“SEAAAN!”
Baru saja menginjakkan kaki di lantai rumah minimalis itu, Nara berteriak bagai di tengah hutan. Kaki jenjangnya melangkah semakin masuk menyusuri setiap ruang hingga berhenti di dapur. Tomi yang sedari tadi mengikuti wanita bar-bar itu hanya menunjukkan raut datar, meletakkan dua kresek berlogo restoran terkenal di meja pantry.
“SEAAAN!”
Sekali lagi, Nara mengeluarkan suara emasnya. Sepersekian detik, ia meringis kala mendapat pelototan tajam si manusia kulkas yang naasnya adalah partner sehidup sematinya. Partner mengurus Sean, maksudnya.
Tak berselang lama, si pemilik nama pun datang menghampiri kedua orang itu. Sean langsung mendudukkan dirinya di stool samping Tomi. Ia menerima gelas berisi jus wortel yang diberikan Nara dan meminumnya setengah.
“Sean, kamu nggak apa-apa, ‘kan?” tanya Nara perhatian. Ia melirik Sean sekilas dengan tangan sibuk menata makanan di hadapan mereka.
“Hm,” balas Sean singkat, mulai menyuap menu sarapan siangnya.
Nara berdecak pelan, duduk berhadapan dengan Tomi. Ia sangat khawatir dengan kondisi lelaki itu semalam, tetapi Sean tetaplah Sean. Memiliki watak yang tak jauh berbeda dengan Tomi, irit bicara, seolah mengeluarkan satu kalimat membutuhkan beratus-ratus dolar.
Lima belas menit berselang, Tomi menjadi orang pertama yang menyelesaikan makannya. Ia membereskan bekas makanannya dan membuangnya ke tempat sampah di pojok dapur. Diikuti Nara setelahnya yang membawa serta milik Sean.
“Sean, jangan ulangi kejadian semalam!” peringat Tomi.
Sean menghela napas berat. “Hm, makasih makanannya.” Setelah itu, Sean beranjak menuju kamar untuk bersiap menjalankan jadwal hari ini.
Nara bertopang dagu. Netranya menyorot punggung tegap Sean yang menghilang di belokan. “Tom-Tom, menurutmu kapan Sean akan berubah? Dia jadi semakin tertutup sejak melihat –”
“Udahlah, mending sekarang kita siap-siap, biar nggak kena macet,” potong Tomi.
Nara mencebik, meraih tasnya dan segera menyusul Tomi. “Ish, manusia itu nggak pernah bisa lihat orang santai bentar aja.”
= DMG =
Selgi merentangkan kedua tangan setelah menyelesaikan beberapa catatan di jurnalnya. Saat ini, Selgi berada di ruang santai, duduk di bean bag ungu dengan kepala menengadah. Hampir dua jam, ia menyendiri di ruangan ini usai berdiskusi dengan editor. Tidak sepenuhnya sendiri, ada beberapa orang yang juga menghabiskan waktu istirahat di sini, sekadar mengobrol atau membaca buku yang tersedia di rak.
Helaan napas berat terdengar, Selgi merapikan barang-barangnya dan bergegas menuju ruang penulis. Wajah yang semula tampak lesu, berubah ceria saat melihat Lulu yang sedang menikmati secangkir kopi sambil menatap layar komputer. Wanita tertua di antara enam penulis Key Media itu tampak fokus dengan pekerjaannya.
“Kak Lulu ….” panggil Selgi pelan. Ia meletakkan barangnya di kubikel dan menghampiri Lulu. “Udah selesai, Kak?” Selgi turut melihat deretan huruf yang tersusun rapi itu.
Lulu mengangguk ringan, tersenyum menatap Selgi. “Kamu gimana tadi? Nggak kesulitan, ‘kan?”
Selgi menggeleng. “Aman, Kak.”
Lulu meletakkan cangkirnya. Jari-jari lentik itu beralih menyimpan lembar kerja microsoft word, kemudian mengirimnya kepada sang editor melalui email. Setelahnya, Lulu memutar kursi menghadap Selgi.
“Ssst … aku baru ingat kalau kita belum mengadakan pesta penyambutan untukmu. Ini udah dua bulan sejak kamu gabung dengan perusahaan,” kata Lulu. Terlalu sibuk mempersiapkan buku baru, ia sampai melupakan hal itu.
“Ey, nggak perlu ada pesta penyambutan segala, Kak. Kalian nerima aku dengan baik aja udah cukup,” tolak Selgi.
Lulu menggeleng, tidak setuju. “No, no, no. Kita harus mengadakannya.” Ia mulai sibuk dengan ponsel di tangannya. “Aku udah ngabarin di grup. Mereka semua setuju, apalagi Jihan. Nomer satu kalau soal makanan.”
Tidak bisa menolak lagi, Selgi mengangguk disertai senyum tulusnya.
“Oke, kita adain pestanya setelah Ronald dan Mala selesai meet and greet,” pungkas Lulu. “Aku harus pergi ke meeting room sekarang. Boleh minta tolong ambilkan makanan yang sudah kupesan di lobi?”
“Hm, akan kuambilkan.”
“Makasih, Sayang. Aku beli double untuk kita.” Lulu mengecup singkat pipi tembam Selgi. “Aku pergi sekarang. Nggak lama, nanti, kita makan sama-sama.”
Selgi tertawa kecil melihat wanita mungil itu tampak terburu-buru. Rambut panjang black and ash purple ombre-nya turut mengayun kala kaki jenjang itu berlari. Aish, dia sangat menggemaskan.
Menghela napas pelan, Selgi pun keluar untuk turun ke lobi. Ia berhenti di depan lift, menunggu kotak besi itu terbuka, tersenyum ketika beberapa orang keluar dari sana. Selgi melangkah masuk dan menekan tombol ke lantai satu.
= DMG =
Ting
Sean keluar lift seorang diri. Setelah menyelesaikan pemotretan, ia langsung datang ke Key Entertainment untuk menemui kakaknya. Pagi tadi, mereka tidak sempat bertemu karena Sean bangun kesiangan.
Tanpa mengetuk, Sean membuka pintu kaca itu. Ia berhenti sejenak, memperhatikan sosok pria yang sibuk dengan beberapa dokumen menumpuk di meja. Jam pulang kantor adalah pukul 16:30, tetapi sampai pukul 19:43, pria itu belum juga meninggalkan kursi kebesarannya.
“Sendiri?” tanya Sean tidak jelas.
Sontak Arjune mendongak, menaikkan kacamata bacanya yang sedikit melorot. “Itu pertanyaan?”
Sean mengedik acuh, menjatuhkan dirinya di kursi, berhadapan dengan kakaknya.
“Heh, cobalah belajar bicara lebih panjang! Aku nggak percaya kalau Sean di hadapanku dengan Sean di depan layar adalah orang yang sama.” Arjune berdecak pelan menghadapi adiknya yang jarang bicara jika tidak ada maunya, berbeda 180 derajat ketika bekerja di depan layar.
Sean enggan menanggapi. Ia asyik memutar kursi dengan pandangan ke atas. “Pulang! Aku tunggu di bawah.”
Tanpa menunggu jawaban, Sean berlalu begitu saja.
“Ajakan macam itu?” protes Arjune.
Berdiri di depan gedung, tatapan Sean jatuh pada gedung lain di seberang jalan. Masih dalam satu perusahaan yang sama. Di balik masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya, Sean tersenyum tipis.
Arjune bekerja sangat keras untuk membangun perusahaan lebih maju setelah kepergian kedua orangtuanya enam tahun lalu. Bahkan kala itu, Arjune masih sangat muda untuk mengemban tugas berat sebagai pemimpin perusahaan. Pria itu harus bekerja sambil menyelesaikan kuliahnya. Setelah Arjune lulus kuliah, perusahaan semakin meroket. Oleh karena itu, Arjune membuka peluang bisnis di bidang literasi, dan jadilah Key Media yang berdiri hampir empat tahun ini, dan menjadi perusahaan penerbit nomor satu se-antero negeri, bahkan mulai merambah dunia internasional dengan aplikasi yang diluncurkan tahun lalu.
Menatap sekali lagi, Sean bersyukur memiliki Arjune di dalam hidupnya. Tangannya terkepal kuat seiring dengan harapan yang tak pernah putus ia panjatkan.
Sebuah notifikasi dari ponsel di saku jeans-nya mengalihkan perhatian Sean. Untuk beberapa saat, ia larut dalam benda pipih itu, dan mengakhirinya dengan cepat. Tak pelak hal itu mengundang umpatan dari sang pengirim. Namun, lagi-lagi Sean tidak peduli.
Kaiven
Oy, jalan yok!
G
Seanying emang
Unfriend
O
Woy, baku hantamlah kita!
Tatapan Sean beralih ke halte di samping gedung. Bukan halte untuk menunggu angkutan umum, melainkan halte terbuka yang menyediakan sebuah piano di sana. Setiap orang bebas menggunakannya. Bukan tanpa sebab piano itu tepat berada di samping Key Entertainment. Orang dalam perusahaan pernah mengatakan bahwa itu adalah salah satu cara untuk mencari bakat-bakat terpendam yang sesuai dengan kriteria Key Entertainment. Ssst, this is a secret.
Sean duduk di depan piano Yamaha P45. Meskipun berada di luar, piano itu terawat dengan baik. Perlahan, Sean memosisikan jari-jarinya di atas tuts piano. Ia memainkannya asal sebelum melodi lembut terdengar diikuti deep voice Sean yang khas.
My best was just fine
I tried, I tried to be great for you
I’m flawed by design and you love to remind me no matter what I do
Sean sangat menikmati permainannya di paruh malam ini. Netranya terfokus pada jemarinya yang lihai menekan tiap tuts hitam putih itu. Sean sampai tidak menyadari jika sedari awal ada seseorang yang memperhatikannya.
But now I know a perfect way to let you go
Give my last hello, hope it’s worth it
Here’s your perfect – Jamie Miller
Orang itu adalah Selgi. Ia memperhatikan Sean sejak pria itu berdiri di depan gedung. Tanpa sepengetahuan Sean, Selgi menuntun vespa kuningnya dan berdiri di belakang pria itu. Ia menemukan fakta baru, selain pandai berakting dan modeling, Sean memiliki bakat menyanyi yang luar biasa.
Tepuk tangan Selgi mengakhiri lagu yang dinyanyikan Sean. “Kamu keren!” Ia memberikan dua jempol kala Sean menatap dirinya.
Sean sedikit terkejut saat menyadari bahwa ada orang lain di sisinya. Namun, ia bisa mengatasinya dengan menunjukkan ekspresi datar andalannya.
Tidak mendapat respons baik dari pria bermasker itu, membuat Selgi canggung. “Kamu … Osean, ‘kan?” tanya Selgi basa-basi. Ia sangat mengenal postur tubuh Sean karena Yerin selalu menunjukkan foto-foto tampan pria itu di galeri ponselnya.
Sean tidak menjawab. Ia berdiri, menutup kepalanya dengan tudung hodie. Lalu pergi ketika mendapati mobil Arjune yang berhenti tidak jauh dari tempatnya.
Selgi mematung, memperhatikan gerak-gerik Sean. Tak berselang lama, mobil hitam itu melaju bersama dengan kendaraan lainnya. “Nggak seramah kata Yerin. Mungkin lagi capek kali, ya.”
Selgi dengan pikiran positifnya memilih acuh. Ia memakai helm bogo bergambar kartun bebek, lalu menjalankan vespa kuningnya. Hari ini sungguh melelahkan, dan Selgi butuh berendam air hangat ditemani lilin aromaterapi.
= DMG =
“Work’s about responsibility and life’s about comfort.
Bukannya tidak mau bicara, hanya tidak terbiasa mengeluarkan banyak kata.”