Keadaan Ibu sudah semakin membaik seiring bertambahnya hari. Ibu mulai ke ladang jika pagi, dan akan pulang saat tengah hari.
Tidak seperti dahulu, seharian penuh ia habiskan untuk mengurus perkampungan kol, wortel, sawi, dan handai taulannya.
Lail mulai bekerja seperti biasa, dan belakangan aku lihat ia berangkat dan pulang kerja bersama Nurdin.
Entah sejak kapan tapi aku sungguh ingin melarangnya, meskipun aku tidak punya kuasa tentang itu. Aku hanya tidak mau Nurdin menjadi kakak iparku.
Aku belum tahu misteri apa yang membuat motorku hilang di sore hari sebelum aku pergi dari rumah sekitar beberapa bulan yang lalu.
Yang aku dengar, motor itu tidak hilang diambil orang, keadaannya baik-baik saja di kantor.
Berarti motor itu memang tidak dicuri, melainkan diambil dengan sengaja oleh orang yang juga punya kuncinya.
Sebenarnya aku melihat beberapa keganjilan mengenai pemecatan diriku dari Merpati Nusantara.
Tapi aku belum sempat memikirkannya karena kemarin-kemarin sibuk menjaga Ibu dan merawat rumah.
Setiap hari aku datang ke rumah Pak Bah untuk membantunya membetulkan mesin-mesin rusak.
Meskipun tidak dijejali pelajaran sekolah tinggi tentang hal ini, aku diajar praktik langsung oleh ahlinya.
Sudah tak terhitung berapa kipas angin dan rice cooker yang rampung aku betulkan.
Pun kini pelanggan Pak Bah semakin banyak, ia tidak lagi memilih-milih pelanggan seperti yang ia katakan dahulu.
Siapa pun yang membutuhkan bantuan akan ia tolong.
Kini aku masih berkutik dengan traktor sepuh milik petani di sawah Pak Bah. Perbaikannya sudah 20% dari keadaan awal bertemu denganku.
Meski masih jauh dari keadaan kembali seperti semula, tapi ini merupakan progres yang bagus dan capaian rekor untuk diriku sendiri.
Sekarang aku bisa membawa motor Lail kapan pun aku mau dengan seizinnya.
Baru saja Nurdin melintas di beranda rumahku dan menurunkan Lail yang diboncengnya.
Entah apa yang terjadi pada mereka, terlebih pada Lail. Dahulu ia begitu kipat-kipat jika aku menyinggung tentang Nurdin di depannya.
Tapi kini malah ia yang sering menanyakan keadaan Nurdin padaku. Hati manusia memang tidak ada yang tahu.
Aku tak bergeming saat mereka berdua saling berpamitan dan melambaikan tangan.
Satu-satunya yang tengah aku tatap kali ini adalah senja yang sunyi.
Dengan warna yang tak pernah sama setiap harinya, kemarin senja berwarna keemasan, kemarinnya lagi agak kemerahan tapi dicampuri warna kelabu karena cuaca yang sedikit mendung.
Dan hari ini sang senja sunyi berwarna merah muda, mengaburkan warnanya memenuhi angkasa.
Ketenangan ini membuat suara tiupan angin terdengar menderu samar-samar.
"Pikiran dan perasaan macam apa yang membuat bujang gagahku merenung di senja hari?" Ibu menempelkan telapak tangannya pada pundakku dan memainkan rambutku yang acak-acakan.
Langkahnya sudah tidak secepat dahulu, kini geraknya pelan dan sangat berhati-hati.
Aku belum menjawab, tanpa melakukannya pun biasanya Ibu sudah tahu.
"Apakah ini menyangkut nama seorang gadis?"
Aku masih diam, tidak tahu gadis siapa yang Ibu maksud.
"Kita diciptakan Tuhan penuh dengan kelebihan dan juga keterbatasan. Salah satu batasannya adalah tentang mengetahui keinginan, perasaan dan pikiran orang lain. Kita tidak punya kuasa dalam hal itu, maka berterus teranglah jika dirasa waktunya tepat. Jangan biarkan orang lain menebak-nebak, sementara apa yang kamu inginkan tidak tersampaikan."
Sejenak aku menatap mata Ibu, aku langsung paham ke arah mana ia berbicara.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog