Pagi kembali menyapa saat Tari sudah berkutat di dapur. Hari ini adalah jadwalnya membuat sarapan. Tari dengan lincah memotong cabe merah dan mencampurnya dengan bawang merah dan putih yang sudah ia cincang. Beruntung ia membawa serta blendernya dari rumah yang dulu. Keberadaan alat ini memang sangat memudahkan. Tari sedang menuang bumbu halus ke piring ketika pintu unitnya diketuk.
“Siapa juga sepagi ini udah bertamu?”
Tari mengabaikan ketukan itu dan melanjutkan pekerjaannya. Namun, ketukan itu malah makin terdengar.
Tari mendesah pelan dan berjalan ke arah pintu. Ia memutar kenop dan menjulurkan leher. Tidak ada siapapun. Wanita itu berasumsi orang tadi pasti iseng. Tari hendak masuk saat seseorang menabrak kakinya. Ia berbalik dan menemui seorang anak kecil dengan baju tidur dan rambut yang tergerai berantakan.
Naomi mengulas senyum melihat seseorang yang akhir-akhir ini sering ia temui. “Tante, Naomi boleh minta tolong?”
“Loh, kamu ngapain di sini?” tanya Tari.
Naomi menjelaskan kalau dia tinggal di seberang unit Tari. Wanita bermata almond itu terperangah mendengar penuturan anak perempuan di hadapannya. Kenapa takdir selalu mempertemukannya dengan mereka? Ah, setidaknya pria itu bisa menjaga ketenangan selama tinggal di sini.
“Tante boleh bukain ini nggak? Tadi aku cariin Papa, tapi dia nggak ada. Terus pintunya kebuka. Ya udah, aku keluar,” jelas Naomi mengulurkan kotak susu.
Tari menurut. Biar bagaimana pun ia tak bisa menolak kehadiran anak kecil yang lugu dan banyak bicara ini.
“Oke. Kalau sudah, kamu harus pulang, ya. Nanti Papa nyariin kamu.”
Naomi mengangguk dan menerima kotak susu tadi. “Tante namanya siapa? Aku Naomi.”
Tari mengulurkan tangan dan menyebut namanya. Naomi kembali tersenyum, menampilkan deretan gigi susu yang rapi dan lesung pipi yang cukup dalam di sebelah kanan. Tari seperti begitu familiar dengan senyuman ramah itu. Tapi siapa, ya?
“Ya ampun, Omi. Kamu ngapain keluar? Nanti kalau ada monster gimana?”
Suara bariton itu membuat keduanya menoleh. Naomi melonjak gembira melihat Bintang yang berjalan cepat ke arahnya, sementara Tari bersedekap. Tadi dia bilang apa? Monster? Ini dia lagi berpikir aku mau bertindak jahat sama anaknya apa gimana?
“Kita pulang, yuk. Papa udah siapkan sarapan kesukaanmu,” lanjut Bintang mengelus rambut anaknya dengan lembut.
“Oh, omong-omong, terima kasih ya, Mbak. Um, kita selalu bertemu, ya? Waktu itu kita belum sempat kenalan, kan? Saya Bintang.”
Tari mengulurkan tangan dan sepintas menyadari mata cokelat Bintang yang menyorot penuh persahabatan. Entah mengapa Tari merasa seperti sedang memandang sebuah telaga yang menenangkan. Tapi tak lama, ia segera menghapus pandangannya itu.
“Tante, sarapan bareng yuk, sama kita,” ujar Naomi menarik tangan wanita itu.
Tari mendadak tidak bisa berkata apapun. Ia menolak dalam hatinya tapi sulit untuk mengungkapkannya. Naomi mengayun tangan kanan Tari, menanti persetujuan wanita itu.
“Um, Tante mau mandi. Lain kali aja, ya,” jawab Tari, sebisa mungkin dengan nada lembut.
Naomi memajukan bibir dan menatap Bintang dengan mata berkaca-kaca. “Omi, mengundang orang lain itu perlu persiapan. Jadi, nggak papa kan, kalau kita makan berdua seperti biasa?”
Tari bersyukur pria itu bisa mendengar isi hatinya, tapi Naomi malah menangis. Air matanya mengalir melewati pipi dan bahunya terguncang. Tari jadi serba salah dengan drama di hadapannya ini.
“Papa jahat. Aku nggak pernah makan sama Mama dari dulu.”
Tari tertegun mendengar penuturan Naomi yang mengejutkan. Sepertinya tidak apa memenuhi permintaan anak perempuan yang juga tetangganya sekali ini saja. Ia juga tidak ingin menjadi sumber perhatian tetangga lain yang mungkin terganggu dengan suara mereka. Ah, lebih tepatnya suara tangisan Naomi. Tari berdeham dan mengiakan ajakan Naomi. Seketika anak itu berhenti menangis dan mendongak. Mata hazelnya bertemu dengan Tari yang tersenyum simpul. “Asyik, makasih Tante.”
Bintang menghela napas menyadari kedekatan yang terjalin begitu saja di antara anaknya dan Tari. Mungkin ini juga awal baik untuk pertemanan mereka di toko nantinya. Pria itu menggendong anaknya dan mengangguk pada Tari. “Ayo, ikut kami, Mbak.”
Tari hendak menutup pintu saat matanya bersirobok dengan sepupunya yang menahan tawa. Sebelah tangan Indri menutup mulutnya sebelum mengacungkan ibu jari pada Tari.
Indri, jangan mikir yang aneh, please, batin Tari.
**
Tari menghempaskan tubuh di sofa setelah acara dadakan itu akhirnya selesai.
"Cie, ada yang abis kencan, nih," ujar Indri tersenyum lebar. "Ceritain dong tadi ngapain aja sama Mas ganteng."
Tari mendesah. "In, aku tuh terjebak. Kalau aja si anak kecil itu nggak ketuk pintu unit kita, mana mau aku ke sana?"
Indri mendekat pada sepupunya, memperhatikan raut wajah Tari. Indri kadang harus memaksa sepupunya untuk jujur dengan perasaannya. Hal yang kadang membuat Indri sedikit gemas.
"Yakin? Tadi perasaan kulihat kalian senang," ujar Indri santai.
Tari menghembuskan napas dan beranjak dari tempatnya, mengambil air dingin dari dalam kulkas. Ia harus menahan diri untuk tidak menceritakan secara detail pada sepupunya.
"Namanya makan ya, gimana sih, In?"jawab Tari sebelum menenggak minumannya.
Indri menghela napas. "Oke, kalau kamu belum siap cerita. Yang jelas aku dukung kamu sama dia. Biar kita bisa double date juga nantinya, hehe."
Tari membulatkan mata mendengarnya. "Indri, stop godain aku. Mendingan kamu siap-siap ke La Belle."
Indri hanya terkekeh geli sebelum berjalan ke kamarnya. Tari sungguh tidak menyangka Naomi malah memintanya untuk selalu datang ke unitnya. Entah untuk menemaninya mencari baju atau membacakan cerita sebelum tidur.
"Ah, kenapa anak itu malah nyusahin aku, sih?"
Tari mengembuskan napas ketika ingatannya kembali pada momen Naomi membujuk Tari.
Naomi menatap Bintang dan Tari bergantian. Ada sinar permohonan yang terpancar dari sepasang mata hazel itu. Bintang yakin kalau kelebihan anaknya menghasut orang adalah murni keturunan Jingga. Bintang kadang kewalahan tapi ia bisa memberi batasan pada anaknya.
"Ayo, makan rotinya," ujar Tari lembut.
Naomi mendorong piringnya dan bersedekap. Tari menghela napas mengumpulkan kesabaran menghadapi anak kecil ini. Bisa ya, Bintang begitu tahan bersama Naomi?
"Naomi, gimana kalau Tante suapin? Ini makanannya nanti nangis kalau nggak habis."
Naomi menatap wanita di sampingnya. "Tapi, Tante besok janji kemari, ya?"
Tari mendelik pada Naomi yang menaikkan kelingkingnya. Belum lagi mata hazel Naomi yang berbinar. Tari melirik pada Bintang yang mengangguk. Tidak ada pilihan bagi Tari selain mengatakan ya.
"Yeay, pasti besok seru," ujar Naomi memeluk Tari yang hanya bisa diam dengan perlakuan anak itu.
Selesai makan, Naomi bergegas ke kamar dan bermain sendiri. Bintang perlahan berdiri dan mendekati Tari.
Dari dekat, Bintang menyadari kalau Tari itu wanita yang memiliki wajah ayu. Bintang yakin tidak sulit buat Tari menggaet pria manapun. Pria itu mengembuskan napas sebelum berujar.
"Maafin Naomi ya, Mbak. Saya akan bujuk dia biar lupa meski kemungkinannya kecil. Sulit buat menolak permintaannya."
Tari berdecak. Sedari tadi ia sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya Naomi tidak lagi meminta banyak hal aneh. Tapi, wanita itu selalu kalah dengan sinar mata Naomi yang seakan menghipnotisnya.
Tari menoleh pada pria di sebelahnya yang berdiri menjulang seperti pohon. Seharusnya ia bisa memberi ketenangan tapi Tari tidak bisa bersikap ramah pada Bintang. Entah kenapa.
"Tapi kamu ayahnya. Harusnya bisa bersikap tegas, bukannya mendukung tiap permintaannya."
Bintang mengangguk dan menatap mata hitam Tari yang berkilat penuh kekesalan. Sepertinya akan memerlukan waktu lama buat Tari untuk bisa ramah terhadapnya.
"Saya mengerti. Tolong kasih saya waktu. Saya akan kabari dua hari lagi."
Tari menoleh dan menemukan keyakinan yang terpatri dalam raut wajah pria itu.
Ada getaran di hati Tari saat berpandangan dengan Bintang. Namun ia dengan cepat menyingkirkannya. Ia tidak akan dengan mudah terpikat dengan orang yang baru saja dikenalnya.
"Oke. Oh, satu lagi. Setahu saya pintu unit selalu otomatis tertutup, ya. Kenapa tadi Omi bilang kebuka? Kan, dia jadi ke tempat saya."
Bintang terdiam sesaat, sambil mengingat apa yang terjadi. "Oh, saya habis ngusir kecoa, Mbak. Saya lagi ambil sapu di belakang."
"Mana ada kecoa di apartment?"balas Tari cepat.
Bintang tertawa hingga lesung pipit muncul. Wajahnya jadi bertambah manis dua kali lipat. Well,meski itu adalah tanda kalau postur wajah tidak proporsional, tapi selalu ada keindahan dalam ketidaksempurnaan.
"Kayak di rumah aja, Mbak. Pasti ada hewan semacam itu. Ah, by the way. Terima kasih sudah mau kemari dan bersikap baik."
Tari mengernyitkan kening. "Maksudnya?"
"Ya, ini Mbaknya dari tadi ngegas ngomong sama saya. Padahal saya nggak lagi nyetel musik,"ujar Bintang mengulas senyum. Cengiran itu membuat hati Tari jadi campur aduk.
Tari melengos dan berlalu dari unit Bintang. Wanita itu tak mau lagi berurusan dengan Bintang yang menjadikan hatinya tak menentu.
**