“Selamat pagi, Dokter Airin!”
“Pagi!”
Airin tersenyum, membalas setiap sapaan yang diterimanya sepanjang jalan. Ia melangkah ke dalam lift, berbaur bersama para dokter dan perawat yang lain. Dianugerahi visual cantik bak Aphrodite membuatnya selalu menjadi pusat perhatian. Namun, ia tidak memedulikannya, berjalan keluar ketika lift sampai di lantai Departemen Psikiatri.
“Selamat pagi, Dokter Airin!” sapa Salsa ceria.
Belum sempat Airin menjawab, satu lagi dokter residen datang, tak ketinggalan senyum lebar yang senantiasa menghiasi wajah pria cantik itu.
“Selamat pagi, Dokter Airin, the most beautiful doctor in the world, spesialis meluluhlantakkan hatiku!” sapa Bayu heboh seperti biasa. Tak ayal ia mendapat pukulan di lengan dari Salsa.
“Heh, kamu bisa nggak serius dikit,” kesal Salsa.
Bayu tersenyum menyebalkan. “Kamu mau serius denganku? Oke, kapan kita ketemu Mama-Papa?” Ia menaik-turunkan alisnya, membuat Salsa muak melihat tingkah absurd-nya.
“In your dream,” cerca Salsa, berlalu masuk ruangan Airin.
“Masih malu-malu, nih, Ayang.” Bayu mengikuti langkah Salsa, berdiri sedikit jauh karena wanita itu melayangkan tatapan mautnya.
Airin hanya tersenyum. Ia merasa terhibur setiap kali melihat pertengkaran kecil mereka. “Jadi, bisakah kita mulai bekerja sekarang?”
Salsa mengangguk, berjalan di belakang Airin bersama Bayu. “Pasien percobaan bunuh diri bernama Caroline yang dibawa ke UGD pagi ini sudah dipindahkan ke ruang rawat inap, Dok,” jelasnya.
“Nona Caroline menderita depresi setelah melihat sang tunangan bermain belakang di depan matanya. Menurut kesaksian ibunya, hari ini adalah percobaan bunuh diri ketiga dan yang paling parah. Sebelumnya, pihak keluarga berhasil mencegah, sehingga berpikir tidak perlu dibawa ke rumah sakit,” imbuh Bayu.
Airin mengangguk. “Kita lihat keadaannya sekarang.”
Pintu digeser, ketiga dokter itu masuk dan langsung menuju brankar dimana seorang wanita muda terbaring di atasnya.
“Hai, Caroline!” sapa Airin, melirik pergelangan tangan kiri wanita itu yang dibalut perban. Pasti sangat sakit.
Caroline tidak menjawab. Pandangannya kosong menatap langit-langit kamar, menghiraukan orang-orang di sekitarnya. Hal itu membuat seorang wanita paruh baya menangis dalam diam di pelukan suaminya.
“Maaf, Dok, bisakah putri saya pulih seperti semula?” Papa Caroline bertanya penuh harap dengan tangan yang setia mengusap punggung istrinya, berusaha menenangkan.
“Kami pasti berusaha yang terbaik untuk kesembuhan Nona Caroline, Pak. Yang paling penting saat ini, pihak keluarga harus memberi dukungan penuh dan tidak meninggalkan Nona Caroline sendiri.”
Selanjutnya, Airin menjelaskan secara detail metode pengobatan yang akan dilakukan untuk Caroline.
“Baik, karena Bapak sudah setuju, kita akan mulai terapinya besok,” pungkas Airin, pamit undur diri.
Dua jam berlalu, akhirnya mereka selesai melakukan visit.
“Dokter mau makan –”
“Laporan masih nunggu kalau kamu lupa.” Salsa tersenyum, memotong perkataan Bayu, sedangkan laki-laki itu mendengkus kesal karena niatnya gagal.
Bayu berdecak, menatap Salsa sinis. “Nggak bisa banget lihat orang senang.”
“Apa?!” sentak Salsa.
Bayu tersenyum paksa, merangkul bahu Salsa kuat. “Nggak apa-apa, kok.”
Airin tersenyum geli melihat interaksi keduanya. Tidak ingin mengganggu, ia pun pamit kembali ke ruangannya.
“Tuh, ‘kan, Dokter Airin jadi pergi,” kesal Bayu.
“Bodo amat.”
= DMG =
Vespa kuning lengkap dengan helm bogo bergambar kartun bebek terparkir rapi di depan sebuah mal. Selgi, si pemilik motor berjalan terburu memasuki mal. Rambut panjang kecoklatan yang dibiarkan tergerai turut bergoyang seiring langkah kakinya yang kian melebar.
Berhenti di tengah mal, Selgi mengedarkan pandangan ke sekitar. Acara meet and greet sudah dimulai. Sorak-sorai terdengar antusias kala MC membacakan pertanyaan dari penggemar yang harus Mala dan Ronald jawab.
Selgi pun mengambil duduk di kursi kosong paling belakang. Ia tersenyum ketika Mala melihat ke arahnya. Begitu juga Ronald, ikut menoleh saat Mala memberitahukan keberadaannya.
“Semangat!” kata Selgi tanpa suara yang dibalas anggukan oleh keduanya.
Binar mata Selgi memancarkan kekaguman. Sesekali netranya memandang kerumunan. Tidak hanya di lantai bawah, para penggemar juga memenuhi lantai dua. Tidak dapat dipungkiri, nama besar Mala dan Ronald sudah dikenal banyak orang bahkan sebelum bergabung dengan Key Media.
Pun terbesit pertanyaan dalam hati kecil Selgi, akankah ia bisa mencapai titik itu juga?
“Fokus banget, iri, ya?”
Selgi menoleh, untuk sesaat terpaku pada sosok wanita yang entah sejak kapan duduk di sampingnya. Tidak ingin menanggapi, ia kembali fokus menatap depan. Keterdiamannya tidak membuat wanita itu berhenti.
“Kenapa diam aja? Nggak bisa jawab?”
Selgi menghela napas pelan, berusaha tidak terpancing. “Kenapa aku harus iri?”
Joya tersenyum miring. Tatapan meremehkan terpancar di balik kacamata hitamnya. Ia sedikit mencondongkan tubuh ke telinga Selgi. “Karena … entah di Graydaction atau Key Media, kamu tetap menjadi beban.”
Joya melirik lawan bicaranya sekilas sebelum berlalu dari sana. Selgi memang tampak tenang, tetapi kedua tangannya yang terkepal membuktikan bahwa ia merasa terganggu dengan perkataan Joya. Perlahan kepalanya menoleh, mengikuti pergerakan wanita bertubuh ideal itu.
“Aku masih berusaha, Jo, dan usahaku bukan beban. Kamu harusnya lebih tahu, kenapa aku masih ada di titik ini.”
= DMG =
Menatap pantulan wajahnya di cermin, Selgi mendengkus keras. Ia menyalakan kran dan membasuh wajah kusut itu. Teramat kesal saat mengingat perkataan Joya. Tidak bisakah wanita itu berhenti mengusik ketenangannya?
Tidak berhenti di situ, Selgi menggeram pelan ketika melihat Joya berdiri tidak jauh di depannya. Seolah sengaja, wanita itu berbicara sedikit keras ketika beberapa orang mendekat untuk meminta tanda tangan di buku karyanya. Cukup, Selgi sudah muak.
Tanpa sadar, bulir air mengalir di pipi tembamnya. Selgi menjauh, bersandar pada dinding toilet. Tangan mungil itu menepuk-nepuk dada yang terasa sesak. Menangis dalam diam sungguh menyakitkan.
Belum usai menenangkan diri, sebuah pesan yang masuk di ponsel pintarnya, membuat kepala Selgi bertambah pening. “Ya Tuhan?”
Sebuah saputangan hitam terulur di depan wajah Selgi. Ia mendongak setelah menyeka kasar air matanya. “Kamu di sini?” tanyanya, sedikit terkejut dengan presensi pria itu.
Sean tidak menjawab, melirik ke bawah di mana layar ponsel gadis itu masih menyala. Kalau sampai akhir tahun kamu nggak berhasil juga, pulang, Gi! Atau Mama datengin kantor kamu. Itulah penggalan pesan yang dapat Sean baca.
“Oh, sorry.” Selgi memasukkan ponselnya ke tas sebelum menerima saputangan Sean.
Lama mengamati, akhirnya Sean memberanikan diri membuka suara. “You okay?”
Bibir Selgi bergetar, suara berat nan lembut itu mampu merobohkan pertahanan yang sempat ia bangun. Perlahan mata sembab itu menumpahkan liquidnya lagi. Selgi sesenggukan, hidungnya pun kian memerah, dengan suara serak ia menjawab, “No, I am not okay. What should I do?”
Tangan Sean mengepal, suara lirih penuh keputusasaan itu membuatnya tidak tega. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana cara menenangkan seseorang. Terlebih, di hadapannya saat ini adalah orang asing yang baru bertemu dua kali.
Spontan Sean mendekatkan diri. “Sorry.”
Selgi tersentak saat kepalanya ditarik lembut untuk bersandar di pundak kokoh pria itu. Batinnya menghangat ketika Sean mengusap pelan punggung tangannya. Selgi tidak bisa berpikir lagi, rasa nyaman yang mengisi ruang kosong dalam dirinya membuat Selgi semakin terlena. Selgi sadar, ternyata ia hanya membutuhkan sandaran tanpa harus mengungkapkan segalanya.
= DMG =
“Aku masih berusaha dan usahaku bukanlah beban.
If you can’t appreciate it, just shut up, dan biarkan aku berproses.”