Hiks … hiks … hiks
Mendengar isak tangis tertahan dari kursi sebelah, Selgi menoleh bertepatan dengan lampu bioskop yang menyala. Ia mengernyit bingung melihat Yerin menangis tersedu-sedu. Wajah gadis itu tampak menyedihkan dengan mata sembab dan hidung memerah.
Hiks … srooot
Selgi meringis tatkala Yerin menarik ingus kuat. Ia mengambil tisu di dalam tas selempangnya, menyerahkan beberapa lembar pada Yerin. “Sedih banget, ya?”
“Huaaa ….”
Bukannya menjawab, Yerin semakin menangis deras. Sontak Selgi meraih kepala Yerin, menyembunyikannya di ceruk leher. Ia tersenyum malu pada setiap penonton yang melihat ke kursinya sebelum keluar ruangan.
“Udah nangisnya, itu cuma film.” Selgi menepuk pelan punggung Yerin, berusaha membuat gadis itu tenang. Pandangannya beralih pada layar lebar yang masih menampilkan credit film.
“Nggak bi-bisa … hiks … air matanya … hiks … nggak mau be-berhenti … huaaa.” Yerin menarik kepalanya, menyeka air mata dengan tisu yang diberikan Selgi.
Selgi tertawa kecil melihatnya. Gadis yang lebih muda dua tahun darinya itu tampak sangat lucu, seperti balita yang meraung meminta susu. Selgi merapikan rambut Yerin yang sedikit berantakan. Ia mencubit pipi gembul itu saking gemasnya.
“Udah, dong, nangisnya. Cantiknya nanti ilang, lho,” bujuk Selgi.
“Hiks … kemusuhan sama pe-penulisnya. Te-tega banget matiin tokoh utama,” protes Yerin, masih sesenggukan.
Selgi tersenyum lembut. “Berarti akting Sean berhasil, dong, sampai buat kamu nangis gini.”
Yerin mengangguk, menatap Selgi. Tangisnya pun sudah reda. “Kak Sean emang nggak pernah gagal. Kak Selgi nggak sedih? Meskipun cuma film, nyeseknya sampai ke tulang-tulang.”
“Sedih, sih, keluar air mata dikit. Nggak tahu kalau nonton sendiri.” Selgi merapikan barang-barangnya. “Yuk, pulang! Besok, aku harus ke kantor.”
“Loh, masih belum selesai training-nya?” tanya Yerin. Ia berdiri, berjalan keluar dengan tangan bergelayut di lengan Selgi.
“Udah. Aku mau ketemu Kak Dina buat bahas tentang keypatt.”
Yerin mengangguk, mengepalkan tangan bebasnya ke udara. “Semangat. Mungkin besok Kak Lulu ke kantor. Jadwal terbitnya udah keluar.”
“Iya, ‘kah? Wah, nggak sabar. Pasti bakalan pecah banget.”
Itu adalah kalimat terakhir yang didengarnya. Seorang pria berpakaian tertutup, lengkap dengan topi dan masker hitam yang menutupi wajahnya, masih di sana. Ia duduk tepat di depan gadis yang menangisi kematiannya di film. Netranya menyorot lurus pada dua gadis itu hingga menghilang ditelan pintu.
Osean Kavindra Favian, lebih dikenal dengan nama Sean Kavindra adalah seorang aktor dan model kelas A. Tanpa diketahui oleh siapa pun, Sean dengan penampilan ninjanya, menyusup di antara penonton. Beruntung tidak ada yang mengenali Sean. Semua penonton hanyut dalam film yang diperankannya.
“Syukur, deh, kalau feel-nya dapat. Menurutku, kurang dikit lagi,” gumam Sean, melangkah keluar dengan kedua tangan dimasukkan saku jaket.
= DMG =
Selgi berlari kecil masuk gedung Key Media – tempatnya bekerja – setelah menyampirkan helm di spion vespa kuningnya. Sampai di ruangan khusus para penulis, Selgi menyalakan lampu. Melangkah pelan menuju kubikel untuk mengambil ponselnya yang tertinggal.
“Huh, untung ada di sini.”
Tidak langsung pulang, Selgi memperhatikan ruangan yang dipijakinya. Sepi. Hanya ada dirinya di lantai tiga, dan beberapa satpam penjaga yang ia temui di sepanjang lorong. Mengingat saat ini hampir masuk tengah malam.
Selgi Gianina Aubrey. Seorang penulis amatir yang baru bergabung dengan sebuah perusahaan penerbit terbesar se-antero negeri. Sudah hampir dua bulan, ia menjadi bagian Key Media dan menyelesaikan masa training dengan baik. Besok adalah awal baru untuknya, di mana ia akan kembali menulis karya yang sempat tertunda.
Selgi menghela napas panjang, berdiri di depan dinding kaca yang menampilkan gedung Key Entertainment. Bangunan dua puluh lantai itu tampak megah diselimuti gemerlap lampu di bawah langit malam. Selgi mendekat, meniup kaca itu sebelum menggerakkan telunjuknya di sana, merangkai sebuah kalimat. Dreams will come true.
Selgi bersedekap, tersenyum haru menatap kalimat itu. “Kalau ini cuma mimpi, aku harap nggak akan pernah bangun lagi.”
= DMG =
“Seaaan, kamu pergi ke mana sampai jam segini belum balik?”
Sean segera menjauhkan ponselnya kala suara cempreng itu memenuhi gendang telinga.
“Bisa habis digorok Pak Bos kalau sampai kamu kenapa-napa.”
Sean tetap diam, membiarkan asistennya mengoceh panjang lebar. Ia lebih tertarik memperhatikan lalu lintas ibukota yang tak pernah tidur meski sudah masuk tengah malam. Saat ini, Sean duduk di kursi taman jalan, seorang diri tanpa melakukan apa pun. Sudah lama sejak terakhir kali berada di keramaian, tentu masih dengan penyamaran yang ketat.
Ngeng … ngeng … ngeng
Suara bising kendaraan berlalu-lalang semakin membuat Nara panik. “Sean, jangan bercanda! Cepat kasih tahu kamu di mana!”
“Di pinggir jalan,” lirih Sean.
Terdengar suara grasak-grusuk di seberang sana. “Jalan mana, Se? Jangan aneh-aneh, deh.”
Sean tidak menjawab. Entah sejak kapan, sorot tajamnya berubah kosong. Sean bagai raga yang kehilangan jiwanya.
“Sean, dengarkan aku!” Kali ini, Tomi – manajer Sean – yang berbicara. “Nyalakan GPS, aku jemput sekarang.”
Butuh beberapa detik untuk bisa merespons perkataan Tomi. Napas Sean sedikit tersengal, dengan tangan bergetar, ia menyalakan GPS ponselnya.
Sean benci berada pada posisi ketika tidak bisa melakukan sesuatu. Ia hanya diam, memendam setiap gejolak dalam tubuhnya. Sungguh, ini menyakitkan. Nyatanya, Sean masih terbelenggu masa lalu yang menyesakkan.
“Boleh aku berhenti aja?”
= DMG =
“Tolong, tanyakan kepada semesta, kenapa Dia begitu tega? Katanya, there will be happiness at the end of the pain, but when? Honestly, I’m so tired.”