"Arrrggghhhh!!!"
"Berisik!" Teriak adikku sambil melempariku bantal ke dalam kamarku. "Pagi-pagi bisa tenang gak sih!"
Aku bangun dari kasurku dan membalas lemparannya. Dia langsung bisa menangkisnya dengan cepat. Maklum dia belajar bela diri aliran aikido, gak kaya aku yang fokus ke seni tata rias. Padahal dia cewek. Akhirnya kami perang bantal.
"Udah-udah! Bukannya bangun lalu mandi, malah main bantal!" omel mama yang lewat di depan kamarku.
"Nih, Ma! Pagi-pagi kakak udah kesurupan. Udah teriak-teriak ganggu orang!" adu Nicky tak tahu diri.
Aku memalingkan muka. "Maaf, Ma. Aku abis mimpi buruk. Terus bangun karena kaget."
Mama memperhatikanku dengan seksama. Tentu saja beliau tahu aku berbohong dari sikapku yang memalingkan muka. Beliau seorang psikolog yang terlatih memperhatikan manusia. Tapi mama tidak mempermasalahkan itu. Beliau menyuruh Nicky untuk segera mempersiapkan diri ke sekolah lalu masuk kamarku. Sementara Nicky mengejekku, karena dia yakin bahwa aku akan dimarahi oleh mama.
Padahal tidak. Mama hanya duduk disampingku dan bertanya, "Vicky, kamu kenapa? Kamu ada masalah saat naik gunung kemarin?"
Mamaku sadar betul kalau aku punya masalah disana. Mungkin terlihat dari wajahku yang kusam setelah turun dari gunung. Tapi aku selalu menutupinya, "Gak, Ma. Aku cuma capek."
Mama menghela napas. "Okay, istirahat yang cukup ya. Mungkin kamu kurang tidur disana ya?"
"Iya, Ma," jawabku singkat.
"Oh, ya!" Mama mengeluarkan ponselnya dan membuka Instagram-nya. Lalu memperlihatkan postingan foto yang ku upload setelah pulang dari sana. Ada foto lima orang : Aku, Ariel, Reval, Randa, dan Angga saat kami sudah mencapai puncak gunung. "Mama penasaran. Kemarin kan kamu bilang hampir dibunuh dan diperkosa kan? Pelakunya yang mana?"
Diantara keluargaku, cuma mamaku yang mau menanggapi ceritaku. Beliau sadar bahwa aku tidak bohong, tapi ayah dan adikku tidak peduli. Maka dari itulah mamaku sering bertanya hal seperti ini. Tapi sekarang, aku tidak memperdulikannya. "Udah selesai, Ma. Gak usah diungkit lagi. Aku udah gak ketemu mereka kok."
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Coba ku lihat layarnya. Argh! Sial! Pip! Ku tutup telpon itu. Ini adalah telpon Reval ke tujuh sejak tadi malam saat lomba. Banyak chat juga dari dia, tapi tak ku tanggapi. Dan dialah juga yang membuatku teriak di pagi hari. Kenapa sih dia menerorku? Mau minta penjelasan? Atau ingin membuatku tambah malu?
"Reval? Itu salah satu teman barumu?" tanya mama setelah melihat layar ponselku.
Aku segera menyembunyikannya dari beliau. "Apaan sih, Ma! Ini cuma orang iseng," kataku lalu aku berangkat ke kamar mandi.
***
Sial! Saat kuliah pun aku jadi gak fokus. Reval masih mencoba menghubungiku. Seharusnya aku blokir saja nomornya. Tapi gak enak juga. Dia gak salah. Aku yang salah. Dia juga selalu mengirimiku chat, tapi tidak pernah ku buka, apalagi ku balas.
Argh! Ini membuatku gila!
"Vicky...," panggil seseorang di gerbang fakultas.
Aku terkejut. Saat pulang, Reval malah sudah menungguku disana. Aku segera berbalik dan berjalan menuju gerbang belakang. Grep! Reval segera menarik bajuku dan merangkul pundakku.
Apa-apaan itu?! Dia gak mikir kata-kataku kemarin apa?
"Hei, aku udah nelpon kamu bolak-balik. chat juga. Tapi gak pernah kamu angkat dan balas!" katanya.
Ku lepas rangkulan tangannya. "Kemarin gue udah bilang kaya gitu, kenapa elo masih nyari gua?"
"Lah, kamu beneran gak baca chatku! Aku udah bilang kan! Aku kesini gak bahas kejadian kemarin! Aku hubungi kamu karena aku butuh bantuan. Hidupku dalam bahaya."
"Hah??!! Sejak kapan elo jadi penakut gini?! Biasanya elo kan suka bahayain orang lain!"
"Sebenarnya sejak dari gunung, aku belum pulang ke rumah."
"HAH??!!!"
***
Ku lihat dan ku pilih tas wanita yang menurutku paling cocok. Lalu ku bawa ke kasir. Reval membayarnya dengan kartu kreditnya. Lalu kami keluar dari toko tas tersebut.
"Thanks ya, udah bantuin aku milih tas. Kalo gak gini, mamaku gak akan bukain pintu rumah," ucap Reval dengan rasa terima kasih yang sangat besar.
"Eh, jadi elo selama ini tidur dimana hah?! Sampe gak pulang-pulang! Bang Toyib aja kalah!" Omelku.
"Kadang aku tidur di kampus. Kadang di bengkel tempat kerjaku. Kadang nyewa kos harian. Aku gak pulang soalnya pas ke gunung itu aku gak bilang-bilang ke mamaku. Ingat kan kata Ariel dulu? Akhirnya dia yang lapor ke mamaku. Alhasil mamaku ngomel di telepon," terangnya tanpa rasa bersalah. Aku ingin mengomelinya lagi, tapi dia segera dia menarikku ke salah satu stand es boba di mall ini. Aku melepas tangannya. Aku tidak ingin dia terlibat gosip aneh karena bergandengan tangan dengan cowok androgini sepertiku. Tapi dia lebih menggenggamku erat. Bahkan dia membelikan ku es boba juga.
"Berhenti memperlakukan gue berlebihan kaya gini. Bukannya elo dah tahu tentang gue kemarin?" Kataku sambil menutup mulutku.
"Kenapa? Ada yang salah? Aku paham maksudmu-"
"KALAU ELO PAHAM, SEHARUSNYA ELO GAK SAMA GUE SEKARANG!" teriakku padanya. "KALO ELO SAMA GUE, ELO BAKAL DICAP GAY! BUKANNYA ELO JIJIK SAMA GUE, HAH?! SEHARUSNYA ELO JAUHIN GUE, DARIPADA PERASAAN GUE MAKIN GAK KARUAN!"
"Aku gak bisa. Bukannya ini yang kamu inginkan?"
"BUKAN! BUKANNYA ELO-"
"Kamu ingin aku bertanggung jawab kan?"
"Hah?" Aku mendongak dan menatap matanya. Tatapannya serius. Tidak sedang bercanda atau berbohong.
"Kemarin kamu minta aku untuk bertanggung jawab kan? Atau ada hal lain yang seharusnya aku lakukan?"
"Haha. Bertanggung jawab hah? Bertanggung jawab dengan cara mengajakku jalan-jalan tanpa ada hubungan yang jelas-"
"Kalau kamu ingin pacaran, aku juga terima."
"Hah???!!!!"
"Atau ada yang lain?"
"Pa.. pa.. pacaran?" Aku gugup mengucapkan kata itu. "E.. elo gampang banget mengucapkan itu. Elo bakal jadi gay tahu!"
"Seluruh hidupku udah dipandang buruk sama orang lain. Udah dicap kriminal, psikopat, dan lainnya. Jadi aku tidak masalah dengan hal itu. Tapi kalau kamu gak mau dicap seperti itu ya tidak apa-apa. Ayo lakukan sembunyi-sembunyi. Agar hatimu lebih tenang dengan jelasnya hubungan ini."
"Elo ngelakuin karena terpaksa? Sorry, aku gak mau nerima orang karena terpaksa karena emosi kemarin. Aku-"
Reval segera menarik tanganku dan memojokkan tubuhku di tembok. Tangan kanannya menutup kedua mataku dan cup! Bibirnya mendarat ke bibirku. Semuanya dilakukan dengan begitu cepat, hingga aku seperti lupa bernapas. Aku kaget dengan apa yang dilakukannya padaku. Wajahku memerah. Tangan kanannya terlepas dari mataku. Aku dapat melihat senyum nakalnya. "Dengar ya, orang yang terpaksa memacarimu tidak akan menciummu tepat setelah jadian dengan senang hati. Dan sekarang, aku senang sekali melakukannya," godanya.
"Elo goblok ya! Kalau ada orang lewat gimana?" omelku dengan wajah merah.
"Tenang, aku udah nutupi mukamu pake tanganku. Kamera CCTV pun gak tahu," katanya.
"Kenapa elo melakukannya?" Tanyaku malu-malu.
"Karena aku suka. Kamu cantik."
"Meskipun aku laki-laki?"
"Vicky adalah Vicky. Karena kamu Vicky yang aku kenal, aku menyukaimu," kata Reval yang seperti gombal. "Jujur saja, aku senang banget lo bilang minta tanggung jawab kemarin. Soalnya aku pun mikir keras soal perasaan ini. Rasanya jadi plong sekarang."
"Kemarin katanya elo jijik."
"Aku kan gak bilang jijik sama kamu. Aku bilang jijik kalo aku yang disuruh dandan. Kalo Vicky ya terserah. Vicky jauh lebih cantik jadi diri sendiri."
Entah berapa kali aku mendengar dia memuji kecantikanku. Ku peluk dia. Ku sembunyikan kepala ku di bahunya. Dia pun sama. Memelukku erat. Aku berbisik, "Aku sayang kamu, Val."
"Aku lebih sayang kamu. Lebih dari siapapun," katanya lembut.
***
Petualangan kami di mall belum berakhir. Reval mengajakku berkeliling di mall dan taman sebelahnya. Tangannya selalu menggandeng tanganku, seperti tidak ada masalah jika ada orang lain yang menemukan kami pacaran. Dia bahkan membelikanku es krim, seakan-akan aku ini cewek. Aku terima saja pemberiannya. Kami juga sempat berfoto berdua ditaman. Reval benar-benar tidak peduli pada sekitarnya. Tidak seperti aku yang sibuk melihat kesana kemari. Seolah-olah, hanya ada aku dimatanya.
"Rasanya pengen ke gunung lagi, tapi cuma berdua," katanya saat menyandarkan kepalanya di pundakku. "Ariel dan Angga benar-benar ganggu kemarin."
"Kalau cuma berdua, emang mau ngapain? Main Truth or dare berdua doang?" Tanyaku polos.
"Kita kan bisa melakukan banyak hal menyenangkan lain disana!"
Cuma berdua ya? Eh, kemarin kan aku dan dia banyak melakukan hal berdua saja. Seperti tidur berdua dan duduk berdua di luar tenda menunggu matahari terbit. Berarti kita sudah melakukan banyak hal romantis bersama disana. Mungkin itulah yang membuat Reval senang disana.
Tunggu, kalo pasangan cuma berdua saja menginap di suatu tempat, biasanya mereka melakukan hal-hal aneh kan? Kaya ....
"Vick, wajahmu merah. Ada apa?" Tanya Reval. Lagi-lagi dia menempelkan dahinya ke dahiku. "Sakit panas ya?"
Aku segera menjauh. "Gak-gak. Gue cuma gak siap buat yang itu!"
"Gak siap? Gak siap apa? Pikiranmu kemana?"
Sial! Jadi cuma aku yang mikir terlalu jauh ya?
"Vick, tolong ya!"
Ya ampun, baru aja jadian. Masa harus bertengkar karena pikiranku ini?
"Kita kan udah pacaran. Jangan pakai gue-elo lagi ya."
"Oh itu rupanya. Aku kira apa. Kamu sendiri malah pake aku-kamu dari awal kita ketemu."
"Kalau khusus kamu, aku panggil 'darling'."
Blush! Wajahku memerah lagi.
"Darling....," panggilnya lirih dan jahil. Aku langsung menjauh karena deg-degan dan menepuk punggungnya karena gemas.
***