Ah, aku tertidur rupanya. Pipiku terasa basah. Mataku lelah. Ku usap pipiku dan ku kucek mataku. Eh, apa aku tadi menangis sebelum aku tidur? Perasaan aku tadi tidak kenapa-napa. Ku buka mataku. Sekarang di hadapanku berbeda. Saat kemarin malam, wajah sakit Reval yang ada di hadapanku. Sekarang ada Ariel yang tertidur dengan posisi tubuh yang tak karuan. Ah, tangan dan kakinya yang sering berubah posisi hingga mengenai wajahku, itulah yang membuatku tidak nyaman tidur. Oh iya, Reval! Di tenda ini, tidak ada dia. Dimana dia? Masak tidur di luar karena Ariel yang tidurnya tidak karuan ini? Aku ingin mengeceknya.
Saat aku ingin membuka pintu tenda, aku terhenti. Perasaanku hari ini seperti roller coaster. Kemarin malam aku deg-degan karena tidur berdua dengan Reval. Saat siang, aku merasa seperti ingin menjadi-jadi saat dia selalu menolongku melewati jalan terjal. Saat sore, saat dia menarikku untuk ikut foto bersamanya, jujur aku merasa berbunga. Apalagi saat dia mencium pipiku saat permainan Truth or dare tadi. Aku tak bisa mengungkapkan apa-apa. Tapi semua berubah saat aku mendengar perkataan Reval tadi ataupun isi chat-nya. Dia tak ingin mencintai siapapun, tapi mendapat chat dari tante-tante dengan banyak emotikon love-nya. Apa-apaan itu?
Kalau dipikir-pikir kenapa aku jadi memikirkannya begini? Aku normal. Aku laki-laki normal. Itulah yang aku yakini sejak lahir. Walaupun ayah, adik, atau sekitarku mengira aku sebagai laki-laki aneh karena jurusan pilihanku ini, aku selalu menganggap bahwa aku orang normal. Tapi mengapa aku seperti ini? Dimana pikiran rasional yang membimbingku? Dimana akal sehatku dalam memikirkan soal cinta?
Sepertinya, aku merasa jadi orang irasional sekarang. Akal sehatku ngawur. Aku menyukai seseorang yang bukan seharusnya dan menjadi bukan kodratku.
Ping! Ponselku berbunyi. Ada pesan dari Angga. Oh ya, tadi aku tukaran kontak. Dia ingin mengajakku keluar dari tenda. Ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Kalau dia di luar tenda, berarti Reval tidak ada di disana. Bukankah mereka saling tidak akur?
Aku keluar dari tenda. Benar, dia sendiri di samping api unggun. Aku mendatanginya. "Ada apa, Ga?" Tanyaku heran.
"Sini. Duduk aja. Temenin gua," ucapnya sambil menepuk alas disampingnya. Aku pun duduk disampingnya. Dia menimang-nimang gelasnya.
"Apa yang dibicarakan dengan gua? Langsung aja, gua ngantuk!" Kataku tanpa basa-basi.
"Ah, udah ngantuk? Gak seru dong!" Keluhnya. Kepalanya menyandar ke bahuku. Aku merasa aneh. Aku mencium bau tidak enak, tapi aku tidak tahu apa itu. "Gue kasih tahu ya! Yang namanya cinta itu gak selalu mulus! Elu harus move on! Jangan kaya si Ariel itu!"
Ngomong apa sih? Nih orang mabuk ya?
"Vick, lupain Reval."
"HAH??? MAKSUDNYA?" Aku bingung setengah mati.
"Dia gak cocok sama manusia, apalagi yang indah kaya elo. Dia itu setan. Elo tahu kan?"
"Bentar-bentar. Sumpah gue bingung. Maksud lu apaan?" tanyaku dengan polos.
Tangannya langsung merangkulku dengan erat. "Gue tahu banget, Vick! Elu suka kan sama Reval, si psikopat bajingan itu. Lupakan dia! Dia udah bilang kan kalo dia gak bakal mencintai seseorang. Lupakan dia, lalu jadilah milik gua!"
Rasa bingungku berubah jadi rasa takut. Wajahnya semakin dekat dengan wajahku. Dia seperti ingin menciumku. Tidak! Jangan! Aku menahan wajahnya dengan tanganku. Tapi sial, dia segera mengunci tanganku dan memojokkan tubuhku di tanah. Kekuatannya lebih besar dari kekuatanku. Aku berusaha berteriak memanggil Ariel atau Randa, tapi tidak ada jawaban. Ekspresi wajah Angga tampak menyeramkan seperti predator. Tubuhnya hendak menindihku. Sial. Tolong. Siapapun. Tuhan, tolong.
Reval....
"Brengsek lo!"
Bruk! Tubuh Angga segera ditarik paksa dari atas tubuhku dan dibanting dengan keras. Aku kaget. Orang yang melakukannya adalah Reval, laki-laki terkasar yang pernah ku lihat. Dia segera menonjok wajah Angga tanpa ampun, walaupun tubuhnya sudah terpojok di tanah. Dia mengeluarkan kata-kata umpatan yang menghina Angga, namun matanya berkaca-kaca. Bukannya takut, aku malah terlihat kasihan pada Reval. Dia seperti sedang melampiaskan dendam.
"Ada apa ini?" tanya Randa yang tiba-tiba keluar dari tenda. Ariel juga keluar karena keributan yang dibuat oleh Reval dan kaget.
Aku segera memeluk Reval dari belakang untuk menghentikannya. "Udah, Val. Angga udah gak bisa apa-apa."
"Elo ngapain lagi, Val?!" bentak Randa. "Kenapa sih elo bikin kacau mulu?!"
"Elo yang ngapain hah?! Punya temen kok gak dijaga dengan bener?!" balas Reval dengan marah. Dia belum berhenti memukul Angga.
"Val, udah cukup. Angga udah teler," nasehat Ariel menenangkanku.
"JANGAN BILANG KAMU MASIH MEMBELA ORANG KAYA GINI! DIA MAU PERKOSA VICKY, RIEL! DIA TELER BUKAN KARENA KU TONJOK, TAPI KARENA DIA MABOK! KALIAN CIUM GELASNYA ITU!" terang Reval dengan marah, "KALAU KALIAN MASIH GAK PERCAYA, KALIAN COBA TANYA VICKY AJA!"
Aku terus memeluk punggung Reval, tapi dia segera melepasku. Randa dan Ariel memandangku untuk meminta penjelasan. Aku memegang lengan Reval dan mengangguk. Sebagai tanda aku berlindung pada Reval, dari apa yang dilakukan oleh Angga. Sementara Randa segera mengecek gelas yang dibawa oleh Angga tadi. Dan benar. Dari reaksinya, itu adalah bau alkohol. Aku terkejut. Bagaimana Angga bisa membawa benda itu kesini. Wajah Reval masih marah, tapi dia sudah berhenti memukul Angga. Dia memelukku dan menyandarkan wajahnya di bahuku. Aku masih merasa deg-degan, tapi aku tidak bisa melepaskannya. Aku dan dia merasa sama-sama terlindungi dengan pelukan ini. Aku dapat merasakannya di bahuku, dia sedang menangis. Dia menyembunyikan wajahnya dibalik bahuku. Sedangkan aku hanya bisa syok dengan kejadian yang ku alami barusan. Aku yang jadi korban, tapi aku merasa Reval yang malah tertekan. Aku berusaha menenangkannya. Sementara Ariel, aku merasa dia melihat kami dengan tatapan tajam menyeramkan.
***
"Vicky, kamu gak tidur?" Tanya Reval. "Tidurlah! Aku gak papa disini sendiri."
Semua keributan sudah berakhir. Angga diamankan di tenda bersama Ariel dan Randa. Sementara Reval memilih untuk tetap terjaga di dekat api unggun. Mungkin dia takut kalau Angga berbuat hal-hal aneh lagi. Sementara aku duduk disampingnya.
Sebenarnya aku ingin meninggalkan dia sendiri, tapi entah kenapa aku tak bisa. Setelah melihatnya menangis tadi, aku gak ingin meninggalkannya sendiri. Walaupun sebenarnya aku masih kecewa dengannya.
"Atau kamu masih nunggu jawaban yang tadi?" tanyanya lagi.
"Jawaban?" aku blank dan bengong, "Emang gua nanya apa tadi?"
"Apa benar aku jadi kriminal? Kenapa aku menyerang orang?" Dia menirukan pertanyaan yang ku ajukan tadi. Bahkan gayanya bertanya juga meniruku.
"Heh?? Gak usah dijawab. Itu kan privasi lo. Maaf gue kurang ajar...."
"Aku dulu punya adik perempuan. Dia manis, polos, dan baik pada semua orang."
Eh? Kenapa jadi cerita gini? Aku yang awalnya menolak jadi berubah penasaran.
"Tapi dia mati, setelah diperkosa tiga preman."
Hah? Aku menoleh padanya dengan kaget. Tatapannya terasa kosong menuju perapian, namun ucapannya mengandung dendam dan kepedihan.
"Lalu aku mengehabisi mereka semua dan masuk penjara."
Aku gak bisa meresponnya atau berkomentar apapun. Sekarang, aku memahami alasan dia melakukan semua itu. Alasan dia tidak menyukai Angga dari awal dan menghajarnya habis-habisan. Alasan kenapa dulu dia menyiksa preman dihadapanku. Tapi....
"Kamu pasti jijik ya sama aku?" tanya Reval.
"Gak."
"Lalu...."
Bukannya menjawab, aku bertanya hal lain. "Kenapa elo nyerang gue kemarin?"
Dia terhenyak sebentar dan menoleh padaku, lalu bertanya, "Kamu dendam sama aku?"
"Semua orang pasti dendam, tapi gua gak. Elo orang baik, pasti ada alasan. Makanya gue tanya."
Dia mengalihkan pandangan ke api unggun lagi. "Ada banyak hal yang ku takutkan di dunia ini. Kamu tahu kan aku pernah menyakiti orang? Aku takut ada orang yang dendam dan menyerangku dari belakang, dan aku pernah merasakannya. Makanya aku sering waspada dengan orang yang ada dibelakangku. Bahkan tidur dan jatuh cinta saja aku takut," terang Reval dengan masuk akal, "Maaf ya, untuk kemarin."
"Elo takut mencintai seseorang?"
Reval mengangguk dan tersenyum.
"Tapi pasti elo pernah jatuh cinta kan?"
"Semua orang juga gitu. Tapi gak semua orang bisa mendapatkan cintanya dan bahagia."
"Oh, sama kaya gue," celetukku kelepasan. Sial. Aku tak berhasil menahan ucapanku.
Reval jadi semangat mendengarku. Ekspresi wajahnya yang muram berubah jadi cerah dan penasaran. "Emang elo jatuh sama orang gimana?"
Sebenarnya sama kamu, Val. Kataku dalam hati, tapi aku tidak bisa mengatakannya terus terang. Aku tidak bisa mengatakan kalau aku ternyata tidak normal. Aku harus berusaha masih seperti manusia berpikiran rasional seperti yang lainnya. "Gue suka sama orang, tapi dianya gak suka gue. Kayanya gue bukan tipenya," curhatku. Iyalah, aku pasti bukan tipe Reval. Aku laki-laki. Tidak mungkin laki-laki semacho dan sejantan Reval malah menyukai seorang laki-laki dan menjadi gay. Apalagi dia sepertinya dekat dengan seorang tante-tante, walau bikin kesel sih. Tapi aku harus membuang jauh-jauh perasaanku ini.
"Kenapa kamu gak coba nembak dia?" tanyanya dengan kurang ajar.
Plis! Gimana gua nembak elo Val, kalau akhirnya elo bakal jadi jijik sama gua! Itu teriakku dalam hati. Tapi aku berkata, "Gue orangnya sadar diri, Val! Nah elo pasti juga pernah kek gitu kan?"
"Hehe. Iya. Aku juga pernah suka sama orang."
"Nah kan, kenapa elo gak nembak tuh cewek?"
"Karena aku tahu, aku gak pantas buat dicintai seseorang. Aku orang cacat."
Cacat? Cacat moral maksudnya? Karena pernah jadi kriminal, hah?
"Dengar ya, Val! Elo tuh sebenernya baik banget! Pasti orang yang dapetin elo tuh beruntung banget. Jadi gak ada salahnya untuk mencoba. Gue yakin elo pasti bisa."
"Makasih. Tapi aku terlanjur komitmen gak bakal nikah."
"Hah~ Itu lagi...."
****
Besoknya, matahari terbit. Kami berlima memandangnya dengan mata berbinar. Kami siap turun gunung dan pulang hari ini. Reval berulang kali memotret matahari itu. Dan aku merasa, hubungannya dengan Ariel masih belum beres. Aku heran dengan keadaan mereka berdua. Angga sudah sadar dari mabuknya, tapi dia dikawal dan diceramahi habis-habisan oleh Ariel dan Randa. Sementara Reval tidak menyapanya sama sekali. Dia lebih memilih untuk berjalan bersamaku, menggenggam tanganku untuk menjauh dari orang itu. Dia menjagaku dengan hati-hati. Tapi aku tahu, dia hanya ingin memperlakukanku seperti adik perempuannya yang tewas itu. Karena itu, aku tidak bisa berharap lebih. Tapi aku agak senang, dia hanya memperhatikanku di tempat ini. Hanya aku yang dilihatnya.
Lagi-lagi aku teringat dengan kontak di ponselnya. Seorang tante-tante memanggilnya sayang dengan banyak emotikon love itu. Kalau cuma saudara ayah atau ibu, pasti tidak akan ada emotikon seperti itu. Apa sebenarnya Reval berpacaran dengan tante itu? Gak mungkin banget kan! Reval bilang bahwa dia tak ingin berurusan dengan cinta. Atau tante-tante itu mengejarnya? Atau Reval hanya berbohong padaku? Tapi dari raut wajahnya, dia tidak tampak berbohong. Dia terlihat jujur dan apa adanya.
"Vick, ada yang salah dengan wajahku?" tanya Reval heran saat aku menatap wajahnya.
"Ah, gak! Haha." Sial! Dia tahu aku memperhatikannya. Aku pun segera membuat alasan, "Sebenarnya sebentar lagi gua punya kompetisi MUA. Wajah lo ternyata cakep juga. Jadi gua pikir kayanya elo cocok jadi model gua nanti."
Secara spontan, wajah Reval memerah. Entah karena pujianku atau tawaranku. Dia langsung membuang muka. "Ku pikir apaan. Jangan aneh-aneh!"
Ariel yang semula cemberut karena bermasalah tidak jelas dengan Reval, tiba-tiba tertawa. "Bener tuh, Val! Elo ikut jadi model Vicky aja! Bisa jadi populer tuh!"
"Ogah! Jijik! Kamu suka banget sih permainin orang!" omel Reval ke Ariel sambil menyenggolnya sebal. Akhirnya mereka bertengkar dan dengan begitu, mereka jadi bisa berkomunikasi lagi.
Tapi sekarang, justru aku yang jadi terkejut dan bungkam.
Jijik?! Kata Reval jijik?? Dia jijik pada kesukaanku ini??!!
***