Lisa mengistirahatkan tubuhnya di atas toilet duduk sambil memijit-mijit betis. Sumpah, hari ini dia sibuk sekali. Dari yang biasanya cuma jadi pramusaji yang wara-wiri mengantarkan makanan, tapi sekarang job desc-nya bertambah jadi tukang foto dan videografer dadakan. Huh, gara-gara para tamu undangan yang kebanyakan selebriti itu.
Siang ini memang diselenggarakannya resepsi petinggi manajemen artis yang Tirta ceritakan tempo hari. Kebanyakan tamu yang datang adalah artis-artis yang biasa dilihat di televisi, ada juga beberapa penyanyi papan atas, serta seleb medsos yang Lisa tak tahu namanya—tapi kalau ia bertanya pada Rika, pasti temannya itu bukan hanya menyebutkan nama, tapi sampai ke gosip-gosipnya sekalian. Ada juga kolega-kolega bisnis dari si pengantin lelaki yang penampilannya terlihat mentereng dari kepala sampai ujung kaki. Khusus untuk Tirta, papi, dan James, Lisa merasa bertiga lebih layak berada di kategori kolega bisnis itu, bukannya di dalam kategori staf wedding organizer. Ya, meski pada kenyataannya resepsi ini digelar berkat bantuan wedding organizer milik papi, sih.
Omong-omong, karena Lisa tidak ikut geladi bersih minggu lalu karena dilaksanakan di hari sekolah, ia tak banyak tahu tentang si pemilik pesta. Kabar yang ia dengar dari Mas Andri pernikahan ini merupakan pernikahan kedua bagi si pengantin lelaki. Istri pertamanya meninggal dua tahun yang lalu. Dari pernikahan pertamanya itu ia mendapatkan satu anak laki-laki yang sudah remaja.
Setelah merasa cukup beristirahat dan juga menuntaskan panggilan alam, ia memutuskan untuk kembali ke venue. Namun, belum sempat ia membuka pintu bilik toilet, suara hentakan hak sepatu di lantai yang disusul dengan keran yang menyala di luar membuat gerakannya terhenti.
Wah, gawat! Jangan sampai dia ketahuan memakai toilet tamu. Akhirnya, ia memilih untuk menunggu saja sampai orang-orang itu selesai dengan urusan mereka.
“Dari tadi Zia nggak kelihatan, ya?” ucap seseorang. Lisa menebak kalau si pemilik suara ini adalah perempuan yang masih remaja karena suaranya terdengar ringan dan cukup melengking. Jujur, dia tidak suka dengan tipe suara seperti ini. Soalnya, mirip cewek-cewek cerewet plus biang gosip yang sering ia temui di sekolah.
“Iya, padahal gue pengin banget ajak dia kolab bikin cover lagu tahun 80an,” balas suara lain. Hmm … kalau cewek yang ini suaranya terdengar jauh lebih tebal dan berat dibanding cewek pertama. Lisa sudah bisa membayangkan kalau cewek ini menyanyi mungkin suaranya bakal sebelas-dua belas dengan tipe suara Beyonce atau Adele. Sebetulnya, dia tidak terlalu banyak tahu soal lagu atau penyanyi populer. Dia tahu dua nama penyanyi itu pun karena lagu-lagunya sering diputar oleh Mas Andri.
“Tapi, dia datang nggak, sih, sebenarnya?” tanya si cewek pertama.
“Datang, lah! Kan hari ini nikahan bokapnya,” balas si cewek kedua.
“Jujur, kalau gue jadi Zia, gue pasti males banget dateng ke pernikahan bokap gue sama si pelakor itu.”
Hah?! Lisa benar-benar tak menduga fakta satu itu. Dia pikir si pasangan pengantin hari ini menikah tanpa gosip. Secara, istri pertamanya sudah lama meninggal. Jadi, sah-sah saja kalau si pengantin lelaki ingin menikah lagi, kan?
Kalau boleh jujur, pasti ada saja gosip-gosip atau berita miring seperti ini dan biasanya akan bergaung di belakang para pengantin. Waktu awal-awal Lisa bekerja sebagai pramusaji di acara pernikahan, ia sempat kaget dan beberapa kali nyaris menghentikan para penggosip itu. Namun, kelamaan ia jadi terbiasa. Kalau Mas Andri bilang sih itu semua cobaan pertama pengantin baru.
“Tahu dari mana lo kalau istri baru bokapnya Zia itu pelakor?” Si cewek kedua terdengar agak kurang setuju. “Gue nggak pernah tahu ada gosip begitu, tuh. Lagiam istri baru bokapnya Zia kan dulu penyanyi terkenal. Nyokap gue aja nge-fans sama dia.”
Terdengar dengusan serta tawa nyinyir dari cewek pertama. “Gosipnya udah lama kali. Lo aja yang nggak update. Katanya, nyokapnya Zia meninggal gara-gara sakit mikirin masalah ini.”
Sudah cukup. Lisa tidak mau mendengarkan gibah ini lebih jauh. Bikin tambah dosa saja.
Tiba-tiba, pintu bilik toilet yang digunakan Lisa menjeblak terbuka. Dua cewek yang tengah sibuk bergosip terlonjak kaget karena tadinya mereka mengira toilet ini kosong.
“Maaf permisi.” Lisa buru-buru melarikan diri sambil menutupi muka. Masa bodoh lah kalau nanti bakal ada laporan ke Mas Andri yang mengatakan ada salah satu pramusaji yang menggunakan toilet tamu. Lagi pula, tadi dia terpaksa, kok. Toilet yang disediakan untuk pihak wedding organizer ada di gedung utama dan posisinya saat itu tengah berada di kolam renang yang jaraknya cukup jauh dari gedung. Jadi, mana sempat dia lari ke sana. Keburu bocor duluan, lah!
Setelah berhasil keluar, Lisa kemudian melanjutkan tugasnya untuk mengumpulkan gelas-gelas kosong. Setibanya di salah satu stall makanan yang letaknya lumayan jauh dari spot utama venue, ia mendapati asap putih tebal membumbung dari balik semak-semak.
Lisa berdecak jengkel. Dasar tamu undangan tidak tahu aturan! Padahal di depan pintu masuk venue sudah ada larangan dilarang merokok segede gaban masih saja ada yang bandel. Jangan kira karena mereka adalah tamu undangan dan bisa seenaknya. Awas saja, dia sudah dilatih Mas Andri untuk mengatasi masalah ini.
“Mohon maaf di sini dilarang merokok, Kak,” tegur Lisa sambil tersenyum pada seorang cowok yang tengah berjongkok di balik semak-semak.
Cowok itu masih cuek sambil terus menyesap nikotin dari rokok elektriknya, seolah menganggap ucapan Lisa barusan cuma angin lalu.
Dahi Lisa mengerut jengkel. Orang dengan tipe susah diatur seperti ini yang Lisa tidak suka. “Kak, mohon maaf. Di area venue dilarang untuk merokok,” tegurnya sekali lagi.
Cowok itu masih mengindahkan larangan Lisa. Malah, sekarang ia sibuk menghabiskan minuman soda kaleng dan membuang sampah kalengnya sembarangan.
Lisa mengembuskan napas panjang sambil menahan emosi. Untuk menghadapi manusia model begini kuncinya cuma satu; sabar. Jadi, sebisa mungkin ia tetap mempertahankan senyum.
“Kak—” Belum sempat Lisa melanjutkan ucapannya, cowok itu tiba-tiba berdiri dan menghardik keras.
“Bacot, lo!”
Lisa tersentak kaget. Tidak. Ia kaget bukan karena bentakan itu, tetapi karena ia baru menyadari kalau tangan kiri cowok itu digendong arm sling biru. Apalagi, di muka cowok itu ia menjumpai luka lecet di beberapa tempat. Seperti orang habis kecelakaan. Namun, hal itu tentu tak bisa jadi pengecualian. Aturan tetap aturan.
Lisa kembali memasang senyum, lalu dengan santai memungut kaleng sampah yang dibuang oleh si cowok tadi. “Kakak baca larangan di depan pintu sana? Pasti bisa baca, dong. Dilarang merokok dan buang sampah sembarangan. Mata Kakak nggak rabun, kan?” katanya, sedikit mencemooh.
Belum sempat Lisa berbalik, si cowok sudah lebih dulu mencengkeram bahunya. Tangan kanan si cowok sudah bergerak dan nyaris memukulnya. Lisa pun refleks menutup mata sambil melindungi kepala.
Beberapa detik berlalu, karena tak merasakan apapun, Lisa membuka mata kembali dan terkejut, karena tahu-tahu, Mas Andri sudah berdiri di sebelahnya sambil memasang senyum profesional.
“Maafkan salah satu staf kami, ya, Kak Zidan,” kata Mas Andri sambil menurunkan tangan cowok itu. Ia kemudian memberi isyarat untuk Lisa pergi sementara dia akan mengurus sisanya sendiri.
-oOo-
Lisa terdiam cukup lama di depan meja prasmanan. Dia jadi memikirkan kejadian barusan. Kenapa suara cowok tadi terdengar familier, ya? Ia seperti telah mendengarnya di suatu tempat. Tapi ... di mana?
“Lisa! Hei, jangan bengong. Nanti kesambet.”
Lisa mendengkus setelah mendapat tepukan di pundak dari Tirta. “Nggak. Aku nggak bakal kesambet. Setannya juga nggak bakal mau masuk ke badan aku. Soalnya aku nggak cakep.”
Tirta tertawa mendengar alasan absurd itu. “Ya, sudah, iya. Acaranya udah mau selesai, nih. Mending kamu angkat gelas-gelasnya. Atau mau Kakak bantuin?” tawarnya, yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Lisa.
“Kak Tirta main di tempat lain aja. Masa sudah pakai suit yang mahal dan bagus begitu Kak Tirta malah angkat-angkat gelas, sih?”
“Aduh, Kakak diusir, dong. Lisa jahat, nih,” Tirta mengeluh lebay. Namun, bukan Lisa namanya kalau terpengaruh begitu saja. Soalnya, dirinya sedang masuk ke mode kerja yang tak bisa diganggu, apalagi diajak main.
“Sana cepat!” seru Lisa sambil mendorong-dorong punggung lebar Tirta.
Tirta terkekeh. Akhirnya ia menyerah. Sebelum pergi ia menyempatkan diri untuk menguyel pipi Lisa—yang tentunya dibalas pukulan oleh gadis itu.
Sebetulnya, Tirta bosan setengah mati karena di sini dia memang tak mengenal satu pun tamu undangan. Niat papinya mengajak ke pesta ini juga karena dia ingin dikenalkan ke anak si pengantin lelaki dan juga beberapa teman-teman papi yang memiliki bisnis di bidang industri kreatif, terutama yang menyangkut animasi dan game yang menjadi fokus Tirta.
Omong-omong soal si anak pengantin lelaki, kesan pertama yang ia dapat dari anak itu kurang menyenangkan. Sewaktu dikenalkan kepadanya, anak itu terus menunjukkan wajah yang kurang ramah dan tegang. Kepiawaiannya berbicara juga sangat rendah sehingga dirinya sulit menimpali guyonan atau obrolan yang Tirta mulai. Padahal umur mereka terpaut tidak terlalu jauh. Hanya dua tahun—yang artinya dia seumuran dengan Lisa.
Tirta menduga kemungkinan anak itu adalah tipe orang yang sulit beradaptasi dengan orang baru. Ya, siapa tahu?
Karena acara sudah mau selesai, kebanyakan tamu undangan sudah pulang jadi kondisi di area venue wedding tak terlalu ramai. Tirta memutuskan untuk ke spot utama venue, yaitu kolam renang besar yang berada di tengah-tengah area ini. Di pinggir kolam renang disediakan beberapa meja kayu berpayung dengan empat kursi yang mengelilinginya.
Di salah satu meja, ia menemukan anak si pengantin lelaki tengah sibuk bermain game di ponselnya dengan satu tangan.
“Boleh duduk di sini?” tanya Tirta ramah. Dia menunggu dengan sabar untuk tidak duduk sampai yang ditanya berkenan untuk memberikan izin.
“Silakan,” katanya tanpa mengangkat wajah. Game RPG yang ia mainkan rupanya lebih penting ketimbang melihat siapakah orang yang telah menyapanya.
Tirta tersenyum memaklumi. “Kalau nggak salah, nama kamu Zidan, kan?”
Zidan menjawab agak tergagap. “Iya, kenapa, emang?” katanya, masih dengan posisi menunduk.
Tirta mengangguk-angguk. “Menurut papa kamu, kamu pindah pengen pindah sekolah ke sekolahku. Kenapa? Padahal kan belum ada satu semester kamu sekolah?”
Mendengar ucapan Tirta, Zidan akhirnya mau mengangkat wajah. Untuk beberapa saat, tubuh dan wajah Zidan menegang, tapi ia cepat-cepat mengubah rautnya mukanya.
“Jadi?” Tirta bertanya lagi sambil menaikkan sebelah alis. Sebenarnya Tirta tertawa dalam hati karena cowok ini mencoba bersikap sok cool—yang jujur—sama sekali gagal di matanya.
Zidan berdeham sekali demi membuat suaranya terdengar berat. “Apanya yang jadi?” tanyanya balik dan agak ketus.
Tirta meletakkan sebelah tangannya di meja, lalu menggunakan telapak tangannya untuk menyangga dagu. “Kenapa kamu pindah sekolah? Sekolah lama kamu kan lebih bagus.”
“Bosan,” jawab Zidan singkat. Ia kembali fokus pada game di ponselnya. Tidak lupa ia menyalakan suara ponselnya sampai maksimal sehingga suara-suara bising dari game itu terdengar jelas.
Tirta tertawa lagi, masih dalam hati tentu, saat melihat gelagat tak nyaman Zidan. Ia tahu Zidan sengaja menaikkan volume suara ponselnya agar dirinya tak bertanya lagi. Ini juga sinyal kalau Zidan tengah mengusirnya secara halus.
“Well,” Tirta berdiri. “Kalau kamu butuh bantuan di sekolah, kamu bisa cari aku. Aku sama temen-temenku pasti bisa bantu kalau ada yang bully kamu.” Ada jeda sejenak.
Dahi Zidan mengerut saat tahu ke mana arah pandangan mata Tirta; Tangan kirinya yang digantung arm sling.
“Kamu bisa bilang sama aku, oke?” lanjutnya sebelum beranjak dari sana.
Zidan memandang marah pada sosok Tirta yang telah menjauh. Apa Tirta menganggapnya sebagai korban perundungan? Memangnya tahu apa dia? Tidak ada!
Tiba-tiba, Zidan membanting ponselnya ke meja lalu mengusap wajahnya kasar. Hari ini merupakan hari terburuk sepanjang enam belas tahun ia hidup—bahkan lebih buruk dibandingkan hari kematian ibunya. Rasanya ia ingin berteriak dan memaki semua orang. Ia juga ingin meninju ayahnya dan menghancurkan wajah perempuan yang menjadi dalang kehancuran keluarganya itu.
Namun, di balik amarahnya yang meletup-letup itu, ia juga merasa lega karena akhirnya ayahnya menyetujui perjanjian yang diajukannya. Mulai besok, ia diizinkan tinggal di sebuah apartemen yang khusus disewa oleh ayahnya untuk dirinya sendiri, dengan begitu ia tak perlu melihat perempuan yang menjadi penyebab kematian ibunya itu berseliweran di dekatnya.
Perihal kepindahan sekolahnya pun merupakan bagian dari perjanjian. Harga yang harus dibayarkan untuk sebuah apartemen dan kebebasan adalah ia harus pindah ke sekolah milik kenalan sang ayah, dengan alasan agar ia bisa lebih mudah mengawasi. Zidan sendiri tak masalah, karena dia sudah kepalang tanggung masuk ke dalam daftar siswa buruk di sekolah lamanya.
Hampir selama dua bulan ini, catatan absennya dari kelas sudah di atas toleransi. Kebanyakan pun dia absen tanpa keterangan. Ia sadar betul itu salahnya sendiri. Namun, dia punya alasan kenapa dia tidak masuk sekolah.
Ia bekerja.
Akhir-akhir ini, ia disibukkan dengan pemotretan berbagai macam endorse. Belum lagi ia harus membuat konten Youtube, tentunya selain cover lagu. Dia sudah beberapa kali berkolaborasi dengan berbagai selebriti dan Youtuber. Ia banting tulang melakukan itu semua demi bisa menghasilkan uang sendiri agar sesegera mungkin dapat hidup mandiri.
Dengan pernikahan ayahnya ini, ia sudah siap dengan kemungkinan terburuk. Ayahnya sudah direbut oleh perempuan itu. Bukan tak mungkin suatu saat perempuan itu menghasut sang ayah untuk menendangnya dari daftar ahli waris. Kalaupun terjadi demikian, Zidan sudah tak peduli. Ia yakin ia bisa bertahan hidup tanpa bantuan ayahnya.