Suara langkah kaki menggema di malam yang sunyi. Menaiki tangga dengan pelan tanpa menimbulkan kebisingan yang berarti. Sepasang sepatu pantofel hitam berhenti di depan sebuah pintu coklat berbahan kayu jati. Secara perlahan, pria itu memutar handle pintu, dan melangkah masuk.
Mendekati ranjang berukuran king, ia duduk di tepi, menatap sang bintang besar yang tampak damai dalam tidurnya. Ia mengusap surai hitamnya lembut. Tersenyum kecil saat si putra tidur menggeliat dan mengubah posisi menghadapnya.
Maaf, Presdir. Sean menunjukkan gejalanya lagi.
Mengingat percakapannya dengan Tomi di telepon, pria itu bangkit hendak menelepon seseorang. “Cakra, aku butuh bantuanmu.”
Sepanjang percakapan virtual mereka, manik hitam legam itu tak lepas menatap Sean, seolah tidak ada hari esok untuk melakukannya. Suasana hening ditambah penerangan yang temaram, membuat pria itu semakin larut dalam pikirannya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi lidahnya terasa kelu.
“Kenapa kamu tampan sekali? Pantas aja banyak yang menggilaimu.”
Pada akhirnya, hanya kalimat basi itu yang keluar dari bibirnya.
Tak berselang lama kepergian pria dewasa itu, Sean membuka mata. Sedari tadi, ia hanya pura-pura tidur karena tidak ingin membuat kakaknya khawatir. Belakangan ini, Sean semakin sulit tidur. Isi kepalanya sangat berisik tatkala ia seorang diri.
Menyerah memaksakan diri, Sean bersandar pada kepala ranjang. Tangannya terulur membuka laci nakas, mengambil botol kecil berisi pil-pil berwarna putih. Tanpa bantuan air, dua butir pil itu berhasil masuk melewati kerongkongannya. Benar saja, tidak butuh waktu lama untuk mata itu terpejam dan hilang terbawa mimpi.
= DMG =
Perlehatan ke-25 Golden Business Award semalam berlangsung sangat meriah. Acara penghargaan yang rutin diselenggarakan setiap tahun itu dihadiri oleh para petinggi perusahaan ….
Tok-tok-tok
Ketukan pintu mengalihkan perhatian Airin dari acara berita yang dilihatnya di televisi.
“Masuk!” Airin refleks berdiri ketika melihat sosok pria paruh baya yang berkunjung ke ruangannya. “Oh, Profesor Gutama, selamat pagi!”
“Pagi, Dokter Airin! Sedang bersantai rupanya.” Pria yang tetap terlihat tampan di usianya yang tak lagi muda itu tersenyum hangat.
Airin tersenyum malu. “Refreshing pagi sebelum bertemu pasien, Prof.”
Profesor Gutama mengangguk setuju. “Oh, iya, saya ingin meminta tolong padamu untuk menjadi dokter pribadi pasien lama saya,” katanya seraya menyerahkan sebuah map kepada Airin.
“Dia sudah lama berhenti konsultasi, tetapi baru-baru ini, saya mendapat kabar bahwa dia mulai mengalaminya lagi. Jika dia sudah siap untuk memulainya, saya ingin kamu yang membantunya,” lanjut Profesor Gutama.
“Apakah tidak apa-apa?” ragu Airin, meremat map di tangannya. “Maksud saya, saya baru saja pindah ke Rumah Sakit Yulda, dan tentunya banyak dokter yang lebih kompeten dari saya. Pasien ini juga pasien lama, setidaknya dokter lain mengenalnya dengan baik.”
Profesor Gutama terkekeh pelan, menepuk pundak Airin seraya mengangguk yakin. “Iya, memang benar, tetapi saya lebih percaya Dokter Airin untuk menanganinya. Maaf telah menyusahkanmu, saya harus pergi sekarang.”
“Baik kalau begitu, saya akan berusaha sebaik mungkin. Semoga penelitian Profesor berjalan dengan lancar.”
Airin menghela napas pelan saat pintu ruangannya tertutup rapat, menyisakan suara televisi yang masih menayangkan berita tadi. Airin tersenyum kecil, membaca nama di layar, Arjune Kavindra Savian. Best CEO of The Year itu tengah menyampaikan pidato kemenangan bersama piala di tangannya.
“Selama beberapa tahun ke belakang, terjadi banyak hal di Key Entertainment. Perpindahan jabatan yang dilakukan secara tiba-tiba, tentu saja berdampak pada pelaksanaan kinerja dalam perusahaan. Namun, berkat dukungan dan kerja sama yang baik antara semua pihak di Key Entertainment, saya mampu mengembalikan kondisi seperti semula bahkan membawa Key Entertainment sampai pada titik ini.
“Melihat kinerja baik dari kita semua, tentu penghargaan ini bukan hanya milik saya, tetapi milik kita bersama. Di masa depan, saya akan terus berusaha untuk memberikan kontribusi yang lebih baik lagi dan mengerahkan kinerja terbaik yang belum saya tunjukkan. Saya juga akan berusaha mempertahankan citra positif perusahaan kami. Terima kasih.”
“Dia selalu mempesona,” gumam Airin. Untuk beberapa saat, ia mengagumi pria itu. Sangat tampan dalam balutan jas abu-abu yang membungkus tubuh atletisnya. Berbicara dengan penuh wibawa, mengalihkan seluruh atensi hanya tertuju padanya.
“Baiklah. Semangat, Ai!” sorak Airin pada dirinya. Ia beralih duduk di kursi putar, meletakkan dokumen pasien di meja. Airin akan mempelajari dokumen itu sebelum melakukan visit setengah jam lagi.
Airin meraih pensil di desk set untuk menandai hal penting. Beberapa detik berlalu, Airin terpaku dengan sorot tak terbaca. Berulang kali ia memastikan nama yang tertera di kertas itu, berharap bahwa terjadi kesalahan. Namun, tiga kata itu tidak juga berubah.
“Tuhan, apa lagi ini?”
= DMG =
Range Rover Evoque yang dikendarai Arjune berhenti di depan gedung Key Entertainment. Terlihat beberapa pengawal berbondong-bondong menyambut sang bos besar. Secara otomatis, mereka berdiri di sepanjang pintu masuk.
Arjune menyerahkan kunci mobilnya kepada security, lalu melangkah masuk bersama Jayden – sekretaris pribadi – yang menunggunya.
“Pagi ini, kita sudah menerima beberapa demo lagu untuk diperiksa, Presdir,” kata Jayden.
“Hm, saya akan memeriksanya nanti. Tolong beritahu manajer X9 untuk segera menemui saya terkait persiapan comeback. Saya ingin berdiskusi dengan para member,” pinta Arjune.
“Baik ... Saya akan menyelesaikan pekerjaan setelah mengantar Ibu membuka jahitan.” Jayden menekan tombol lift untuk Arjune. “Tapi, jika memakan waktu yang lama, bolehkah saya tidak kembali ke kantor?”
Arjune mengangguk singkat, menepuk pundak Jayden pelan sebelum masuk lift. “Ibumu lebih penting. Hati-hati nyetirnya.” Arjune tak lagi menggunakan bahasa formal. Selain menjadi sekretaris, Jayden adalah sahabatnya sejak sekolah dasar.
“Hm.” Lift tertutup, Jayden bergegas pulang untuk menjemput ibunya.
Setengah jam kemudian, ibu dan anak itu sampai di Rumah Sakit Yulda, rumah sakit terbesar di ibukota. Saat ini, keduanya sedang melakukan pendaftaran ulang di bagian administrasi. Setelah itu, mereka menunggu giliran dipanggil.
Jayden bergerak gelisah, mengalihkan perhatian Ibu Lila kepadanya.
“Kamu kenapa, Jay? Bisulmu kumat? Duduk yang tenang. Kamu membuat kursi bergoyang,” tegur Ibu Lila.
“Kok, ibu fitnah bisul. Aku kebelet, Bu,” sahut Jayden, melirihkan suaranya di akhir kalimat.
“Kalau kebelet, pergi ke toilet, bukannya disko di kursi,” seru Ibu Lila.
Jayden sudah tidak tahan. “Ibu tak apa kutinggal?”
“Hadeh, ibu bukan anak kecil, Jay. Cepat sana, nanti ngompol lagi.”
“I-iya. Jay pergi dulu, ya, Bu.”
Jayden berlari kecil menyusuri koridor, berharap segera menemukan toilet. Namun, mendadak langkahnya berhenti. Ia mematung, menatap punggung seorang wanita yang berada tidak jauh dari tempatnya berdiri. Membutuhkan beberapa detik untuk Jayden merespons kejadian tak terduga ini.
“Airin ….” panggil Jayden setelah yakin dengan penglihatannya.
Wanita itu tampak bingung, menoleh ke sekitar mencari si pemanggil. Ia tersentak saat ada yang menepuk bahunya. Bak slow motion, ia berbalik. Sontak netranya membola. “J-jayden?” lirihnya tak percaya.
Jayden tersenyum lebar dengan perasaan lega melingkupinya. Akhirnya, setelah sepuluh tahun berlalu, mereka bertemu lagi. “K-kamu tunggu di sini bentar. Jangan cosplay jadi Cinderelli lagi, oke! Aku baru ingat kalau harus ke toilet.”
Jayden berjalan mundur. “Yaah, jangan pergi! Kamu udah janji,” pekiknya, berlari cepat masuk toilet.
Airin tertawa pelan. Belum hilang dari keterkejutannya, ia dibuat mati kata oleh teman semasa SMA-nya itu. “Aku udah ketemu Jayden, tinggal nunggu waktu aja ketemu dia juga.” Memikirkannya saja membuat jantung Airin berdebar.
= DMG =
Di sinilah mereka sekarang, duduk bersisihan di kursi taman rumah sakit. Selama beberapa menit, mereka masih bungkam, hanyut dalam pikiran masing-masing. Rasanya sedikit canggung. Maklum, mereka tidak pernah bertemu lagi setelah prom night.
“Kamu … apa kabar?” Jayden berinisiatif membuka obrolan.
“Kayak yang kamu lihat.” Airin tersenyum, memainkan jarinya.
“Em, kamu di sini … siapa yang sakit?” tanyanya.
“Aku nganter Ibu buka jahitan. Dua minggu lalu, lengannya nggak sengaja kegores paku,” jawab Jayden.
Airin mengangguk mengerti.
“Kapan kamu kembali?” tanya Jayden lagi.
“Dua bulan yang lalu,” cicit Airin, tidak berani menatap pria itu.
“Udah dua bulan dan kamu nggak pernah ngabarin aku? Wah, aku nggak nyangka kamu bisa sejahat itu.”
Airin tersenyum kikuk. Ia bahkan terlalu malu menemui teman dekatnya setelah pergi tanpa pamit. “Jangan salahin aku, kamu aja yang ganti nomer.” Itu benar, Airin sempat mencoba menghubungi Jayden, tetapi naas, nomor pria itu tidak bisa dihubungi.
“Nomerku keblokir karena nggak pernah keisi pulsa, hehe.” Jayden mengusap tengkuknya, malu.
“Nggak heran, sih. Problematik pengguna wifi,” komentar Airin.
“Kamu juga susah dihubungi, apalagi kamu pergi gitu aja, tapi nggak masalah. Mungkin ada sesuatu yang emang nggak bisa dibicarakan. Aku senang ketemu kamu lagi sekarang,” imbuh Jayden, tersenyum manis menunjukkan lesung pipinya.
“Maaf, situasinya sangat mendesak, sampai nggak sempat ngasih tahu yang lain,” ungkap Airin penuh penyesalan.
Tidak ingin membahas masa lalu, Jayden mengganti topik pembicaraan. “Ngomong-ngomong, kamu kerja di sini?”
Airin mengangguk senang. “Aku seorang psikiater sekarang.” Ia menunjukkan tanda pengenal yang menggantung di lehernya.
dr. Airin Jovita, S.Kj
“Wah, selamat,” kata Jayden antusias, baru menyadari jas putih yang dikenakan Airin. “Oh, iya, kamu nggak mau ketemu Arjune duluan? Aku yakin, dia pasti senang ketemu kamu.”
“Iya, dia pasti senang jahilin aku lagi,” keluh Airin.
Jayden tertawa mendengarnya. “Tenang aja. Aku akan jadi pemandu sorak sambil nyemilin pop corn.”
“Huh, kamu emang suka banget lihat aku sama Arjune kayak Tom and Jerry.”
Airin terdiam, meremat tangannya yang berkeringat. “Jay ….”
“Hm?” Jayden menoleh, menunggu Airin yang tampak ragu berbicara.
“A-aku … aku yang akan jadi dokter pribadi Sean.”
= DMG =
“Takdir itu lucu karena selama apa pun kamu pergi dan berusaha menghindar, pada akhirnya, kamu dipertemukan dengannya lagi bahkan dalam keadaan yang tak terduga.”