Aku menunduk dalam melihat air mata lelaki itu jatuh secara terang-terangan di depanku.
Aku lelaki dan tahu bagaimana rasanya jika sebuah air mata yang jarang terlihat, tiba-tiba muncul tanpa diminta.
Air itu pasti berasal dari luapan perasaan yang tidak bisa dibendung lagi.
Tiba-tiba di luar hujan, aku segera menghambur keluar menyelamatkan komponen-komponen mesin yang sedang dijemur untuk dikeringkan.
Cuaca kadang memang tidak selalu menepati janji, tadi pagi ia menghadirkan hangatnya sinar matahari, tapi siangnya ia malah menciptakan awan dan menurunkan hujan untuk menutupi sinar tadi.
Cuaca memang kadang labil sekali.
"Duduklah kemari, Nak. Akan aku ceritakan sedikit kisah masa mudaku, dan beberapa hal yang membuat hal-hal ini dapat terjadi."
Tanpa mengucapkan apa pun, aku segera duduk di kursi yang berada di depan meja kerja Pak Bah yang telah kembali duduk di sana.
"Sena adalah anakku yang kedua, ia punya satu kakak dan adik laki-laki. Kau mungkin bertanya-tanya, bagaimana bisa Sena memeluk kepercayaan yang berbeda denganku. Sekitar dua puluh tahun yang lalu, aku bekerja di sebuah pulau yang cukup besar, butuh tiga minggu lebih untuk bisa menyambangi dari wilayah paling barat hingga ke yang paling timur. Seperti yang pernah aku katakan padamu, aku sangat suka bergerak, berjalan, dan bepergian. Aku tinggal di sana bersama istri dan anak pertamaku. Saat anakku masih satu, aku masih bisa membawanya ke mana pun aku mampu, dan istriku yang manis itu selalu berkata, bawa kami sejauh engkau bersedia. Dia adalah perempuan yang paling mengerti diriku. Namun saat hamil anak kedua, yaitu Sena. Istriku sakit-sakitan dan tidak memungkinkan untuk aku ajak pergi dan berpindah terus-menerus. Akhirnya kami memutuskan untuk menetap di pulau tersebut, membeli rumah yang bisa dibilang cukup mewah dan berada di pusat keramaian kota."
"Dari dahulu sampai detik ini aku masih sangat mencintai istriku. Meskipun kini ia telah bertemu dengan damainya terlebih dahulu, semenjak itu aku sadar, mau bagaimana pun aku menyukai bepergian, mati adalah alamat pulang paling pasti. Ia meninggal saat melahirkan adik Sena. Keduanya tidak tertolong dan itu terjadi ketika aku tidak di rumah. Aku tidak bisa menyaksikan dan menemani saat-saat terakhir manusia yang paling aku cintai di seluruh muka bumi ini. Tidak hanya itu, harta bendaku juga tandas kugunakan untuk melakukan apa pun yang aku bisa untuk menyelamatkan istriku. Tapi lagi-lagi kita tidak bisa melawan kehendak Yang Maha Kuasa."
"Dari situlah kehidupanku mulai hampa, aku tidak bisa mengurus anakku yang hanya dua. Aku tidak bisa memasak, mencuci baju, dan melakukan pekerjaan rumah lain. Tahun pertama berlangsung menyedihkan. Pekerjaan yang terus menuntutku untuk melakukan banyak hal, membuatku tidak selalu bisa menemani kedua anakku. Keadaan hidup yang semakin sulit dan keadaan ekonomiku yang tambah merosot membuatku memutar otak berkali-kali. Hingga akhirnya aku membuat keputusan yang amat kusesali sampai sekarang. Aku memutuskan untuk membawa serta anak pertama dan meninggalkan Sena di rumah kerabatku. Sena tak pernah mendapatkan kasih sayangku secara utuh, mungkin di ingatannya hanya tersisa sosok ayah yang keras, menyeramkan dan suka marah-marah. Aku tidak tahan sekali jika ia dulu rewel dan tidak jelas maunya apa."
"Saat itu usianya masih belum genap tiga tahun, harusnya dalam usia itu ia tengah tumbuh dengan pesat, dengan pipi yang gembil dan cara bicara yang menggemaskan, tapi aku menyia-nyiakan masa-masa itu. Aku menitipkannya kepada seorang kerabat yang keadaan ekonominya tidak lebih baik dariku. Hingga setahun kemudian, kudengar kabar bahwa Sena akhirnya di pondokkan di sebuah rumah belajar. Aku setuju-setuju saja, saat itu aku tidak terlalu memikirkannya. Hal yang ingin aku cari saat itu hanyalah uang."
"Bertahun-tahun berlalu, aku hanya sesekali menengoknya di sebuah pondok hunian dengan bangunan yang nyaman dan para pengasuh yang ramah-ramah. Aku selalu mengirim uang bulanan untuk biaya Sena. Semakin lama, semakin jarang aku menengoknya, kadang lima belas bulan sekali, atau dua tahun sekali. Dan seiring berjalannya waktu ia tumbuh sebagai gadis yang rajin, cerdas, dan penurut. Hingga tak terasa tahun telah menjelma dekade, dan aku melihat putriku telah remaja, terus tumbuh tanpa merasakan kasih sayang orang tua."
"Saat itu ponsel masih sangat langka, tapi aku sudah membelikan Sena benda itu. Supaya ia bisa menghubungiku. Waktu itu usiaku sudah masuk 60 tahun, aku mulai merasa tua, apa pun yang aku cari di dunia ini tidak ada artinya. Aku masih merasa hampa dengan harta benda yang selama ini aku cari siang dan malam. Entah apa yang aku cari selama ini, aku tidak pernah merasa cukup dengan diriku sendiri. Aku selalu menuntut ini dan itu padahal ketika aku telah mendapatkannya, aku masih akan menginginkan yang lain lagi. Seperti itu terus tidak ada ujungnya. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk membeli sebuah rumah di dataran tinggi, yang sunyi, sepi, dan udaranya menenangkan. Inilah rumah itu, Nak. Aku belanjakan uang-uangku untuk membeli mobil, tanah, toko, dan barang-barang yang bisa menjagaku hingga tua. Aku hanya peduli dengan diriku sendiri."
"Baru ketika Sena lulus dari Sekolah Menengah Atas-nya, ia memintaku untuk datang ke tempat ia belajar. Dan saat itulah aku baru mengerti di mana sebenarnya putri kesayanganku berada. Untuk pertama kalinya aku diajak olehnya berkeliling melihat tempatnya bertumbuh selama ini, mengunjungi Wihara, membasuh muka di sungai yang mereka anggap suci, membedakan wewangian dupa. Semua itu baru aku sadari dalam waktu yang belum lama ini. Aku sama sekali tidak mengira bahwa saat usianya tiga tahun dulu, ia dititipkan ke rumah belajar yayasan buddha."
"Entah ke mana saja pikiranku selama tujuh belas tahun itu, sampai-sampai tidak menyadari bahwa putri sendiri telah menyeberang ke lautan lain dan aku biarkan ia menyelam di sana hingga ajaran-ajaran yang tidak aku mengerti telah menyatu dengan darahnya. Sungguh, aku ingin bunuh diri saja waktu itu, anak pertamaku telah sukses dan hidupnya melenggang dalam jalur lintas negara bahkan benua, ia tumbuh sebagai lelaki tangguh seperti apa yang aku ajarkan. Sementara anak keduaku, aku tak kuasa untuk memintanya menghabiskan masa mudanya untuk menemaniku yang telah renta ini. Aku dulu tak pernah ada untuknya, bagaimana sekarang aku harus memintanya agar ada untukku? Kalaupun bisa aku akan sangat merasa bersalah dan egois jika melakukannya. Hidupku benar-benar miskin cinta, Nak. Bahkan dari anak sendiri. Mereka yang tidak tahu kisah hidupku mungkin memandangku sebagai orang hebat yang disegani banyak orang, berwibawa ketika menghadiri forum-forum bersama orang-orang besar, memiliki putri yang cantik dan seorang putra yang patut dibanggakan. Tapi mereka tidak melihat kekosongan dalam diriku. Sebab itulah aku selalu menyibukkan diriku, kapan pun dan di mana pun…"
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog