Aku bodoh karena tak mengatakan apa pun hari itu, koper yang kujaga tak sedikit pun kulepas sampai ia tunai berpamitan dengan seluruh saudaranya.
Ia berkaca-kaca saat memeluk erat ibu dan ayahnya, namun raut yang berbeda kulihat kali ini.
Sebuah raut wajah penerimaan, membuatku semakin tidak tega melihatnya.
Aku yakin semalam ia tidak bisa tidur, itu terlihat dari make-up yang sengaja ia tebalkan untuk membohongi yang lain tapi tidak dengan aku, aku tahu apa yang tengah ia tutupi.
Memang tak ada dasar kepastiannya, aku hanya merasa saja. Tapi perasaanku yakin sejuta persen.
Tepat tiga puluh menit sebelum penerbangan, ia mendatangiku, meminta doa supaya diberi takdir baik dan doa-doa lain katanya “...doakan aku seperti kamu mendoakan kebaikan untuk dirimu sendiri, Bang.”
Aku mengangguk dalam-dalam, seolah ingin kuberi tahu padanya aku sungguh akan mendoakannya setiap saat, setiap waktu, setiap mengingatnya aku akan selalu mendoakan kebaikan baginya.
Dan ia tersenyum. Seolah aku tak perlu bicara tapi sudah ia pahami.
Ada yang lebih bermakna dari sekadar kata-kata. Entah apa namanya, tapi ada.
Matahari dua jengkal di atas Bukit Randu Gunting yang kini terlihat sangat jauh dan kecil dari kandang burung raksasa yang terbuat dari logam ini, bandara.
Lambaian tanganku melepas parasnya menaiki tangga menuju dunia asing yang jaraknya ribuan kilometer dari jembatan dan sungai kecil yang berkelok di belakang rumah.
Rela tidak rela, harus rela.
Bu Widi menangis tersedu-sedu melihat anak gadis yang ia besarkan dengan hati penuh hingga tak boleh seekor nyamuk pun melukai dirinya, kini harus pergi.
Membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dunia itu tidak sekadar buku dan lipatan peta. Dunia adalah apa yang akan ada di depannya.
Aku sungguh pernah kehilangan, seseorang yang sangat berarti, yaitu Ayah.
Dan kali ini aku kembali merasakan dada yang rumpang karena ada sebuah bagian darinya yang hilang.
Tidak! Ia tidak hilang, hanya pergi namun bukan meninggalkan. Semoga. Tenangku pada diriku sendiri.
Sesaat aku sadar. . .
Ternyata ini perasaan purba yang klise kedengarannya, bahwa sebuah kehadiran baru terasa dan disadari justru ketika seseorang itu pergi.
Aku dipaksa untuk merasakannya tanpa ada persiapan terlebih dahulu. Kejadian ini berlalu cepat sekali.
I wish I can meet Nadif & Pak Bah in real life :'
Comment on chapter Epilog