Di tengah minimnya pencahayaan, seorang pria meringkuk di sudut ruang. Kepalanya tenggelam pada lipatan lutut disertai racauan yang terdengar samar. Kedua tangannya kompak menutup daun telinga tatkala menangkap seberkas kilat diikuti gemuruh hebat. Tak perlu menunggu lama, hujan deras mengguyur daratan, menjadikan tanah lengas menguar aroma petrikor yang khas.
Lelah berperang dengan pikirannya, pria itu berdiri, melangkah gontai masuk ke sebuah ruangan yang lebih gelap. Memperhatikan detail penampilannya, pria itu terlihat sangat kacau. Surai hitam yang menutupi dahinya awut-awutan, piyama birunya tak keruan; tiga kancing menghilang entah kemana.
Oh, tidak! Sejak kapan terdapat banyak noda darah di lantai? Noda itu tentu berasal dari pria yang kini bersandar di dinding kaca, tetapi pria itu tampak tenang, tidak menunjukkan raut kesakitan bahkan mendesis pun tidak. Pecahan kaca pasti menimbulkan rasa nyeri ketika menembus kulit. Apakah dia sudah mati rasa?
Perlahan tubuh pria itu meluruh ke dalam wadah berbentuk balok. Ia bersandar, menatap datar luka di punggung tangannya. Darah yang terus mengalir memberikan kesenangan tersendiri untuknya.
“Aku akan memenuhi keinginanmu … Apa kamu puas?” Pria itu berguman tenang, tetapi luapan amarah tampak jelas di kedua bola matanya. Perlahan netra itu terpejam seiring pasokan udara yang kian menipis. Sebelum kegelapan merenggut kesadaran pria itu, ia bisa mendengar seseorang meneriakkan namanya.