Read More >>"> Janji-Janji Masa Depan (Cahaya Baru (Bagian 3)) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Janji-Janji Masa Depan
MENU
About Us  

Lama kelamaan, aku akrab dengan petugas halte dan beberapa sopir bus.

Saking seringnya menaiki bus antar kecamatan di waktu yang sama, membuatku tak jarang mendapatkan bus dengan sopir yang sama pula.

Dahulu aku selalu memilih kursi paling belakang dekat jendela, namun kini aku duduk di kursi depan bersebelahan dengan sopir.

“Aku sudah hafal di mana kamu akan turun.” Pak sopir memelankan laju busnya di kelokan jalan. “Ke rumah siapa?” sambungnya.

“Rumah…” Aku berpikir sejenak, Bos kah? Tapi Pak Bah tidak mempekerjakanku. Guru? Tapi apakah ia menganggapku murid? Saudara? Jelas bukan, Pak Bah harus kusebut siapaku? Aku pelanggannya pun bukan.

“Pacar?” celetuk Pak Sopir sambil terkekeh panjang.

“Bukan, Pak. Saya belum pernah pacaran.”

“Wah! Anak muda tampan ini tak punya pacar? Mainmu kurang jauh, Nak. Kalau aku punya anak perempuan yang masih gadis, akan kukenalkan denganmu. Tapi sayang anakku sudah menikah semua.” Pak sopir puas benar terkekeh di depanku, dengan nada tawa yang terus sama.

Aku ingin menjawab, untuk sekarang, aku tidak mungkin punya pacar karena orang yang aku suka letaknya sedang jauh.

Tapi urung, bus sudah lebih dahulu sampai tujuan. Aku harus turun. Saat aku hendak membayar, Pak Sopir menolak uang yang aku bayarkan.

“Jangan begitu, Pak. Esok jika aku naik bus ini lagi, aku pasti sungkan.”

“Untuk sekarang gratis, besok-besok baru bayar. Anggap saja ini rasa terima kasih karena sudah menemaniku bekerja.”

Aku mengangguk, bersalaman dan mengucapkan terima kasih kembali.

Saat aku tengah mengemas barang yang akan kubawa turun, seorang gadis menjulurkan tiga gelintir uang kertas pada Pak Sopir dan aku melihatnya. Ia segera turun.

“Nah, itu perempuan cantik, aku tak pangling dengan wajahnya, sudah beberapa hari ini ia naik busku sambil membawa belanjaan.”

Pak Sopir menekan klaksonnya padaku dan meneruskan perjalanan.

Tentu saja itu Sena, ia belanja di Pasar Nara untuk dibawa pulang.

Kali ini ia terlihat dewasa dengan rambut dikuncir kuda dan poni yang dibiarkan menyamping. Entah ke mana topi baret yang sering ia gunakan.

“Mungkin ada yang bisa aku bawakan?” sergapku tiba-tiba. Agaknya Sena sedikit terkejut.

“Oh tidak apa-apa. Aku bisa membawanya sendiri, Bang.”

Dia memanggilku abang!

“Bang Nadif juga sepertinya bawa banyak barang, untuk Bapak?”

Aku juga berpikir begitu, Ibu berlebihan dengan membawakanku pisang tiga sisir, timun satu plastik, kopi hitam bubuk satu toples sedang, dan rantang berisi makanan matang. “Ini titipan dari Ibu.”

Bau rumah Pak Bah sudah tak asing bagi penciumanku. Seperti biasa, ia tengah duduk di meja tempat reparasi barang dengan kacamatanya yang tebal.

Di depannya tergeletak sebuah mesin water-heater yang tak berdaya, “Bukankan itu mesin yang kemarin, Pak?”

“Iya, pemiliknya membawa lagi ke sini, katanya rusak lagi. Sepertinya Relay dan Elemen panasnya memang sudah rusak, tua. Makanya si air tak mau panas. Orang zaman sekarang mandi pun harus dengan air hangat, dulu zamanku mandi di pinggir sungai malah sehat, segar. Tak usah pakai listrik atau alat-alat macam begini,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Pak Bah, ini ada titipan dari Ibu.”

Baru kali ini ia menengok padaku, dari tadi pandangannya tak lepas dari apa yang tengah dikerjakannya. “Wah, terima kasih banyak, Nang. Sering-sering saja lah begini. Tapi sebenarnya Sena sudah masak.”

Aku agak kecewa mendengarnya, takut makanan yang kubawa malah mubazir.

“Tapi tak apa, buat nanti malam. Bawalah ke Sena, ia akan menyalin rantangnya sekalian.”

Di dalam rumah, suasana lengang, kulihat beberapa gambar manusia menghiasi dinding bercat abu-abu dengan jendelanya bertralis logam.

Berkali-kali kemari, baru kali ini aku menilik ruangan dalam rumah Pak Bah.

Di buritan terdapat kolam ikan yang airnya gemercik namun tenang ditumbuhi eceng gondok yang terawat rapi.

Tak kusangka Pak Bah yang selalu terlihat sibuk di meja reparasinya, punya hunian rapi dan sedamai ini.

Sebelum sampai ke dapur, aku melihat gambar pajangan berukuran 100 cm x 70 cm tergantung elegan di dinding ruang tengah.

Dalam gambar manusia tadi berdiri seorang perempuan mengenakan syal berwarna merah maroon yang melingkar di lehernya.

Sejenak ia sungguh mengingatkanku akan Zahwa, iya dia! gadis yang telah bersamaku sejak kami masih kecil.

Rambutnya sebahu dan matanya sayu. Tapi untuk segala alasan, aku tetap pada keyakinan bahwa wajah Zahwa lebih sendu.

Tak ada yang mengalahkan jenjam sosoknya. Di samping perempuan itu, berdiri Pak Bah yang masih muda.

Rupanya rambut Pak Bah memang telah tandas di bagian depan sejak masih muda.

“Bukankah ia cantik?” Suara itu mengejutkanku dalam batas wajar.

“Ah, maaf. Foto ini sungguh menarik perhatianku.” Kugaruk pangkal telingaku yang tidak gatal.

Sejenak kulihat salinan wajah perempuan di foto pada raut milik Sena. Tidak salah lagi ini ibunya.

Dari sini, kutarik kesimpulan jika Sena, perempuan di foto dan Zahwa punya satu kesamaan yang cukup sulit dijelaskan.

“Itu Ibu, hanya foto itulah yang membuatku bisa membayangkan wajahnya.”

“Kamu sudah tidak punya Ibu?”

Ia mengangguk tapi tak penuh.

“Maaf.”

“Tidak apa-apa, ada seseorang yang selalu mengajariku bahwa orang yang kita cintai tidak pernah benar-benar pergi. Dan aku mencintainya penuh seutuh hidupku yang panjang tapi singkat ini. Bukan kesalahannya karena tidak bisa merawatku.”

“Ia cantik sepertimu.” Aku terkejut dengan kemampuan lidahku yang sanggup mengucapkan perkataan barusan.

Tak pernah secara terus terang memuji perempuan dengan sebutan cantik, manis dan sebagainya. Entah kemasukan apa lidahku ini.

Tapi kulihat Sena tersipu, mukanya bersemu merah dan tampak malu-malu.

Gerakan jarum jam mengisi ruangan yang kami tempati berhenti untuk beberapa saat. Aku tak tahu harus merespons bagaimana.

Sejenak mata gadis di depanku berkaca-kaca, dan di balik kelopak matanya terpasang dua bola mata jerih yang berkilau basah tapi bukan menangis.

Matanya segar seperti mata air yang tersimpan di lubuk hutan paling dalam.

Caranya membenarkan anak rambut dan menyelipkannya di belakang telinga sungguh membuat pertahananku runtuh separuh.

“Itu tidak akan dipegang terus begitu kan?” ucapnya menunjuk rantang yang aku bawa.

“Oh iya. Pak Bah menyuruhku mengantarnya padamu. Supaya diganti.”

Ia menerima dan cekatan meletakkan isinya ke dalam piring-piring yang berjajar rapi.

“Biar aku cuci sekalian.” 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • mesainin

    I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'

    Comment on chapter Epilog
  • cimol

    ayoo !!!

    Comment on chapter Prolog
  • wfaaa_

    next chapter!

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Ibu Mengajariku Tersenyum
1344      632     1     
Inspirational
Jaya Amanah Putra adalah seorang psikolog berbakat yang bekerja di RSIA Purnama. Dia direkomendasikan oleh Bayu, dokter spesialis genetika medis sekaligus sahabatnya sejak SMA. Lingkungan kerjanya pun sangat ramah, termasuk Pak Atma sang petugas lab yang begitu perhatian. Sesungguhnya, Jaya mempelajari psikologi untuk mendapatkan kembali suara ibunya, Puspa, yang senantiasa diam sejak hamil Jay...
Surat untuk Tahun 2001
3451      1828     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
Nina and The Rivanos
9424      2252     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
For One More Day
456      315     0     
Short Story
Tentang pertemuan dua orang yang telah lama berpisah, entah pertemuan itu akan menyembuhkan luka, atau malah memperdalam luka yang telah ada.
Lantunan Ayat Cinta Azra
219      149     2     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
HURT ANGEL
135      108     0     
True Story
Hanya kisah kecil tentang sebuah pengorbanan dan pengkhianatan, bagaimana sakitnya mempertahankan di tengah gonjang-ganjing perpisahan. Bukan sebuah kisah tentang devinisi cinta itu selalu indah. Melainkan tentang mempertahankan sebuah perjalanan rumah tangga yang dihiasi rahasia.
"Mereka" adalah Sebelah Sayap
434      310     1     
Short Story
Cinta adalah bahasan yang sangat luas dan kompleks, apakah itu pula yang menyebabkan sangat sulit untuk menemukanmu ? Tidak kah sekali saja kau berpihak kepadaku ?
Semu, Nawasena
7144      2701     4     
Romance
"Kita sama-sama mendambakan nawasena, masa depan yang cerah bagaikan senyuman mentari di hamparan bagasfora. Namun, si semu datang bak gerbang besar berduri, dan menjadi penghalang kebahagiaan di antara kita." Manusia adalah makhluk keji, bahkan lebih mengerikan daripada iblis. Memakan bangkai saudaranya sendiri bukanlah hal asing lagi bagi mereka. Mungkin sudah menjadi makanan favoritnya? ...
Like a Dandelion
2614      915     2     
Romance
Berawal dari kotak kayu penuh kenangan. Adel yang tengah terlarut dengan kehidupannya saat ini harus kembali memutar ulang memori lamanya. Terdorong dalam imaji waktu yang berputar ke belakang. Membuatnya merasakan kembali memori indah SMA. Bertemu dengan seseorang dengan sikap yang berbanding terbalik dengannya. Dan merasakan peliknya sebuah hubungan. Tak pernah terbesit sebelumnya di piki...
Kepada Jarak, Maaf!
324      189     1     
Short Story
Bagi Rea, cinta itu gelap. Cukup menjadi alasan untuk dirinya selalu memakai emotikon hati berwarna hitam saat menulis chat. Namun Rea tidak cukup mampu memaknai setiap jenis emotikon hati yang dikirimkan Ardan kepadanya. Untuk dua orang yang menjalin hubungan jarak jauh yang sama sekali tidak pernah bertemu, berbagai jenis emotikon hati memiliki maknanya sendiri. Demikian juga untuk Arealisa...