Suasana menjadi semakin canggung setelah keduanya menepi ke tempat yang jarang dilewati orang. Mereka duduk di kursi yang sama, meskipun terbentang jarak dari ujung ke ujung. Lima menit berselang, tetap belum ada suara tercipta. Kedua insan itu kompak membisu.
Selgi menggigit pelan bibir bawahnya. Tangannya saling bertaut, memainkan jari telunjuk. Sungguh, ia sangat malu sekarang, tidak berani mengangkat kepala menghadap Sean. Entah apa yang merasuki dirinya sampai menangis begitu hebat di hadapan pria itu.
Tanpa Selgi sadari, Sean berulang kali melirik ke arahnya, memastikan gadis itu sudah lebih baik. Ia paling tidak suka melihat seorang wanita menangis. Oleh karena itulah, Sean langsung menghampirinya tanpa tahu siapa gadis itu, dan ternyata memang benar, wajahnya tidak asing.
Menghela napas pelan dari balik masker hitam, Sean berdiri. Kedua tangannya masuk ke saku jaket denim yang membungkus tubuh atlestis dari balik kaos putihnya. Belum sempat ia beranjak, suara serak Selgi mengintrupsinya.
“Mau ke mana?” Refleks, Selgi bertanya. Ia langsung menunduk saat Sean berbalik.
“Beli minum.”
Mengeluarkan seluruh keberaniannya, Selgi mendongak dan memberikan senyum terbaik. Meskipun mata sembabnya tidak bisa berbohong kalau dirinya habis menangis. “Aku aja … Eeem, t-takutnya ada yang ngenalin kamu nanti.”
Sean tidak diberi kesempatan untuk menolak. Selgi berlari begitu saja ke arah kanan. Tidak sampai satu menit, gadis itu kembali lagi.
“Mau boba?”
“Boleh.”
“Oke.”
Sean tersenyum tipis, merasa lucu dengan tingkah gadis itu. Di sisi lain, Selgi bernapas lega bisa terbebas dari jangkauan Sean. Ia mengipasi wajahnya yang terasa panas. Selain karena masih merasa malu, mendengar suara berat Sean membuat sesuatu dalam dirinya berdebar.
“Padahal waktu lihat foto-foto Sean di HP Yerin, biasa aja. Ngomong di depan orangnya langsung, kok, deg-degan, ya?”
= DMG =
Selgi kembali dengan membawa dua cup boba. Ia menarik napas panjang sebelum berjalan ke tempat Sean. Ia kira pria itu akan meninggalkannya, ternyata pemikirannya salah.
Sean mendongak saat sebuah tangan terulur di depan wajahnya. Ia menerima cup itu. Tidak lupa mengucapkan terima kasih.
Selgi kembali duduk di samping Sean. Ia menoleh setelah menyeruput bobanya sedikit. Napasnya tercekat saat Sean membuka topi dan masker. Ini adalah kali pertama Selgi melihat wajah Sean secara langsung. Pria itu jauh lebih tampan dibanding yang terlihat di foto. Selgi tidak sempat menjabarkan karena tiba-tiba Sean menatapnya.
“Eeemm … oh, iya, kita belum kenalan,” ingat Selgi. Ia merasa gugup karena Sean terus melihatnya tanpa mengeluarkan kata. Mencoba tersenyum senatural mungkin, ia melanjutkan perkenalannya.
“A-aku Selgi, penulis baru Key Media.”
Sean hanya mengangguk, meminum bobanya. Tanpa memberitahu, sudah pasti gadis itu mengenalnya. Apalagi, mereka masih dalam satu perusahaan yang sama.
“Aku udah nonton film baru kamu, lho, sama Yerin. Itu keren, Yerin sampai nangis saking nggak terima kamu meninggal di film itu.”
Meskipun respons Sean seadanya, Selgi tahu kalau pria itu mendengar ceritanya dengan serius.
“Kamu ada kerjaan di sini?”
“Hm, habis nobar sama penonton.”
“Eh, iya, aku sampai lupa. Kemarin, Yerin uring-uringan nggak bisa nonton film kamu lagi gara-gara ada deadline yang harus diselesaikan.” Selgi tertawa geli mengingat rengekan Yerin. “Yerin nge-fans banget sama kamu. Dia pernah ngeluh, udah satu perusahaan, tapi tetap aja nggak bisa ketemu. Kapan-kapan, kalian harus ketemu, minimal papasanlah.”
Lagi-lagi, Sean hanya mengangguk, membuat Selgi merasa tidak enak karena banyak bicara.
“Kamu nggak nyaman, ya? Maaf kalau aku kebanyakan ngomong. Emang nggak suka diam kalau ketemu orang.”
“Nggak apa-apa. Aku aja yang susah bangun komunikasi.”
“Bisa dimengerti. Kamu pasti udah capek banget ngomong di depan layar, jadinya kalau di luar gini, enakan diam.”
Sean tersenyum. Mereka terbilang masih cukup asing, tetapi gadis itu bisa mengerti apa yang dirinya rasakan. Menunjukkan sisi terbaiknya sebagai publik figur memang sangat melelahkan, sehingga diam setelah pekerjaannya selesai adalah jalan untuk mempertahankan kewarasan.
Obrolan mereka terhenti saat ponsel di saku jaket Sean berbunyi. Ada beberapa pesan dari Tomi yang menanyakan keberadaannya dan memintanya segera kembali. Tomi dan Nara sudah menunggu di parkiran setelah menyelesaikan beberapa urusan.
“Aku harus pergi,” kata Sean. Ia mengantongi ponselnya dan memakai masker serta topinya.
Selgi mengangguk. “Ose, makasih udah nemenin aku.”
“Hm.”
Sean terdiam, sedikit ragu meninggalkan Selgi sendiri, meskipun gadis itu sudah terlihat baik-baik saja. “Sel …”
“Iya?” Selgi mendongak, menatap bingung Sean yang berdiri menjulang di hadapannya. Ia sempat menegang saat pria itu tiba-tiba mengusap kepalanya.
“Semangat, ya!”
Selgi terus memandang kepergian Sean sampai punggung tegap itu menghilang di belokan. Tangannya meraba dada sebelah kiri, terasa debaran tak biasa di sana. Satu kata sederhana dengan tatapan teduh itu membuat batin Selgi menghangat.
= DMG =
“Semangat!
Satu kata sederhana yang tak jarang membangkitkan harapan.”