang ada stiker ini,” katanya sembari menunjukkan stiker hologram yang tertempel di bagian bawah tumbler pada ibunya.
Ibunya terlihat syok. “Masa sih?! Wah ... Mas Arka bilang itu dikasih sama temannya. Katanya, dia udah punya banyak tumbler di rumah. Jadi, daripada mubazir, dia kasih itu aja ke Mama. Soalnya, dia tahu kan Mama punya anak perempuan yang seumuran sama dia. Katanya, kalau Mama nggak mau pakai, Mama bisa kasih ke kamu.”
Lisa menggeleng-geleng takjub. Dasar orang kaya!
Sejujurnya, Lisa sendiri bingung kenapa ibunya bisa akrab sekali dengan cowok yang namanya Arka ini. Dulu ibunya bercerita kalau pertemuan mereka biasa saja. Ibunya memang punya kebiasaan untuk mengajak bicara pelanggan. Topik pembicaraannya bisa apa saja. Dari hal receh seperti gosip artis sampai hal yang bikin pusing seperti politik. Manajernya bilang ini merupakan hal bagus untuk membangun komunikasi dan kepercayaan pembeli. Biasalah, ilmu marketing yang njelimet. Namun, gara-gara itu, Arka jadi sering datang ke toko kuenya. Ibunya sih tentu tidak keberatan. Toh, Mas Arka ini ke datang untuk membeli (dan sekali beli ia bisa memesan dua kotak besar!) bukan sekadar menumpang men-charge ponsel atau mencari wifi gratis.
Waktu awal-awal mereka mengobrol, ibunya sempat kesulitan karena Mas Arka terkesan sangat tidak ramah. Namun, lama-kelamaan ibunya jadi tahu kalau sifat asli Mas Arka tidak sejelek itu. Mas Arka hanya agak pemalu. Tadinya, Lisa penasaran sekali dengan cowok ini, tapi saat ia mengetahui sifatnya yang sangat tidak asyik itu, dia jadi kehilangan minat. Kalau kata Rika, cowok begitu pasti mudah baperan.
“Dijual aja kali, ya. Kan duitnya lumayan.” Lisa bergumam sendiri, tapi ibunya buru-buru menegurnya.
“Hush. Kamu ini. Itu pemberian dari orang. Kalau nggak mau pakai, biar Mama yang pakai.”
Lisa terkikik geli. “Iya, deh, iyaaa. Mama aja yang pakai. Tumbler Lisa masih bagus,” katanya sambil menyerahkan kembali tumbler itu kepada ibunya.
-oOo-
Tirta baru saja selesai mandi. Saat keluar kamar ia mencium sesuatu yang harum dari dapur. Ayahnya pasti tengah menyiapkan makan malam. “Papi masak apa?” tanyanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil.
“Ayo, duduk. Papi buat spaghetti bolognese kesukaan kamu,” ucap lelaki itu sambil meletakkan dua porsi masakannya ke meja.
Tirta menyambut bagiannya seraya mengucapkan terima kasih. “James ke mana, Pi?” tanyanya karena ia baru menyadari lelaki bule itu tak nampak batang hidungnya.
“Nyari cewek.”
Tawa Tirta seketika meledak. “Serius?” Sebelah alisnya terangkat dengan niat mengejek. Papi cuma mengangkat bahu cuek.
Makan malam mereka kali ini tak banyak percakapan yang terjadi antara mereka berdua. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Setelah beberapa saat berlalu, papi selesai lebih dahulu. Namun, saat lelaki itu hendak beranjak, tiba-tiba saja Tirta memanggilnya.
“Pi, Tirta mau ngomong sesuatu.”
Papi kembali duduk di kursi yang ditempatinya tadi. “Ngomong apa? Kamu udah punya cewek? Siapa namanya? Kapan dikenalin ke Papi?”
“Tirta lagi nggak bercanda, Pi.”
“Kata siapa Papi lagi bercanda?”
Tirta memandangi papi seolah mengatakan, Oh, please, Dad ...
Papi mengangkat tangan sambi tertawa. “Oke, Papi serius sekarang. Kamu mau diskusi apa?”
Helaan napas panjang meluncur dari mulut Tirta sebelum ia bicara. “Tirta mau tanya soal festival musik itu dan ... soal Richard Vroom—atau, bisa Tirta panggil beliau dengan sebutan Om Eri; papanya Lisa. Papi pasti tahu tentang hal ini, kan?”
“Well,” Papi meneguk dulu habis air di gelasnya sebelum menjawab pertanyaan sang anak barusan. “Papi tahu cepat atau lambat kalian akan tahu hal ini.”
Tirta menggeleng. “Baru Tirta aja yang tahu, Pi. Tante Nina belum, apalagi Lisa.”
“Soal itu ...,” Papi mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja. “Papi juga nggak bisa berbuat apa-apa, Nak. Papi cuma rekanan Event Organizer utama. Kamu tahu Richard Vroom—Om Eri, maksud papi—lagi naik daun, kan?” Ada jeda sejenak untuk papi mengambil napas. “Salah satu sponsor terbesar itu adalah stasiun televisi swasta.”
“Ya, terus?” Tirta berusaha mencerna ucapan papinya.
“Petinggi stasiun televisi swasta itu yang menyarankan Om Eri buat jadi salah satu line up artisnya.”
Dahi Tirta mengerut. Dia mulai merasakan gelagat yang kurang menyenangkan dari penjelasan papi berikutnya.
“Stasiun televisi itu bakal ada program pencarian bakat and ... yeah, Om Eri bakal diminta jadi juri tamu di sana.”
Tirta mendadak bangkit dari kursi dan menggebrak meja. “Nggak. Ini nggak bisa dibiarin, Pi!”
“Son, calm down.” Papi mencoba menarik Tirta untuk duduk kembali.
“Nggak bisa, Pi! Selama ini kita udah coba sekuat tenaga buat nyembunyiin fakta tentang Om Eri dan menjauhkan Lisa dari berita-berita tentang Om Eri, tapi kenapa Papi santai-santai aja?”
“Son, I’ve tried my best! Tapi balik lagi ke persoalan awal, Papi nggak bisa berbuat apa-apa karena Papi cuma rekanan.”
Tirta mengusak wajahnya gusar. “Papi tahu, selama ini Lisa selalu menganggap kalau Om Eri udah meninggal—sad but true. Tapi, bisa nggak Papi bayangin, gimana perasaan Lisa kalau tiba-tiba orang yang pernah menelantarkannya dan Tante Nina balik dalam keadaan sangat sukses? Terkenal, kaya, dan bahkan punya istri baru?!”
Papi menghela napas lelah. “I know.”
“Bahkan Tirta aja nggak sanggup lihat ekspresi Tante Nina sewaktu Tirta kasih majalah yang ada berita Om Eri menikah lagi.”
Papi memijit keningnya. Ada banyak rahasia yang disimpannya mengenai ayahnya Lisa. Ada banyak janji yang ia buat bersama Nina, ibunya Lisa, yang tak boleh diketahui oleh Lisa sendiri. Sebab, masalah ini bisa saja membahayakan nyawa Lisa dan Nina.
Selama beberapa saat, pasangan ayah dan anak itu terdiam. Papi tengah mencoba mencari cara, sementara Tirta menenangkan emosinya yang meluap-luap.
“Tirta,” panggil sang ayah. “Untuk sementara, tolong jauhkan Lisa dari berita-berita soal Om Eri. Hanya itu satu-satunya jalan terbaik untuk saat ini.”
Tirta mengangguk. “I’ll try, Pi. Tapi, ada satu hal yang Papi harus tahu. Lisa udah semakin besar. Lingkup pertemannya udah semakin luas dan Tirta nggak mungkin bisa terus-menerus mengintervensi dunianya. She needs space. Cepat atau lambat, seperti Papi bilang, dia pasti tahu. Entah dari temannya yang mana.”
Papi menepuk-nepuk punggung Tirta—mencoba menguatkan. “Kita berdoa semoga aja ada cara lain yang lebih baik. Dan ... semoga pikiran negatif kita nggak terbukti, oke?”