Awan mendung menyelimuti bumi di sore hari yang kelam. Petir menyambar disertai gemuruh hebat menemani perjalanan seorang wanita dan bocah laki-laki di genggaman tangannya. Entah sudah berapa lama mereka berjalan dan kemana tujuannya.
“Nda, kita mau kemana?” tanya bocah laki-laki dengan logat khas usia delapan tahun itu. Tidak sekali dua kali ia bertanya, tetapi wanita yang dipanggilnya ‘Nda’ itu tak kunjung menjawab.
Wanita itu menghentikan langkah kecilnya. Ia berbalik, menangkup pipi tembem bocah itu. Ibu jarinya bergerak lembut, tatapan sayunya, dan senyum tipis yang menghiasi wajah pucatnya sarat akan penyesalan. Tanpa mengatakan apa pun, ia menarik pelan tangan bocah itu lagi, mengikuti kemana kakinya melangkah.
Suara gemuruh semakin sering terdengar. Kilatan petir seolah mampu menumbangkan apa saja yang dilewatinya. Mereka tetap berjalan, tidak peduli rintik gerimis mulai berjatuhan. Titik demi titik hingga berubah semakin deras dan terasa sakit ketika mengenai kulit.
DUAR
Kelopak mata itu sontak terbuka, menyalurkan rasa pening di ujung kepala. Sean menoleh ke luar kaca. Hujan yang beberapa saat lalu mengguyur ibukota ternyata sudah reda. Berapa lama dirinya tertidur?
“Kebangun, ya? Baru tidur padahal,” kata Nara yang duduk di samping Sean. Ia meminta Pak Supir untuk membawa mobil sedikit lebih pelan.
13.46
Melirik jam tangan. Benar, dirinya baru tidur sekitar lima menitan. Sejak tidak mengonsumsi obat tidur lagi, Sean semakin sulit untuk bisa tidur nyenyak. Jam tidurnya sangat berantakan dari sebelumnya. Ia juga tidak berniat membeli obat itu lagi. Entah mengapa, menyiksa diri sendiri terasa menyenangkan sekarang.
“Lagi banyak pikiran, ya, Se? Beberapa hari ini, kelihatan capek banget. Kamu gampang tidur, gampang juga kebangun.”
“Nggak papa, Kak, emang cuma lagi capek aja.”
Nara mengangguk, mengerti kalau Sean tidak ingin berbagi cerita.
Alphard putih itu berhenti di basement kantor. Sean berjalan santai menuju lantai 5. Ia tidak memiliki jadwal lagi hari ini, sehingga memilih mengunjungi Kaiven yang katanya sedang latihan seorang diri.
Ceklek
Suara pintu terbuka membuat seorang wanita yang duduk lesehan di lantai terkejut. Netranya membola saat mendapati sosok Sean berdiri mematung di ujung pintu. Ia tersenyum kikuk, melambai untuk menyapa pria itu. “Ose ....”
Dia lagi.
Sean menutup pintu pelan, lalu mendekati Selgi yang kembali sibuk dengan laptop di pangkuannya. Beberapa kali bertemu dengan wanita itu, membuatnya mulai terbiasa. “Kenapa duduk di bawah? Dingin, mending pindah ke sofa.”
Selgi mendongak, menatap Sean yang menjulang tinggi di hadapannya. Ia tersenyum, meraih tangan Sean yang terulur untuk membantunya berdiri. “Makasih.”
Selgi menurut, duduk di samping Sean karena di ruangan itu hanya tersedia sebuah sofa panjang. “Cari Kaiven, ya? Dia masih ke kafetaria sama Mala.”
Bukan tanpa sebab Selgi terperangkap di sini. Mala yang menyeretnya untuk ikut karena merasa kasihan meninggalkannya seorang diri di ruang editor. Ia sangat terkejut saat wanita itu mengatakan bahwa dirinya sedang menjalin hubungan dengan seorang Kaiven.
Sean hanya mengangguk, menyandarkan tubuhnya yang lelah, dan mencoba untuk terpejam. Suara ketikan halus dari keyboard Selgi tiba-tiba menimbulkan rasa kantuk. Namun, ia masih belum bisa sepenuhnya tertidur.
Selgi melirik Sean sekilas. Ia tersenyum kecil melihat wajah damai pria itu. Andai Yerin berada di sini, gadis manis itu pasti akan sangat senang bisa melihat sang idola sedekat ini.
Selgi tidak bisa berhenti memperhatikan Sean. Kelopak mata yang masih bergerak itu mengusiknya. Ragu-ragu, ia bertanya, “Ose, nggak nyaman, ya?”
“Hm?” Sean membuka mata, beralih duduk tegak.
“Mau rebahan biar nyaman? Aku nggak papa duduk di bawah.”
Sean menggeleng. “Boleh pinjam bahumu aja?”
= DMG =
“Pesan apa aja, deh, Kai, yang enak. Kasihan Selgi kalau ditinggal lama.”
“Tenang aja, Sean katanya mau ke sini. Paling udah sampai itu anak. Selgi biar ditemenin Sean dulu.”
“Sean? Udah lama nggak ketemu itu anak.”
Kaiven memesan beberapa makanan ringan dan minuman segar, sedangkan Mala duduk menunggu sambil memperhatikan kafetaria yang mulai sepi karena hari sudah sore, di mana jam kerja akan berakhir.
“Yuk, Yang!” ajak Kaiven saat pesanannya sudah selesai.
Mala membantu membawa paper bag berisi makanan, lalu mereka berjalan dengan tangan saling bertaut. Kafetaria berada di lantai 2, sehingga mereka harus menggunakan lift untuk kembali ke lantai 5.
Ting
Lift terbuka, Kaiven dan Mala masuk, bergabung dengan seorang pria yang tidak lain adalah anggota termuda X9.
“Udah datang aja, Gar? Ada syuting iklan, ‘kan, tadi?” tanya Kaiven.
Gara mengangguk. “Selesai lebih cepat. Langsung aja ke sini, malas bolak-balik.”
Sampai lantai 5, Gara memisahkan diri dulu menuju kamar mandi.
“Mereka udah saling kenal sebelumnya? Nempel banget kek perangko,” tanya Mala, terkejut melihat Sean tidur di bahu Selgi. Selgi juga sepertinya ketiduran karena laptopnya masih menyala.
Kaiven mengedik tidak tahu. “Bagus, deh, kalau Sean punya teman baru.” Ia tersenyum lega, Sean tampak nyenyak dalam tidurnya. Belakangan ini, sangat mengerikan melihat kantung mata panda yang menghiasi wajah pria itu saat tidak ter-cover make up.
Mala memindahkan laptop Selgi dengan hati-hati, mematikannya setelah menyimpan file, dan meletakkan laptop itu dalam tas Selgi.
“Kita pindah aja, ya, biar mereka istirahat. Nyenyak banget itu,” ajak Mala yang disetujui oleh Kaiven.
“Loh, mau ke mana, Kak?” tanya Gara bingung saat Kaiven keluar dari practice room.
“Pindah tempat aja, Gar. Latihannya juga masih nanti malam.”
Gara mengernyit, tidak langsung mengikuti Kaiven. Ia menatap pintu yang tertutup rapat itu penuh tanya. Ragu-ragu, ia menarik handle pintu, melihat apa yang ada di dalam.
Tidak sampai masuk, Gara mematung beberapa saat. Tangannya mengepal, pandangannya pun menajam. Tampak tidak terima dengan apa yang dilihatnya sekarang. Ia kalut, tidak sadar menutup pintu dengan keras.
Suara bising itu membuat Sean dan Selgi terjaga.
“Gempa, ya?” tanya Sean lugu. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum terbuka sepenuhnya. Ia menjauhkan kepala dari bahu Selgi.
Selgi loading, tertawa kecil saat melihat wajah lempeng Sean. “Kayaknya ada yang baru keluar.”
Sean bersandar dengan kepala mengarah pada wanita itu. “Kamu juga tidur?”
“Hm, padahal tadi niatnya cuma merem bentar. Eh, malah ketiduran.”
Selgi meraih tasnya, mengambil saputangan yang sudah lama ingin ia kembalikan. “Aku lupa mau ngembaliin ini pas kita ketemu waktu itu. Makasih, ya.”
“Hm.” Sean menerima saputangannya, padahal tidak apa jika wanita itu ingin memilikinya.
Tiba-tiba suasana menjadi canggung. Keduanya kompak diam, bingung juga harus membicarakan apa.
“Kamu mau pulang?” tanya Sean.
“Ha? Oh, iya, udah sore banget, takut kemalaman di jalan.” Selgi spontan menjawab, meskipun tidak berpikir akan pulang karena Mala juga belum kembali.
“Nggak papa kalau kamu masih mau di sini. Nunggu Mala, ‘kan?”
“Hehehe, i-iya, ya, aku ke sini tadi sama Mala.” Selgi tersenyum malu, ternyata Sean menyadarinya.
Sean mengambil ponselnya di saku celana dan mengirim pesan pada Kaiven untuk segera kembali ke practice room. “Mereka jalan ke sini. Aku tinggal dulu nggak papa?”
“Nggak papa. Kamu duluan aja.”
Sean bangkit, mengantongi ponselnya lagi. “Makasih.”
“For what?” bingung Selgi. Ia tidak merasa melakukan apa pun untuk menerima ucapan terima kasih.
Sean hanya tersenyum, meninggalkan wanita itu dalam kebingungan.
Makasih udah menemaniku, Selgi.
= DMG =
“Terkadang kamu diam saja, itu sudah cukup membantu.”