Loading...
Logo TinLit
Read Story - Janji-Janji Masa Depan
MENU
About Us  

Lama kelamaan, aku akrab dengan petugas halte dan beberapa sopir bus.

Saking seringnya menaiki bus antar kecamatan di waktu yang sama, membuatku tak jarang mendapatkan bus dengan sopir yang sama pula.

Dahulu aku selalu memilih kursi paling belakang dekat jendela, namun kini aku duduk di kursi depan bersebelahan dengan sopir.

“Aku sudah hafal di mana kamu akan turun.” Pak sopir memelankan laju busnya di kelokan jalan. “Ke rumah siapa?” sambungnya.

“Rumah…” Aku berpikir sejenak, Bos kah? Tapi Pak Bah tidak mempekerjakanku. Guru? Tapi apakah ia menganggapku murid? Saudara? Jelas bukan, Pak Bah harus kusebut siapaku? Aku pelanggannya pun bukan.

“Pacar?” celetuk Pak Sopir sambil terkekeh panjang.

“Bukan, Pak. Saya belum pernah pacaran.”

“Wah! Anak muda tampan ini tak punya pacar? Mainmu kurang jauh, Nak. Kalau aku punya anak perempuan yang masih gadis, akan kukenalkan denganmu. Tapi sayang anakku sudah menikah semua.” Pak sopir puas benar terkekeh di depanku, dengan nada tawa yang terus sama.

Aku ingin menjawab, untuk sekarang, aku tidak mungkin punya pacar karena orang yang aku suka letaknya sedang jauh.

Tapi urung, bus sudah lebih dahulu sampai tujuan. Aku harus turun. Saat aku hendak membayar, Pak Sopir menolak uang yang aku bayarkan.

“Jangan begitu, Pak. Esok jika aku naik bus ini lagi, aku pasti sungkan.”

“Untuk sekarang gratis, besok-besok baru bayar. Anggap saja ini rasa terima kasih karena sudah menemaniku bekerja.”

Aku mengangguk, bersalaman dan mengucapkan terima kasih kembali.

Saat aku tengah mengemas barang yang akan kubawa turun, seorang gadis menjulurkan tiga gelintir uang kertas pada Pak Sopir dan aku melihatnya. Ia segera turun.

“Nah, itu perempuan cantik, aku tak pangling dengan wajahnya, sudah beberapa hari ini ia naik busku sambil membawa belanjaan.”

Pak Sopir menekan klaksonnya padaku dan meneruskan perjalanan.

Tentu saja itu Sena, ia belanja di Pasar Nara untuk dibawa pulang.

Kali ini ia terlihat dewasa dengan rambut dikuncir kuda dan poni yang dibiarkan menyamping. Entah ke mana topi baret yang sering ia gunakan.

“Mungkin ada yang bisa aku bawakan?” sergapku tiba-tiba. Agaknya Sena sedikit terkejut.

“Oh tidak apa-apa. Aku bisa membawanya sendiri, Bang.”

Dia memanggilku abang!

“Bang Nadif juga sepertinya bawa banyak barang, untuk Bapak?”

Aku juga berpikir begitu, Ibu berlebihan dengan membawakanku pisang tiga sisir, timun satu plastik, kopi hitam bubuk satu toples sedang, dan rantang berisi makanan matang. “Ini titipan dari Ibu.”

Bau rumah Pak Bah sudah tak asing bagi penciumanku. Seperti biasa, ia tengah duduk di meja tempat reparasi barang dengan kacamatanya yang tebal.

Di depannya tergeletak sebuah mesin water-heater yang tak berdaya, “Bukankan itu mesin yang kemarin, Pak?”

“Iya, pemiliknya membawa lagi ke sini, katanya rusak lagi. Sepertinya Relay dan Elemen panasnya memang sudah rusak, tua. Makanya si air tak mau panas. Orang zaman sekarang mandi pun harus dengan air hangat, dulu zamanku mandi di pinggir sungai malah sehat, segar. Tak usah pakai listrik atau alat-alat macam begini,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Pak Bah, ini ada titipan dari Ibu.”

Baru kali ini ia menengok padaku, dari tadi pandangannya tak lepas dari apa yang tengah dikerjakannya. “Wah, terima kasih banyak, Nang. Sering-sering saja lah begini. Tapi sebenarnya Sena sudah masak.”

Aku agak kecewa mendengarnya, takut makanan yang kubawa malah mubazir.

“Tapi tak apa, buat nanti malam. Bawalah ke Sena, ia akan menyalin rantangnya sekalian.”

Di dalam rumah, suasana lengang, kulihat beberapa gambar manusia menghiasi dinding bercat abu-abu dengan jendelanya bertralis logam.

Berkali-kali kemari, baru kali ini aku menilik ruangan dalam rumah Pak Bah.

Di buritan terdapat kolam ikan yang airnya gemercik namun tenang ditumbuhi eceng gondok yang terawat rapi.

Tak kusangka Pak Bah yang selalu terlihat sibuk di meja reparasinya, punya hunian rapi dan sedamai ini.

Sebelum sampai ke dapur, aku melihat gambar pajangan berukuran 100 cm x 70 cm tergantung elegan di dinding ruang tengah.

Dalam gambar manusia tadi berdiri seorang perempuan mengenakan syal berwarna merah maroon yang melingkar di lehernya.

Sejenak ia sungguh mengingatkanku akan Zahwa, iya dia! gadis yang telah bersamaku sejak kami masih kecil.

Rambutnya sebahu dan matanya sayu. Tapi untuk segala alasan, aku tetap pada keyakinan bahwa wajah Zahwa lebih sendu.

Tak ada yang mengalahkan jenjam sosoknya. Di samping perempuan itu, berdiri Pak Bah yang masih muda.

Rupanya rambut Pak Bah memang telah tandas di bagian depan sejak masih muda.

“Bukankah ia cantik?” Suara itu mengejutkanku dalam batas wajar.

“Ah, maaf. Foto ini sungguh menarik perhatianku.” Kugaruk pangkal telingaku yang tidak gatal.

Sejenak kulihat salinan wajah perempuan di foto pada raut milik Sena. Tidak salah lagi ini ibunya.

Dari sini, kutarik kesimpulan jika Sena, perempuan di foto dan Zahwa punya satu kesamaan yang cukup sulit dijelaskan.

“Itu Ibu, hanya foto itulah yang membuatku bisa membayangkan wajahnya.”

“Kamu sudah tidak punya Ibu?”

Ia mengangguk tapi tak penuh.

“Maaf.”

“Tidak apa-apa, ada seseorang yang selalu mengajariku bahwa orang yang kita cintai tidak pernah benar-benar pergi. Dan aku mencintainya penuh seutuh hidupku yang panjang tapi singkat ini. Bukan kesalahannya karena tidak bisa merawatku.”

“Ia cantik sepertimu.” Aku terkejut dengan kemampuan lidahku yang sanggup mengucapkan perkataan barusan.

Tak pernah secara terus terang memuji perempuan dengan sebutan cantik, manis dan sebagainya. Entah kemasukan apa lidahku ini.

Tapi kulihat Sena tersipu, mukanya bersemu merah dan tampak malu-malu.

Gerakan jarum jam mengisi ruangan yang kami tempati berhenti untuk beberapa saat. Aku tak tahu harus merespons bagaimana.

Sejenak mata gadis di depanku berkaca-kaca, dan di balik kelopak matanya terpasang dua bola mata jerih yang berkilau basah tapi bukan menangis.

Matanya segar seperti mata air yang tersimpan di lubuk hutan paling dalam.

Caranya membenarkan anak rambut dan menyelipkannya di belakang telinga sungguh membuat pertahananku runtuh separuh.

“Itu tidak akan dipegang terus begitu kan?” ucapnya menunjuk rantang yang aku bawa.

“Oh iya. Pak Bah menyuruhku mengantarnya padamu. Supaya diganti.”

Ia menerima dan cekatan meletakkan isinya ke dalam piring-piring yang berjajar rapi.

“Biar aku cuci sekalian.” 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • mesainin

    I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'

    Comment on chapter Epilog
  • cimol

    ayoo !!!

    Comment on chapter Prolog
  • wfaaa_

    next chapter!

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
MALAM TANPA PAGI
522      389     0     
Short Story
Pernahkah kalian membayangkan bertemu malam tanpa pagi yang menyapa? Apakah itu hal yang buruk atau mungkin hal yang baik? Seperti halnya anak kucing dan manusia yang menjalani hidup dengan langkah yang berat. Mereka tak tahu bagaimana kehidupannya esok. Namun, mereka akan menemukan tempat yang pantas bagi mereka. Itu pasti!
Babak-Babak Drama
476      331     0     
Inspirational
Diana Kuswantari nggak suka drama, karena seumur hidupnya cuma diisi itu. Ibu, Ayah, orang-orang yang cuma singgah sebentar di hidupnya, lantas pergi tanpa menoleh ke belakang. Sampai menginjak kelas 3 SMP, nggak ada satu pun orang yang mau repot-repot peduli padanya. Dian jadi belajar, kepedulian itu non-sense... Tidak penting! Kehidupan Dian jungkir balik saat Harumi Anggita, cewek sempurna...
Just For You
6235      2048     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Catatan Takdirku
1199      736     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
Premium
Adopted
2516      1138     1     
Romance
Yogi Ananda dan Damar Raditya dua pemuda yang terlihat sempurna dan mempunyai keluarga yang utuh dan bahagia. Mereka bertemu pertama kali di SMA dengan status sebagai kakak dan adik kelas. Terlahir dengan wajah tampan, dikaruniai otak cerdas, memiliki perangai baik sehingga banyak orang menyukai mereka. Walau berasal dari orang tua kalangan kelas menengah tidak menghentikan langkah mereka untuk m...
Like a Dandelion
3075      1082     2     
Romance
Berawal dari kotak kayu penuh kenangan. Adel yang tengah terlarut dengan kehidupannya saat ini harus kembali memutar ulang memori lamanya. Terdorong dalam imaji waktu yang berputar ke belakang. Membuatnya merasakan kembali memori indah SMA. Bertemu dengan seseorang dengan sikap yang berbanding terbalik dengannya. Dan merasakan peliknya sebuah hubungan. Tak pernah terbesit sebelumnya di piki...
Beasiswa untuk yang Mengandungku
569      409     0     
Short Story
perjuangan seorang wanita untuk ibunya. belajar untuk beasiswa prestasi yang dia dambakan demi melanjutkan kuliahnya yang biayanya beigtu mahal. beasiswa itu untuk ibunya.
Before You Go
434      295     2     
Short Story
Kisah seorang Gadis yang mencoba memperjuangkan sebelum akhirnya merelakan
Premium
Cinta si Kembar Ganteng
12335      1213     0     
Romance
Teuku Rafky Kurniawan belum ingin menikah di usia 27 tahun. Ika Rizkya Keumala memaksa segera melamarnya karena teman-teman sudah menikah. Keumala pun punya sebuah nazar bersama teman-temannya untuk menikah di usia 27 tahun. Nazar itu terucap begitu saja saat awal masuk kuliah di Fakultas Ekonomi. Rafky belum terpikirkan menikah karena sedang mengejar karir sebagai pengusaha sukses, dan sudah men...
Potongan kertas
936      486     3     
Fan Fiction
"Apa sih perasaan ha?!" "Banyak lah. Perasaan terhadap diri sendiri, terhadap orang tua, terhadap orang, termasuk terhadap lo Nayya." Sejak saat itu, Dhala tidak pernah dan tidak ingin membuka hati untuk siapapun. Katanya sih, susah muve on, hha, memang, gegayaan sekali dia seperti anak muda. Memang anak muda, lebih tepatnya remaja yang terus dikejar untuk dewasa, tanpa adanya perhatian or...