Perjalanan ke gunung yang akan kita daki memakan waktu lima jam. Lama sekali hingga membuat badanku pegal. Dan terkadang...
Pluk! Sebuah kepala mendarat di bahuku. Aku kaget dan memandangnya dengan wajah panik. Siapa lagi kalau bukan Reval si tukang molor dan nyiksa orang. Aku heran, kenapa sedari tadi kerjaannya hanya tidur mulu. Bosan hidup ya?
"Sorry, Vick!" Bisik Ariel di sebelah kiri Reval. Tangannya meraih kepala Reval hingga terangkat dari bahuku menuju bahunya. "Kemungkinan si Reval lembur kerja kemarin biar bisa libur hari ini, makanya dia molor terus."
"Kalo molor mulu apa gunanya ikut coba?" Sela Angga. "Apalagi besok mulai daki. Jangan-jangan nih anak bakal nyusahin mulu. Elo kok bisa dapat temen macam ginian sih, Riel?"
"Tenang, dia gak bakal nyusahin. Gue yang tanggung deh!" jamin Ariel. "Sebenarnya Reval anak baik-baik. Dia gak bakal aneh-aneh kalau kita gak macam-macam."
Pandangan Ariel ke Reval terlihat sayu. Aku melihat tangannya yang hendak mengelus rambut orang itu, namun tidak jadi. Sesekali Reval berubah posisi tidur dengan mengangkat kepalanya dari bahu Ariel lalu bersandar pada sandaran jok mobil. Ketika tidur, wajahnya kelihatan sangat manis dan polos tanpa dosa. Sangat disayangkan wajah ini dimiliki oleh seorang psikopat seperti dia.
Kalau gua pasti udah jadiin dia model riasanku!
"Guys, berteman baiklah dengan Reval ya," kata Ariel. Tapi aku yakin, seisi mobil ini tidak ada yang menanggapi permintaan itu. Ariel pun menyadarinya dan menambahkan dengan berbisik, "Dia baik. Dia gak akan pernah menyakiti temannya. Dia cuma pernah mengalami hal buruk di masa lalu."
Aku melihat ekspresi Ariel. Wajahnya seperti rasa bersalah, tapi dialihkan ke jendela.
Aku tidak tahu masa lalu Ariel ataupun Reval. Mereka selalu bersikap seperti tak ada apa-apa. Hati mereka seakan tertutupi oleh kelakuan aneh mereka. Ariel yang suka berinteraksi orang lain ataupun Reval yang selalu dingin dengan sekitarnya. Entah kenapa aku merasa, ada yang terjadi diantara mereka.
***
Kami berlima sampai di sebuah rumah pada siang hari. Reval yang sedari tadi tidur pun akhirnya bangun. Dia yang menjadi paling segar diantara kami. Ariel, Randa, dan Angga juga terlihat masih bersemangat untuk mendaki, tapi masih kalah dengan si psikopat itu. Sementara staminaku yang paling payah diantara mereka semua, padahal pendakian belum dimulai. Aku tidak punya niat untuk kesini alias terpaksa, tidak ada persiapan sama sekali -tiba-tiba dikasih ransel gunung segede gaban oleh bokap, lalu naik mobil berjam-jam. Ya Tuhan...
"Kayaknya habis ini gua mau jadi kriminal," ucapku pada Ariel.
"Mau ngapain lo?"
"Balas dendam ke bokap yang bikin gua terjebak disini!"
Ariel langsung tertawa. "Memang lo siapa? Todoroki Shouto? Khun Aguero Agnes??"
(FYI Todoroki Shouto dan Khun Aguero Agnes adalah karakter anime yang diceritakan mempunyai masalah dengan ayahnya sendiri. Perbedaannya, Todoroki berasal dari anime Boku no Hero Academia, sementara Khun dari anime Tower of God.)
"Perlu ku ajari?" Tanya Reval dibelakangku.
"Ogah! Kalau elo, gua jadi kriminal beneran!"
"Lah, gimana sih?"
Rumah yang kami datangi adalah tempat milik warga desa ini yang disediakan untuk wisatawan atau pecinta alam yang ingin mendaki gunung. Aku baru tahu kalau si Ariel seserius ini untuk mendaki gunung. Sebelum benar-benar mendaki gunung, kami beristirahat sebentar dan memarkir mobil di tempat itu. Kami pun disambut para warga desa dan diberitahu hal-hal penting yang harus diperhatikan selama pendakian.
"Tidak boleh melukai atau membunuh makhluk hidup di gunung. Tidak boleh mengotori kawasan hutan. Tidak boleh mengganggu penjaga hutan disana. Tidak boleh berzina. Tidak boleh begini, tidak boleh begitu...," terang juru kunci gunung tersebut. Intinya seperti larangan yang diajarkan di pelajaran agama kita selama ini.
Tapi aku, Randa, dan Angga kompak melihat ke satu orang -Reval. Orang yang kita maksud itu memperhatikan arahan tersebut dengan seksama dan wajah yang datar. Apa orang itu bisa menghindari semua pantangan itu?
"Jadi kami tidak boleh berburu?" tanya psikopat tiba-tiba, membuat kami bertiga merinding.
"Maaf, mas. Untuk menjaga hewan gunung dari kepunahan, tidak boleh berburu. Kalau memancing ikan baru boleh," jawab juru kunci itu.
Ariel tampak menahan tawanya, lalu dia memberi solusi pada Reval, "Tenang, Val. Gua udah bawa bahan makanan kok. Elo jangan takut kelaparan."
"Aku pikir kalau di gunung tuh kan enak bakar daging yang masih seger!" Kata Reval kecewa.
Sehat ga sih pikiran orang ini?
"Ya kita bakar ikan aja! Gua bawa sosis lo, jadi kita bisa bakar itu juga!"
"Kalau sosis doang mah aku bawa."
Setelah pemaparan dari juru kunci tersebut, kami beristirahat sebentar sembari mengecek semua barang yang akan kami bawa.
Pukul satu, pendakian dimulai.
"Kami berangkat dulu ya, pak!" Salam Ariel pada juru kunci dan warga yang lain. Mereka membalas kami dengan lambaian tangan dan senyuman hangat. Kami pun mulai berjalan masuk ke hutan gunung. Randa dan Angga berada di paling depan. Aku dan Ariel berada di barisan tengah. Dan Reval paling belakang.
"Kamu sakit ya?" tanya Ariel tiba-tiba setelah melihat Reval yang baru meminum obat.
"Gak, cuma suplemen stamina doang," jawabnya datar.
"Jangan bohong!"
Reval tidak menanggapinya dan berjalan ke yang paling depan, di sebelah Randa. Ariel mengejarnya, tapi tetap tidak digubris psikopat itu. Sementara aku berada di paling belakang sendirian. Angga memperlambat langkahnya dan berjalan bersamaku.
"Jangan khawatir, Vick! Elo gak sendirian. Ada gua disini," katanya sok akrab.
Entah kenapa aku selalu risih dengan orang-orang seperti ini.
"Maaf, numpang jadi orang ketiga dong!" Kata Reval ikut memperlambat langkahnya dan berada diantara aku dan Angga.
"Sorry, gak butuh!" Kataku. Aku pun mengejar Ariel dan berjalan bersamanya. Sementara matanya sibuk memperhatikan Reval. Mungkin dia takut kalau cowok itu berbuat aneh-aneh.
Sebenarnya hutan ini tidak lebat. Nyaman sekali untuk dilihat. Namun medan yang kami lewatilah yang menyebalkan. Ada yang menanjak, becek, bahkan kadang aku tidak sengaja menginjak ular yang membuat kami lari tunggang langgang. Ya Tuhan, aku ingin pulang!
Dan mereka berempat hanya menertawaiku.
Perjalanan pun dihentikan saat hari mulai agak gelap. Kami mendirikan tenda di dekat sungai kecil. Dua tenda dengan pembagian menyebalkan : Randa dan Angga di tenda satu, lalu aku, Reval, dan Ariel di tenda yang lain.
Kenapa si Ariel selalu memasangkanku dengan Reval?!
"Eh, Riel. Aku gak tidur di tenda gapapa," kata Reval.
Eh?
"Hei, mana bisa begitu?! Elo gak kedinginan apa? Nanti elo sakit dan gak bisa daki lagi gimana?" omel Ariel.
"Kan kita perlu ada yang jaga kan pas kalian tidur," jawabnya.
"Kan bisa ganti-"
"Lagipula aku sudah bawa obat penghangatku," bangga Reval sambil memamerkan rokoknya. Randa dan Angga yang semula menjauhi Reval langsung menganggapnya rekan seperjuangan. Berteman dengannya karena rokok itu.
Kalau aku sih iyuh.... Rokok dapat menyebabkan bibir hitam, gigi kuning, dan kerutan di wajah. Sudah pasti aku menjauhinya. Tapi Ariel....
Set! Dia merebut rokok itu melemparnya jauh-jauh. "Sudah gua bilang berkali-kali, berhentilah merokok! Kenapa elo gak pernah dengerin gua sih!" bentaknya dengan kasar.
Suasana jadi hening dan panas seketika. Baru kali ini, aku melihat Ariel marah sampai sebegitunya. Aku tahu dia bukan perokok, tapi aku baru tahu kalau dia sangat membenci rokok.
Reval tidak terlihat merasa bersalah. Wajahnya malah terlihat kesal, namun bibirnya tersenyum sinis. "Buat apa aku dengerin orang yang hatinya budeg!"
Woy woy woy! Reval malah menyiram bensin pada amarah Ariel. Wajah temanku itu merah, tapi dia tidak membalas kata-kata itu sama sekali. Seakan-akan dia merasa tersindir dengan ucapan Reval tersebut. Aku bingung harus berkata apa.
"Oi, gimana kalau kita nyiapin makan dan mandi dulu! Sepertinya gara-gara naik mobil dan mendaki bikin kalian capek!" Kata Randa mencairkan suasana. "Kita bagi tugas dulu ya! Gua dan Angga cari kayu bakar."
"Hah?" Angga kaget dengan ajakan Randa.
"Aku mau masak," kata Reval, lalu pergi menuju tas ranselnya di tenda.
"Gue ikut kalian," kata Ariel sambil menarik Angga dan Randa untuk berangkat ke hutan.
Lalu aku? Aku harus ngapain? Katanya bagi tugas, tapi mereka tidak memintaku melakukan apa-apa dan membiarkanku sendiri. Huft.... Seumur hidup, baru kali ini aku berada di alam liar, jadi aku tidak tahu apapun yang harus ku lakukan. Ikut Pramuka aja sering bolos pas sekolah dulu. Lebih baik ku periksa dulu ranselku. Apa yang disiapkan ayah untukku di dalam sana.
Aku masuk tenda setelah Reval keluar dengan membawa pisau dan sekantung bahan makanan. Rasanya masih ngeri jika melihatnya membawa senjata tajam, membuatku teringat saat dia membawa linggis jumbo dulu untuk memukul orang sampai berdarah. Ah, apalagi cuma aku disini. Semoga aku tidak apa-apa.
Di tasku ini, ada beberapa stel pakaian, jaket, senter, tali, pisau, beberapa bahan makanan, dan lain-lain. Ayahku tahu apa yang dibutuhkan untuk hal seperti ini, karena beliau juga pecinta alam, tidak sepertiku. Oh iya, Reval tadi kan pengen daging tapi gak boleh berburu. Sementara aku bawa cornet.
Berarti cocok dong!
Aku membawa cornet dan bahan makanan lain ke tempat Reval yang sedang mengiris bahan makanan. Ku tepuk pundaknya dan berkata, "Val! Aku bawa-"
Set! Bruk!
eval langsung berbalik tiba-tiba. Tangan kirinya mencengkeram leherku hingga aku jatuh terjungkal, sementara posisi tubuhnya jongkok diatas tubuhku. Pisau yang digunakan untuk mengiris bumbu itu berubah jadi menghadap tepat di wajahku. Wajahnya tegang dan menakutkan. Aku sampai tidak bisa berkata-kata dengan benar. Aku dalam bahaya.
Aku akan mati hari ini.
"Re.. re... Val?" panggilku terbata-bata.
Aneh. Dia tampak terkejut. "Vick.. Ky....," panggilnya lirih. Badannya segera bangun dari atas badanku. Tangannya terlepas dari leherku. "Maaf.... aku...."
"EH, ELO NGAPAIN BRENGSEK??!!" bentak seseorang dari kejauhan. Itu Angga. Dia segera berlari ke kami dan menonjok wajah Reval. Psikopat itu pun langsung limbung.
"Ga, elo ngapain?!" bentak Ariel balik. Dia menghalangi kedua lengan Angga yang ingin menonjok Reval lagi.
"Elo gak lihat, Riel?! Dia mau nikam Vicky!"
"Hah, Val?" Ariel memandangi Reval dengan wajah tak percaya. "Elo gak mungkin kan...."
"Maaf, aku...." Reval berusaha membela diri, tapi tak bisa. Semuanya melihat kebenarannya. Reval berusaha menyerangku dengan pisaunya.
Tubuhku yang sejak tadi gemetaran tidak bisa ku gerakkan sama sekali. Aku ketakutan berhadapan dengan orang itu. Walaupun di hadapanku sekarang, dia tampak merasa bersalah. Randa membantuku untuk berdiri, tapi aku tidak sanggup. Akhirnya aku hanya bisa duduk selonjor di tanah. Wajah seram Reval masih terbayang, melukiskan trauma di benakku.
"Aku minta maaf," kata Reval lagi dengan nada sedih. Lalu dia menjatuhkan pisaunya ke tanah. Lalu dia pergi. Ariel melepas lengan Angga dan mengejarnya. Randa dan Angga masih bersamaku. Semuanya tidak pernah menyangka, si Ariel lebih memperdulikan psikopat itu daripada aku yang menjadi korban. Mereka berdua masuk ke pepohonan lebat hingga tak ada yang tahu.
Randa menyuruhku untuk beristirahat di tenda saja. Angga menanyakan keadaanku dan mencoba menenangkanku. Tapi aku tidak bisa berkata apa-apa. Pikiranku kosong. Wajah seramnya. Pisaunya. Cengkeraman tangannya. Semua kejadian itu masih terlintas di ingatanku berulang kali. Seperti kaset film yang rusak, selalu mengulang adegan yang sama berkali-kali.
Aku ingin pulang, kataku dalam hati.
Tak lama kemudian, Ariel kembali dengan wajah sedih. Sepertinya dia gagal meyakinkan Reval untuk kembali. Randa dan Angga sudah tidak menanggapinya. Mereka tidak mau melihat psikopat itu lagi. Aku pun juga begitu.
Kami pun melanjutkan aktivitas kami kembali. Membakar kayu, memasak, sembahyang, dan lainnya. Saat gelap pun kami bersenang-senang. Mereka berusaha menghiburku agar rasa takutku menghilang. Randa bermain gitar dan Angga bernyanyi. Ariel bertepuk tangan menyoraki mereka. Sementara aku hanya tersenyum kecut. Aku tidak bisa mengikuti kesenangan mereka.
Trauma itu tidak bisa hilang dalam sekejap.
Anehnya, sejak tadi senja hingga sekarang, aku tidak pernah melihat Reval. Apa dia benar-benar kabur dan tidak mau menemui kami lagi? Ini adalah hutan! Pasti dia tidak bisa pulang dengan mudah! Apalagi malam seperti ini. Katanya di gunung ini ada masih banyak binatang buas. Aku jadi teringat, setelah dia menyebut namaku lirih tadi, wajah seramnya berubah menjadi rasa bersalah. Ada apa dengannya? Mengapa air mukanya bisa berubah secepat itu?
"Vicky, lo kenapa?" tanya Angga. "Melamun? Masih takut?"
Aku menggeleng dan tersenyum. Sial, mengapa aku harus memikirkan orang itu? Dia adalah orang yang ingin menikamku!
Tiba-tiba Ariel pun berdiri. "Sorry, guys! Aku mau nyari Reval. Perasaan gua gak enak," katanya.
"Kenapa sih lo masih peduliin tuh anak? Dia mau nikam Vicky tahu!" Kata Randa.
"Mentang-mentang dia teman lo dari SMA, elo peduli banget sama dia timbang Vicky!" Sindir Angga.
"Bukan gitu," sela Ariel. "Gua udah kenal sama nyokapnya. Gak enak gua kalau dia hilang terus nyokapnya nangis. Bisa mati gua!"
"Ok, cari aja sendiri. Gua mau temenin Vicky aja," balas Angga sambil merangkulku. Sebenarnya aku risih, tapi aku membiarkannya saja. Aku lebih takut ancaman Reval daripada rangkulan Angga. Randa pun juga tidak mau ikut, walau sebenarnya dia juga bersimpati. Reval pantas untuk ditinggalkan.
Ariel pun pergi meninggalkan kami.
"Kalau lo masih takut, malam ini tidur aja sama kami," goda Angga. Geli sumpah gak enak. Dia mengatakannya tepat satu centimeter di dekat telingaku.
Aku langsung berdiri. Kesadaranku kembali karena kegilaannya. "Maaf, gak usah. Aku mau tidur sekarang," ucapku sambil berlalu. Aku masuk ke tenda dan mengunci pintunya dari dalam. Agar Reval, Angga, atau Randa tak bisa menggangguku. Jika Ariel kesinipun, aku tidak akan membukanya. Aku ingin sendiri. Aku muak disini.
Ting tong! Terdengar suara alarm ponsel berbunyi. Aku menoleh. Suara itu berasal dari tas Reval yang sejak tadi masih disini. Ah, kalau suara itu masih ada, aku tidak akan tidur. Ku buka saku tas ransel itu dan mengambil ponselnya.
"Hah? Alarm obat?"
***
"Hah.. ah.. uh...."
Jam tiga dini hari, aku terbangun. Aku bisa tahu jam itu karena melihat ponsel Reval yang ku pegang. Oh, aku ketiduran setelah mematikan alarm nya. Aku merasa merinding sekarang. Tidur di tenda sendirian, di tengah hutan seperti ini. Bukannya aku orang yang manja dan tak bisa tidur sendiri, tetapi...
"Huh.. ah..."
Suara rintihan itu terdengar lagi. Itulah yang membuatku merinding dan terbangun. Apa itu suaranya Ariel, Randa, atau Angga ya? Aku membuka kunci pintu tenda dan melirik keluar.
Itu Reval. Badannya terbaring di tanah dengan tangan yang memegangi perutnya di depan api unggun yang sudah mati. Tanpa alas atau selimut. Suaranya lirih merintih kesakitan. Aku langsung mendatanginya. Sampai aku lupa kejadian tadi sore.
"Val, elo kenapa?" tanyaku padanya yang tergeletak lemah disitu. Aku heran, mengapa Ariel, Randa, dan Angga tidak muncul? Apa mereka benar-benar tidak peduli lagi dengan orang ini.
Deg! Aku kaget saat melihat wajahnya. Wajahnya berkeringat dan pucat pasi. Aku juga dapat melihatnya, air matanya keluar. Tubuhnya lemah. Reval benar-benar butuh pertolongan!
Aku segera membawanya ke tenda, tapi dia menolak.
"Jangan. Aku berbahaya untuk kalian, apalagi kamu," tolaknya, "Jangan begini!"
"Apa-apaan itu? Elo sakit! Butuh bantuan! Mana bisa gua biarin elo!" Kataku ngeyel sambil membopong badannya ke dalam tenda. Ku bantu dia untuk berbaring dan ku beri selimutku. "Kamu butuh apa? Kamu belum makan malam kan?"
"Tas... Tas...ku... Mana?" tanyanya.
"Oh ya, obat ya," aku langsung mengambil kotak obatnya di tas ranselnya. Dia tampak ingin mencegahku, tapi terlambat. Aku mendapatkannya lebih dulu. "Tapi sebelum minum obat, kamu harus makan dulu." Ku ambilkan makanan yang masih tersisa tadi dan ku hadirkan di hadapannya. Ku bantu dia untuk duduk.
"Aku... Gak nafsu... Makan," katanya lirih.
"Ya ampun! Elo harus makan sekarang. Gak usah keras kepala!"
"Kenapa kamu menolongku? Aku sudah jahat padamu tadi," katanya sambil menunduk dan mengusap wajahnya, seperti sedang menyembunyikan air matanya yang mengalir tadi dengan lenganya. Aneh. Laki-laki yang menyeramkan sepertinya malah bisa menangis seperti ini.
"Udah! Jangan bawel! Gue paling gak bisa lihat orang susah di depan gue tahu!"
Matanya melebar, membuatku sedikit terkejut. Kata-kataku sederhana dan apa adanya, tapi membuatnya takjub bukan kepalang. Dia pun akhirnya mau makan walaupun terlihat tidak nafsu. Ku usap air yang muncul di sudut matanya agar tak jatuh ke piring dan mengubah rasanya jadi asin. Sebentar-sebentar dia merasa mual, terkadang dia muntah beneran. Sepertinya dia terkena maag karena terlambat makan. Dari cerita Ariel, Reval adalah tipe orang yang jika dia terlalu fokus melakukan sesuatu, dia bisa sampai lupa makan dan tidur. Itulah kenapa dia selalu tidur di perjalanan tadi, sebagai efek gila kerjanya itu.
Selesai makan, aku membantunya meminum obat dan memintanya tidur di tenda. Ku beri sebagian selimutku untuknya agar dia tidak kedinginan. Dia menyentuh tanganku dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku minta maaf untuk semuanya. Terima kasih banyak," katanya lirih, tapi tidak terbata-bata lagi.
"Iya-iya. Buruan tidur biar bisa daki lagi sama-sama besok!" kataku sambil tersenyum manis. Dia membalas dengan senyum manis, sangat manis walaupun dia terlihat lemah. Aku sampai lupa bahwa dia orang yang ingin membunuhku tadi. Tangannya menggenggam erat tanganku. Mungkin itu bentuk rasa terima kasihnya yang dalam. Aku sih tidak apa-apa. Pada dasarnya aku memang tidak suka melihat orang kesusahan didepanku. Aku pun berbaring di sampingnya dan akan kembali tidur.
Tapi tunggu-
Kok perasaanku tidak enak ya?
Apakah ini tak apa-apa?
Aku akan tidur dengan Reval, dalam satu tenda, satu selimut. Badannya miring menghadap ke arahku, jadi saat aku berbaring, wajah kami bertemu. Tangannya menggenggam erat tanganku dan akhirnya ku lepaskan. Sekarang dia tidur pulas, dan wajah polosnya kembali.
Kenapa?
Kenapa aku deg-degan seperti ini saat tidur berdua dengannya?!
***