Lama kelamaan, aku akrab dengan petugas halte dan beberapa sopir bus.
Saking seringnya menaiki bus antar kecamatan di waktu yang sama, membuatku tak jarang mendapatkan bus dengan sopir yang sama pula.
Dahulu aku selalu memilih kursi paling belakang dekat jendela, namun kini aku duduk di kursi depan bersebelahan dengan sopir.
“Aku sudah hafal di mana kamu akan turun.” Pak sopir memelankan laju busnya di kelokan jalan. “Ke rumah siapa?” sambungnya.
“Rumah…” Aku berpikir sejenak, Bos kah? Tapi Pak Bah tidak mempekerjakanku. Guru? Tapi apakah ia menganggapku murid? Saudara? Jelas bukan, Pak Bah harus kusebut siapaku? Aku pelanggannya pun bukan.
“Pacar?” celetuk Pak Sopir sambil terkekeh panjang.
“Bukan, Pak. Saya belum pernah pacaran.”
“Wah! Anak muda tampan ini tak punya pacar? Mainmu kurang jauh, Nak. Kalau aku punya anak perempuan yang masih gadis, akan kukenalkan denganmu. Tapi sayang anakku sudah menikah semua.” Pak sopir puas benar terkekeh di depanku, dengan nada tawa yang terus sama.
Aku ingin menjawab, untuk sekarang, aku tidak mungkin punya pacar karena orang yang aku suka letaknya sedang jauh.
Tapi urung, bus sudah lebih dahulu sampai tujuan. Aku harus turun. Saat aku hendak membayar, Pak Sopir menolak uang yang aku bayarkan.
“Jangan begitu, Pak. Esok jika aku naik bus ini lagi, aku pasti sungkan.”
“Untuk sekarang gratis, besok-besok baru bayar. Anggap saja ini rasa terima kasih karena sudah menemaniku bekerja.”
Aku mengangguk, bersalaman dan mengucapkan terima kasih kembali.
Saat aku tengah mengemas barang yang akan kubawa turun, seorang gadis menjulurkan tiga gelintir uang kertas pada Pak Sopir dan aku melihatnya. Ia segera turun.
“Nah, itu perempuan cantik, aku tak pangling dengan wajahnya, sudah beberapa hari ini ia naik busku sambil membawa belanjaan.”
Pak Sopir menekan klaksonnya padaku dan meneruskan perjalanan.
Tentu saja itu Sena, ia belanja di Pasar Nara untuk dibawa pulang.
Kali ini ia terlihat dewasa dengan rambut dikuncir kuda dan poni yang dibiarkan menyamping. Entah ke mana topi baret yang sering ia gunakan.
“Mungkin ada yang bisa aku bawakan?” sergapku tiba-tiba. Agaknya Sena sedikit terkejut.
“Oh tidak apa-apa. Aku bisa membawanya sendiri, Bang.”
Dia memanggilku abang!
“Bang Nadif juga sepertinya bawa banyak barang, untuk Bapak?”
Aku juga berpikir begitu, Ibu berlebihan dengan membawakanku pisang tiga sisir, timun satu plastik, kopi hitam bubuk satu toples sedang, dan rantang berisi makanan matang. “Ini titipan dari Ibu.”
Bau rumah Pak Bah sudah tak asing bagi penciumanku. Seperti biasa, ia tengah duduk di meja tempat reparasi barang dengan kacamatanya yang tebal.
Di depannya tergeletak sebuah mesin water-heater yang tak berdaya, “Bukankan itu mesin yang kemarin, Pak?”
“Iya, pemiliknya membawa lagi ke sini, katanya rusak lagi. Sepertinya Relay dan Elemen panasnya memang sudah rusak, tua. Makanya si air tak mau panas. Orang zaman sekarang mandi pun harus dengan air hangat, dulu zamanku mandi di pinggir sungai malah sehat, segar. Tak usah pakai listrik atau alat-alat macam begini,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Pak Bah, ini ada titipan dari Ibu.”
Baru kali ini ia menengok padaku, dari tadi pandangannya tak lepas dari apa yang tengah dikerjakannya. “Wah, terima kasih banyak, Nang. Sering-sering saja lah begini. Tapi sebenarnya Sena sudah masak.”
Aku agak kecewa mendengarnya, takut makanan yang kubawa malah mubazir.
“Tapi tak apa, buat nanti malam. Bawalah ke Sena, ia akan menyalin rantangnya sekalian.”
Di dalam rumah, suasana lengang, kulihat beberapa gambar manusia menghiasi dinding bercat abu-abu dengan jendelanya bertralis logam.
Berkali-kali kemari, baru kali ini aku menilik ruangan dalam rumah Pak Bah.
Di buritan terdapat kolam ikan yang airnya gemercik namun tenang ditumbuhi eceng gondok yang terawat rapi.
Tak kusangka Pak Bah yang selalu terlihat sibuk di meja reparasinya, punya hunian rapi dan sedamai ini.
Sebelum sampai ke dapur, aku melihat gambar pajangan berukuran 100 cm x 70 cm tergantung elegan di dinding ruang tengah.
Dalam gambar manusia tadi berdiri seorang perempuan mengenakan syal berwarna merah maroon yang melingkar di lehernya.
Sejenak ia sungguh mengingatkanku akan Zahwa, iya dia! gadis yang telah bersamaku sejak kami masih kecil.
Rambutnya sebahu dan matanya sayu. Tapi untuk segala alasan, aku tetap pada keyakinan bahwa wajah Zahwa lebih sendu.
Tak ada yang mengalahkan jenjam sosoknya. Di samping perempuan itu, berdiri Pak Bah yang masih muda.
Rupanya rambut Pak Bah memang telah tandas di bagian depan sejak masih muda.
“Bukankah ia cantik?” Suara itu mengejutkanku dalam batas wajar.
“Ah, maaf. Foto ini sungguh menarik perhatianku.” Kugaruk pangkal telingaku yang tidak gatal.
Sejenak kulihat salinan wajah perempuan di foto pada raut milik Sena. Tidak salah lagi ini ibunya.
Dari sini, kutarik kesimpulan jika Sena, perempuan di foto dan Zahwa punya satu kesamaan yang cukup sulit dijelaskan.
“Itu Ibu, hanya foto itulah yang membuatku bisa membayangkan wajahnya.”
“Kamu sudah tidak punya Ibu?”
Ia mengangguk tapi tak penuh.
“Maaf.”
“Tidak apa-apa, ada seseorang yang selalu mengajariku bahwa orang yang kita cintai tidak pernah benar-benar pergi. Dan aku mencintainya penuh seutuh hidupku yang panjang tapi singkat ini. Bukan kesalahannya karena tidak bisa merawatku.”
“Ia cantik sepertimu.” Aku terkejut dengan kemampuan lidahku yang sanggup mengucapkan perkataan barusan.
Tak pernah secara terus terang memuji perempuan dengan sebutan cantik, manis dan sebagainya. Entah kemasukan apa lidahku ini.
Tapi kulihat Sena tersipu, mukanya bersemu merah dan tampak malu-malu.
Gerakan jarum jam mengisi ruangan yang kami tempati berhenti untuk beberapa saat. Aku tak tahu harus merespons bagaimana.
Sejenak mata gadis di depanku berkaca-kaca, dan di balik kelopak matanya terpasang dua bola mata jerih yang berkilau basah tapi bukan menangis.
Matanya segar seperti mata air yang tersimpan di lubuk hutan paling dalam.
Caranya membenarkan anak rambut dan menyelipkannya di belakang telinga sungguh membuat pertahananku runtuh separuh.
“Itu tidak akan dipegang terus begitu kan?” ucapnya menunjuk rantang yang aku bawa.
“Oh iya. Pak Bah menyuruhku mengantarnya padamu. Supaya diganti.”
Ia menerima dan cekatan meletakkan isinya ke dalam piring-piring yang berjajar rapi.
“Biar aku cuci sekalian.”
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog