Keadaan Ibu membaik seiring bertambahnya minggu dan berganti bulan, aku sudah bisa kembali meninggalkan rumah untuk bekerja.
Kini aku telah menjadi pegawai tetapnya Pak Bah.
Aku diberi amanah untuk mengondisikan beberapa toko miliknya dan masih berkutat dengan traktor sepuh yang mulai kembali bangkit dari pingsan dan sakitnya.
Aku sudah bisa membeli ponsel baru yang sudah lebih canggih, karena Zahwa bilang jika di sana ia lebih sering menggunakan aplikasi Line untuk berkomunikasi, aku juga ikut mengunduh aplikasi tersebut.
Meskipun masih sedikit bingung dengan cara menggunakannya, tapi aku bersyukur bukan main HP-ku sudah bisa secanggih ini.
Mungkin di Nara hanya orang-orang besar yang punya ponsel sepertiku, aku ikut bangga walaupun aku tidak termasuk ke dalam orang besar tadi.
Anak-anak kecil suka mengerubungiku di beranda rumah jika sedang bermain ponsel sore-sore.
Mereka berdecak kagum, melihat benda seperti robot tapi tidak bisa dibuat perang-perangan.
Mereka belum tahu saja, dengan benda ini aku bisa perang melawan diri sendiri, bahkan dengan orang jauh yang tidak aku kenal sekalipun, pakai game online namanya.
Ponsel canggih ini memiliki andil yang cukup besar dalam kemajuan hubungan aku dengan Zahwa.
Setidaknya ada satu pesan yang aku terima darinya setiap hari, meskipun setelah belasan pesan yang aku kirim.
Satu lebih baik daripada tidak ada sama sekali.
Aku paham betul tentang kesibukannya yang sering ia ceritakan jika kami memiliki kesempatan untuk bisa telepon.
Setiap jam setengah enam pagi, itu berarti di tempat Zahwa jam setengah delapan.
Aku selalu mengirimkan template pesan yang berbunyi, "Hallo selamat pagi, Neng. Semangat untuk hari ini, semoga selalu sehat, kuat, lengkap, bersyukur, bahagia dan tercukupi. Jangan lupa baca doa untuk mengawali hari."
Aku pikir jam segitu Zahwa sedang siap-siap untuk menuju kampusnya.
Aku selalu melakukannya sebelum aku memanasi motor yang akan aku bawa bekerja.
Pasti, setiap pagi.
Tidak mungkin telat.
Nanti biasanya tepat tengah hari aku akan mendapatkan balasan emoticon senyum darinya.
Aih, aku yang menerimanya jadi tersenyum berkali-kali lipat lebih lebar dari senyum emoticon tadi.
Jujur, aku tidak tahu bagaimana cara wajar untuk mencintai seorang perempuan, maka dari itu aku akan lakukan sebisaku, se-apa adanya diriku.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog